Friday, August 08, 2008

Nama Para Orang Suci

ADINNAPUBBAKA - Sotapatti:

Suatu hari diwaktu pagi sekali ketika Sang Buddha selesai bermeditasi, dengan mata ke Buddhaan Beliau melihat Matthakundali sedang berbaring sekarat di beranda. Beliau datang ke rumah Adinnapubbaka yaitu ayah dari Matthakundali, seorang brahmana yang kikir. Ketika Matthakundali melihat Sang Buddha yang menancarkan sinar dari tubuhNya, maka timbul keyakinan yang kuat dalam batinnya. Setelah Sang Buddha pergi, ia meninggal dunia dengan penuh keyakinan terhadap Sang Buddha dan terlahir kembali di surga Tavatimsa. Dari kediamannya di surga, ia melihat bahwa keluarganya sedang berduka cita atas meninggalnya dirinya. Matthakundali menampakkan dirinya seperti sebelum meninggal dan memberitahu orang tua dan sanak keluarganya bahwa ia terlahir di alam surga Tavatimsa karena keyakinannya kepada Sang Buddha. Maka Adinnapubbaka mengundang Sang Buddha untuk menanyakan kebenaran tentang hal tersebut. Setelah Sang Buddha memanggil dewa Mattakundali untuk menyatakan kebenaran tersebut, maka dengan rasa kepercayaannya kepada Sang Buddha maka Matthakundali dan Adinnapubbaka mencapai kesucian Sotapatti.

Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair:

Pikiran adalah pelopor dari segala sesuatu, pikiran adalah pemimpin, pikiran adalah pembentuk. Bila seseorang berbicara atau berbuat dengan pikiran murni, maka kebahagiaan akan mengikutinya bagaikan bayang-bayang yang tak pernah meninggalkan bendanya.

( Dhammapada I . 2 )

ANOJA - Arahatta :

Mahakappina adalah raja dari Kukkutavati. Permaisurinya bernama Anoja. Suatu hari raja bersama seribu menteri pergi ke taman dan mereka bertemu dengan para padagang dari Savatthi dan mendengar tentang Buddha, Dhamma dan Sangha. Kemudian raja dan menterinya pergi ke Savatthi. Ketika Sang Buddha mengamati dunia dengan kemampuan batin luar biasa Nya, Beliau melihat raja dan menterinya sedang menuju ke Savatthi, maka Sang Buddha menemui mereka di tepi Sungai Candabhaga di bawah pohon Bayan. Raja dan menterinya datang ke tempat dimana Sang Buddha menunggu, mereka langsung menghormat kepada Sang Buddha begitu melihat enam warna terpancar dari tubuh Beliau. Sang Buddha kemudian memberikan khotbah kepada mereka. Setelah mendengar khotbah itu, raja dan menteri-menterinya mencapai tingkat kesucian Sotapatti. Mereka memohon kepada Sang Buddha untuk diterima menjadi bhikkhu. Ketika permaisuri mengetahui apa yang dlakukan oleh raja, ia lalu memanggil istri dari seribu orang menterinya dan mengikuti jejak sang raja. Sang Buddha berkata kepada ratu dan rombongannya utnuk menunggu karena tak lama lagi raja akan datang bersama para menterinya. Kemudian Sang Buddha memberikan khotbah kepada mereka. Pada saat khotbah berakhir raja dan para menterinya mencapai tingkat kesucian Arahat, ratu dan para istri menteri mencapai tingkat kesucian Sotapatti. Ratu dan rombongannya melihat bahwa bhikkhu yang baru ditahbiskan adalah suami mereka, kemudian wanita-wanita itu mohon kepada Sang Buddha untuk diterima sebagai bhikkhuni dan mereka langsung pergi ke Savatthi. Kemudian tidak berapa lama ratu dan para istri menteri mencapai kesucian Arahat. Sang Buddha kemudian kembali ke Vihara Jetavana bersama seribu bhikkhu.

Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :

Ia yang mengenal Dhamma akan hidup berbahagia dengan pikiran tenang. Orang bijaksana selalu bergembira dalam ajaran yang dibabarkan oleh para Ariya.

( Dhammapada VI. 4 )

ANATHAPINDIKA - Sotapatti :

Anathapindika adalah pendana Vihara Jetavana dan ia benar-benar berbakti kepada Sang Buddha. Tiga kali sehari ia memberikan penghormatan kepada Sang Buddha. Setelah beberapa lama Anathapindika menjadi miskin, tetapi sebagai seorang yang telah mencapai kesucian Sotapatti, batinnya tidak terguncang oleh kemiskinannya, dan ia terus melakukan perbuatan rutinnya setiap hari, yaitu berdana. Suatu hari mahluk halus penjaga rumahnya berujud manusi mempengaruhinya, dengan mengatakan bahwa dia miskin itu karena sering berddana kepada Samana Gotama, lebih baik memperhatikan urusannya sendiri sehingga menjadi kaya kembali. Anathapindika menghalau penjaga pintu tersebut keluar dari rumahnya. Penjaga pintu tersebut tidak mempunyai tujuan, kemudian ia mendekati Raja Sakka. Sakka memberi saran, supaya penjaga pintu itu mengembalikan kekayaan Anathapindika dan setelah melakukan itu dia boleh minta maaf pada Anathapindika. Mahluk halus penjaga pintu tersebut melakukan petunjuk Sakka dan Anathapindika kembali menjadi kaya. Ketika mahluk halus penjaga pintu memberi tahu Anathapindika mengenai keterangan dan petunjuk yang diberikan oleh Sakka perihal pengumpulan kekayaan dari dalam bumi, dari dasar samudra dan dari peminjam-peminjamnya maka Anathapindika terkesan dengan perasaan kagum, kemudian membawa mahluk halus penjaga pintu tersebut menghadap Sang Buddha. Dan mahluk halus penjaga pintu rumah itu mencapai kesucian Sotapatti.

Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :

Pembuat kejahatan hanya melihat hal yang baik selama buah perbuatan jahatnya belum masak, tetapi bilamana hasil perbuatannya itu telah masak, ia akan melihat akibat-akibatnya yang buruk.

Pembuat kebajikan hanya melihat hal yang buruk selama buah perbuatan bajiknya belum masak, tetapi bilamana hasil perbuatannya itu telah masak, ia akan melihat akibat-akibatnya yang baik.

( Dhammapada IX. 4 - 5 )

ATTADATTHA - Arahatta :

Ketika Sang Buddha mengumumkan bahwa Beliau akan mencapai Parinibbana dalam waktu empat bulan lagi, para bhikkhu merasa cemas karena banyak yang belum mencapai tingkat kesucian. Lalu mereka berusaha dekat dengan Sang Buddha. Seorang bhikkhu yang bernama Attadattha bertekad mencapai tingkat kesucian Arahat selama Sang Buddha masih hidup dan berusaha keras dalam latihan meditasi. Sehingga ia tidak pergi kehadapan Sang Buddha. Para bhikkhu lain tidak memahami cara Attadattha, lalu ia membawanya kehadapan Sang Buddha dan menceritakan masalah Attadattha. Sang Buddha memberitahukan kepada para bhikkhu bahwa barang siapa yang mencintai dan menghormati Beliau seharusnya berkelakuan seperti Attadattha.

Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :

Janganlah karena demi keuntungan orang lain yang bagaimanapun besar, lalu seseorang melalaikan kesejahteraan sendiri. Setelah memahami tujuan akhir bagi diri sendiri, hendaklah ia teguh melaksanakan tugas kewajibannya.

( Dhammapada XII . 10 )

Attadattha mencapai tingkat kesucian Arahat setelah Sang Buddha membabarkan syair tersebut diatas.

ANGULIMALA - Arahatta :

Ahimsaka adalah putera seorang pendeta di istana Raja Pasenadi. Ketika ia sudah cukup umur, ia dikirim ke Taxila untuk belajar. Ahimsaka sangat pandai sehingga ia disenangi gurunya. Murid-murid yang lain menjadi iri hati kepadanya, lalu ia menghasut gurunya dan mengatakan bahwa Ahimsaka menjalin hubungan gelap dengan istri gurunya. Gurunya sangat marah dan membuat rencana yang lebih buruk dari pembunuhan. Dia mengajar Ahimsaka untuk membunuh seribu orang dengan imbalan pengetahuan yang tak ternilai. Ahimsaka melakukan pembunhuhan dengan merangkai setiap jari dari setiap orang yang dibunuhnya, oleh karena itu ia dikenal dengan nama Angulimala dan menjadi pengacau di daerah itu. Raja mendengar perihal Angulimala, lalu ia membuat persiapan penangkapannya. Pada waktu itu kalung jari di leher Angulimala kurang satu sudah seribu. Pagi-pagi sekali pada hari itu Sang Buddha melihat Angulimala dalam penglihatanNya. Dengan perasaan cinta kasih, Sang Buddha menuju hutan dimana Angulimala berada. Angulimala sangat letih dan lelah setelah lama tidak tidur, ia memutuskan untuk membunuh orang pertama yang dijumpainya. Ketika ia tiba-tiba melihat Sang Buddha, ia mengejarnya dengan pedang terhunus. Tetapi Sang Buddha tidak dapat dikejar, sehingga dirinya sangat lelah. Sambil memperhatikan Sang Buddha ia menangis, " Oh, bhikkhu, berhenti, berhenti!" Sang Buddha menjawab, "Aku telah berhenti, kamulah yang belum berhenti. Aku telah berhenti menyiksa sesama mahluk hidup, karena aku telah mengembangkan diriku dalam cinta kasih, kesabaran dan pengetahuan yang tanpa cela." Begitu mendengar kata-kata dari mulut Sang Buddha, dia berpikir bahwa itu adalah kata-kata yang bijaksana, pasti Beliau adalah Sang Buddha yang datang kemari khusus untuk membuat saya sadar. Ia kemudian melemparkan senjatanya dan meminta kepada Sang Buddha untuk diterima sebagai bhikkhu. Ketika raja dan prajuritnya datang untuk menagkap Angulimala, mereka menemukannya di Vihara Sang Buddha dan sudah menjadi seorang bhikkhu. Raja dan perjuritnya kembali pulang. Selama tinggal di vihara, Angulimala dengan rajin melatih meditasi, dalam waktu yang singkat dia mencapai tingkat kesucian Arahat. Pada suatu hari ketika Angulimala berjalan untuk menerima dana makanan, dia melewati sekelompok orang-orang yang bertengkar dengan saling melempar batu. Beberapa batu mengenainya dan melukai kepalanya. Angulimala pulang menemui Sang Buddha, kemudian Sang Buddha berkata, " Angulimala anakku! Bersabarlah, saat ini kamu sedang menerima akibat perbuatan-perbuatan jahat yang telah kamu lakukan." Segera setelah itu, Angulimala meninggal dunia dengan tenang, dia telah merealisasi ' kebebasan akhir'.

Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :

Barang siapa meninggalkan perbuatan jahat yang pernah dilakukan dengan jalan berbuat kebajikan, maka ia akan menerangi dunia ini bagaikan bulan yang bebas dari awan.

( Dhammapada XIII . 7 )

AGGIDATTA - Arahatta :

Aggidatta adalah seorang kepala pendeta selama pemerintahan Raja Mahakosala, ayah Raja Pasenadi. Setelah kematian Raja Mahakosala, Aggidatta menjadi pertapa non Buddhis. Ia tinggal di perbatasan antara Anga, Magadha dan Kuru dengan 10.000 orang pengikutnya. Tempat tinggalnya itu tidak jauh dari bukit pasir, dimana tinggal seekor naga yang buas. Aggidatta menyuruh pengikutnya dan orang-orang 3 kerajaan untuk menyembah hutan-hutan, gunung-gunung, kebun-kebun, dan pohon-pohon. Suatu hari, Sang Buddha melihat Aggidatta dan pengikutnya dalam pandanganNya, kemudian mengutus Maha Moggallana Thera untuk menemui Aggidatta dan mengatakan bahwa ia sendiri akan menjadi pengikutnya. Maha Moggallana pergi ketempat Aggidatta dan meminta untuk memberikan tempat menginap semalam. Aggidatta memberikan penginapan di tempat Sang naga. Sang naga tidak senang, maka terjadilah adu kekuatan antara Maha Moggallana dan Sang naga. Akhirnya Sang naga dapat ditaklukkan. Pagi-pagi sekali, Aggidatta dan pertapa lainnya datang ke bukit pasir, dan mereka terkejut ketika mengetahui Sang naga telah jinak dan membiarkan kepalanya seperti sebuah payung diatas tubuh Maha Moggallana Thera. Sesaat kemudian Sang Buddha tiba dan Maha Moggallana berdiri dari tempat duduknya untuk memberi penghormatan. Maha Moggallana mengumumkan kepada para pertapa bahwa Sang Buddha adalah gurunya, Guru Agung Yang Suci. Sang Buddha kemudian berkata kepada Aggidatta bahwa benda-benda yang disembah tidak dapat memberikan perlindungan. Hanya mereka yang berlindung kepada Buddha, Dhamma dan Sangha akan terbebas dari proses lingkaran kehidupan.

Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :

Karena rasa takut, banyak orang pergi mencari perlindungan kegunung-gunung, ke arama-arama (hutan buatan), ke pohon-pohon dan ke tempat-tempat pemujaan yang dianggap keramat.

Tetapi itu bukanlah perlindungan yang aman, bukanlah perlindungan yang utama. Dengan mencari perlindungan seperti itu, orang tidak akan bebas dari penderitaan.

Ia yang telah berlindung kepada Buddha, Dhamma dan Sangha dengan bijaksana dapat melihat Empat kebenaran Mulia yaitu:

Dukkha, sebab dari dukkha, akhir dari dukkha, serta Jalan Mulia Berfaktor Delapan yang menuju pada akhir dukkha.

Sesungguhnya itulah perlindungan yang utama. Dengan pergi mencari perlindungan seperti itu, orang akan bebas dari segala penderitaan.

(Dhammapada XIV. 10 - 14 )

BRAHMIN - Arahatta :

Khujjuttara adalah pelayan kepercayaan Ratu Samavati, permaisuri Raja Udena. Suatu hari Khujjuttara pergi ke rumah Sumana, tukang bunga langganannya. Di rumah Sumana, Khujjuttara tidak diperhatikan kerena Sumana sedang sibuk menjamu para bhikkhu. Menunggu terlalu lama, daripada menganggur Khujjuttara ikut mendengarkan khotbah Sang Buddha. Mula-mula Khujjuttara mendengarkan setengah-setengah, makin lama perhatiannya makin tertarik dan akhirnya dengan tekun dan penuh perhatian. Walaupun baru kali itu mendengarkan khotbah Dhamma, mata batinnya terbuka, karena akibat kamma di masa lampaunya. Apa
yang dikhotbahkan dapat dipahami dengan benar sehingga ia berhasil mencapai tingkat kesucian Sotapatti. Ketika ia pulang ke istana Ratu Samavati menunggu dengan cemberut, setelah meminta maaf, Khujjuttara menceritakan apa yang dialaminya. Samavati tertarik apa yang diceritakan oleh Khujjuttara, lalu Samavati meminta supaya Khujjuttara mengulang khotbah Sang Buddha kepada Samavati dan 500 orang pengikutnya. Sama halnya seperti Khujjuttara, Samavati dan pengikutnya mencapai tingkat kesucian Sotapatti. Atas jasa-jasa Khujjuttara, maka ia diangkat menjadi ibu angkat dan guru Samavati, dan diberi tugas untuk selalu mendengrakan khotbah Sang Buddha kemudian selalu mengulang di depan Samavati dan pengikutnya.

Pada waktu Raja Udena memerintah, ada seorang brahmana yang mempunyai putri sangat cantik. Dan ia selalu memilih-milih calon suami untuk putrinya. Ketika ia melihat Sang Buddha, ia terpesona dan ingin menjadikan Sang Buddha sebagai menantunya. Ia bersama istri dan putrinya menemui Sang Buddha dan menceritakan maksudnya. Sang Buddha terdiam sejenak, dengan kekuatan supranaturalnya Beliau melihat bahwa Bramin dan istrinya mempunyai kesempatan yang sangat besar untuk mencapai kesucian tingkat Anagami. Kemudian Sang Buddha menjawab, "Aku tidak lagi memiliki keinginan seksual, semuanya berisikan kotoran dan air kencing dan aku tidak ingin menyetuhnya, walaupun dengan ujung kakiku sekalipun." Mendengar kata-kata Sang Buddha, mata batin Brahmin dan istrinya terbuka dan mereka paham arti kalimat Sang Buddha, keduanya langsung mencapai tingkat kesucian Anagami Magga dan Phala. Sepulangnya mereka berdua berunding dan ingin menjauhi kehidupan duniawi dan bergabung dengan murid-murid Sang Buddha, dan mereka menyerahkan putrinya kepada saudara mereka. Kelak karena ketekunannya mereka berdua berhasil mencapai tingkat kesucian Arahat. Saudara Brahmin menyerahkan Magandiya yaitu putri Brahmin kepada Raja Udena untuk menjadi salah satu istrinya. Dengan kejahatannya ia menghasut raja untuk mencelakai Ratu Samavati, karena raja tidak berhasil mencelakai Samavati, Magandiya berusaha untuk membunuhnya sendiri dengan bantuan pamannya. Ketika Samavati dan pengiringnya yang berjumlah 500 orang bermeditasi dan kemudian beberapa dari mereka mencapai tingkat kesucian Sakadagami dan yang lain berhasil mencapai tingkat kesucian Anagami, Magandiya menyuruh pamannya untuk membakar istana Samavati bersama semua orang yang ada di dalamnya. Karena raja mengetahui hal tersbut, maka ia membalas membakar magandiya beserta seluruh keluarganya. Ketika Sang Buddha mendengar kedua kejadian tersebut, Beliau mengatakan bahwa seseorang yang waspada tidak akan mati, tetapi mereka yang lengah akan merasa mati meskipun hidup.

Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :

Kewaspadaan adalah jalan menuju kekekalan; kelengahan adalah jalan menuju kematian. Orang yang waspada tidak akan mati, tetapi orang yang lengah seperti orang yang sudah mati.

Setelah mengerti hal ini dengan jelas, orang bijaksana akan bergembira dalam kewaspadaan dan bergembira dalam praktek ariya.

Orang bijaksana yang tekun bersamadhi, hidup bersemangat dan selalu berusaha dengan sungguh-sungguh, pada akhirnya mencapai nibbana (kebebasan mutlak).

( Dhammapada II. 1- 3 )

BAHIYADARUCIRIYA - Arahatta :

Sekumpulan pedagang pergi melaut dengan sebuah kapal, kapal tersebut hancur di tengah laut. Penumpang yang selamat hanya 1 orang. Karena pakaiannya hilang, ia mengikatkan sepotong kulita kayu di tubuhnya dan ia memegang mangkok untuk meminta makanan pada orang yang lewat. Beberapa orang membawakan pakaian tapi ia menolaknya dan beberapa mengatakan bahwa ia seorang Arahat, maka dengan pikiran yang salah ia menganggap dirinya seorang Arahat. Oleh karena ia berpandangan salah dan menggunakan sepotong kulit kayu untuk pakaiannya, maka ia dikenal dengan nama Bahiyadaruciriya. Mahabrahma adalah teman Bahiyadaruciriya dalam kehidupan lampau dan ia ingin mengembalikan kekeliruan Bahiyadaruciriya ke jalan yang benar. Mahabrahma datang menemuinya pada malam hari, ia berkata padanya bahwa dia bukan seorang Arahat dan belum memiliki kwalitas seorang Arahat. Bahiya menjawab memang dia bukan seorang Arahat dan dia bertanya pada temannya, apakah sekarang ini ada seorang Arahat. Mahabrahma berkata bahwa sekarang ini di Savatthi ada seorang Arahat. Buddha Gotama, yang telah mencapai Penerangan Sempurna dengan kemapuanNya sendiri. Bahiya menyadari kesalahannya, kemudian berlari di sepanjang jalan menuju Savatthi. Karena mahabrahma menolongnya, sehingga jarak yang ditempuh dalam 120 yojana hanya satu malam. Bahiya bertemu Sang Buddha, kemudian ia memohon kepada Sang Buddha untuk membabarkan Dhamma. Sang Buddha menjawab bahwa saat menerima dana makanan bukan waktu yang tepat untuk berkhotbah. Sekali lagi Bahiya memohon agar Sang Buddha membabarkan Dhamma kepadanya. Bahiya terus menerus memohon, sehingga ketika di tepi jalan, Sang Buddha berkata, "Bahiya, ketika kamu melihat suatu obyek, hendaknya sadarlah bahwa hal itu hanyalah obyek yang dilihat, ketika kamu mendengar suatu suara, sadarlah bahwa hal itu hanyalah suara, ketika kamu mencium, merasa, atau menyentuh sesuatu, sadarlah bahwa hal itu hanya bau, rasa, sentuhan, dan ketika kamu berpikir tentang sesuatu, sadarlah bahwa hal itu hanya obyek pikiran." Setelah mendengar khotbah di atas, Bahiya mencapai tingkat kesucian Arahat dan memohon ijin Sang Buddha untuk menjadi bhikkhu. Sang Buddha berkata kepadanya untuk membawa jubah, mangkuk dan kebutuhan bhikkhu lainnya. Dalam perjalanan untuk mendapatkan barang-barang tersebut, ia diseruduk oleh seekor sapi sehingga meninggal dunia. Ketika Sang Buddha dan para bhikkhu berjalan keluar, mereka menemukan Bahiya telah tergeletak meninggal dunia pada tumpukan sampah. Atas perintah Sang Budddha, para bhikkhu mengkremasikan tubuh Bahiya dan sisa jasmaninya disimpan di dalam sebuah stupa.

Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :

Daripada seribu bait syair yang tak berguna, adalah lebih baik sebait syair yang berguna, yang dapat memberi kedamaian kepada pendengarnya.

( Dhammapada VIII . 2 )

BODHIRAJAKUMARA - Sotapatti :

Pangeran Bodhi mengundang Sang Buddha untuk berdana makanan di istana barunya yang megah. Ia memberi pengharum ruangan dengan wangi-wangian dan dupa, juga kain panjang untuk alas kaki Sang Buddha dengan tujuan kalau Sang Buddha berjalan di atasnya semoga dia mempunyai anak. Ketika Sang Buddha tiba, Pangeran Bodhi menghormat kepada Beliau dan memohon untuk memasuki ruangan. Sang Buddha tidak masuk, hanya melihat pada Ananda. Ananda mengerti dan meminta kepada pangeran Bodhi untuk memindahkan alas kaki tersebut. Kemudian Sang Buddha masuk ke dalam istana. Pangeran mempersembahkan makanan yang enak dan terpilih kepada Sang Buddha. Selesai makan, Pangeran Bodhi menanyakan kepada Sang Buddha, mengapa Beliau tidak mau berjalan di atas kain alas. Sang Buddha mengatakan bahwa pangeran membentangkan kain itu tidak ada gunanya karena ia dan istrinya tidak akan mempunyai anak akibat perbuatan jahat di masa lampaunya. Sang Buddha kemudian menceritakan kisah masa lampau mereka, dimana pangeran dan istrinya ketika terdampar akibat bencana kapal, memakan telur-telur burung tanpa perasaan menyesal sepanjang waktu. Jika mereka mempunyai rasa sesal atas perbuatannya pada saat itu, mereka akan mempunyai seorang atau dua orang anak pada kehidupan sekarang.

Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :

Bila orang mencintai dirinya sendiri, maka ia harus menjaga dirinya dengan baik. Orang bijaksana selalu waspada selama tiga masa dalam kehidupannya.

( Dhammapada XII. 1 )

Bodhirajakumara mencapai tingkat kesucian Sotapatti setelah mendengar khotbah Sang Buddha tersebut.

CAKKHUPALA - Arahatta :

Pada kehidupan lampau Cakkhupala terlahir sebagai seorang tabib, karena marah dan kecewa oleh ulah seorang wanita miskin yang membohonginya maka ia melakukan pembalasan dan membuat si wanita menjadi buta. Akibat perbuatan jahatnya, tabib itu kehilangan penglihatnnya pada banyek kehidupan selanjutnya. Ketika Cakkhupala Thera berkunjung ke Vihara Jetavana, karena ia buta maka tanpa sengaja ia menginjak banyak serangga sehingga mati. Kemudian para bhikkhu melaporkan kejadian tersebut kepada Sang Buddha. Sang Buddha menjawab, "karena matanya buta, dia tidak melihat serangga-serangga itu, selain itu dia telah mencapai kesucian Arahat karena telah tidak mempunyai niat untuk membunuh."

Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :

Pikiran adalah pelopor dari segala sesuatu, pkiran adalah pemimpin, pikiran adalah pembentuk. Bila seseorang berbicara atau berbuat dengan pikiran jahat, maka penderitaan akan mengikutinya bagaikan roda pedati mengikuti langkah kaki lembu yang menariknya.

( Dhammapada I. 1 )

Pada saat khotbah Dhamma ini berakhir, para bhikkhu ada yang terbuka mata batinnya dan mencapai tingkat kesucian Arahat.

CULAPANTHAKA - Arahatta :

Culapanthaka adalah cucu bendahara kerajaan di Rajagaha. Ia mengikuti jejak kakaknya menjadi bhikkhu. Karena pada kehidupan lampaunya Culapanthaka telah menggoda seorang bhikkhu yang sangat bodoh, maka ia dilahirkan sebagai orang dungu, pada kehidupannya saat ini. Ia tidak mampu mengingat satu syairpun dalam empat bulan. Suatu waktu Sang Buddha diundang untuk makan oleh Jivaka, tapi Culapanthaka dicoret dalam daftar nama-nama bhikkhu yang hadir ke rumah Jivaka oleh kakaknya sendiri yaitu Mahapanthaka, karena dianggap adiknya tidak berguna. Karena merasa sangat kecewa, dia memutuskan untuk kembali sebagai perumah tangga. Sang Buddha tahu masalah tersebut lalu Beliau menyuruhnya duduk di depan Gandhakuti menghadap Timur. Sang Buddha memberikan selembar kain bersih dan menyuruhnya menggosok kain tersebut dengan mengatakan, "Rajoharanam" yang berati "kotor". Culapanthaka melakukan apa yang diperintahkan Sang Buddha. Di rumah Jivaka, dengan kekuatan supranaturalnya Sang Buddha mengetahui kemajuan Culapanthaka dan menemuinya. Sang Buddha memberi pesan bahwa seseorang dapat mencapai Arahat hanya dengan menghapus hawa nafsu, keinginan jahat dan ketidak tahuan. Culapanthaka mendengarkan pesan tersebut dan meneruskan bermeditasi. dalam waktu yang singkat mata batinnya terbuka dan ia mencapai tingkat kesucian Arahat bersama dengan memiliki "Pandangan Terang Analitis". Maka Culapanthaka tidak lagi menjadi orang dungu.

Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :

Dengan usaha yang tekun, semangat, disiplin, dan pengendalian diri, hendaklah orang bijaksana membuat pulau bagi dirinya sendiri yang tidak dapat ditenggelamkan oleh banjir.

( Dhammapada II. 5 )

CITTAHATTHA - Arahatta :

Seorang laki-laki kehilangan lembu jantannya, ia mencari ke hutan tapi tidak menemukannya. Lalu ia singgah ke vihara desa dan berharap mendapatkan sisa makanan. Pada saat makan, muncul sebuah ide untuk menjadi seorang bhikkhu. Kemudian ia memasuki pasamuan sangha. Sesudah beberapa waktu ia bosan berpindapatta dan kembali sebagai seorang perumah tangga. Di rumah ia merasa terlalu sibuk, lalu ia kembali ke vihara lagi untuk menjadi bhikkhu. Untuk kedua kalinya ia kembali lagi sebagai perumah tangga dan kembali lagi sebagai bhikkhu. Proses ini terjadi enam kali. Suatu hari saat terakhir ia tinggal di rumah, ia melihat istrinya yang hamil sedang tidur hampir telanjang. Istrinya mengorok dengan suara yang keras, dari mulutnya keluar lendir dan ludah, ia terlihat hanya seperti mayat. Melihat keadaan istrinya, ia merasa ketidak kekalan dan ketidak indahan tubuh jasmani. Kemudian ia mengambil jubah kuningnya dan pergi ke vihara. Dalam perjalanan ia mengulangi kata-kata "tidak kekal" dan "penderitaan" dan dapat meresapi artinya, ia mencapai tingkat kesucian Sotapatti dalam perjalanan ke vihara. Setelah tiba di vihara, ia memohon berkali-kali agar diijinkan diterima dalam pasamuan sangha dan para bhikkhu memenuhinya. Dalam beberapa hari Bhikkhu Cittahattha mencapai tingkat kesucian Arahat bersamaan dengan pandangan analitis.

Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :

Orang yang pikirannya tidak teguh, yang tidak mengenal ajaran benar, yang keyakinannya selalu goyah, orang seperti itu tidak akan sempurna kebijaksanaannya.

Orang yang pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu dan kebencian, yang telah mengatasi keadaan baik dan buruk, di dalam diri orang yang selalu sadar seperti itu tidak ada lagi ketakutan.

( Dhammapada III. 6-7 )

CHATTAPANI - Anagami :

Di Vihara Jetavana, Chattapani mendengarkan khotbah Dhamma dengan penuh hormat dan perhatian. Ketika itu Raja Pasenadi juga sedang mengunjungi Sang Buddha. Chattapani tidak berdiri untuk membei hormat kepada Raja Pasenadi, tapi dia lebih menghormat Sang Buddha. Dan hal ini dianggap oleh Raja Pasenadi suatu penghinaan dan melanggar peraturan. Sang Buddha mengetahui pikiran raja Pasenadi, maka Beliau memuji Chattapani yang sangat baik dalam Dhamma dan juga telah mencapai tingkat kesucian Anagami. Mendengar hal ini, Raja Pasenadi sangat terpesona dan memberikan penghormatan kepada Chattapani.

Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :

Bagaikan sekuntum bunga yang indah tetapi tidak berbau harum, demikian pula akan tidak bermanfaat kata-kata mutiara yang diucapkan oleh orang yang tidak melaksanakannya.

Bagaikan sekuntum bunga yang indah serta berbau harum, demikian pula sungguh bermanfaat kata-kata mutiara yang diucapkan oleh orang yang melaksanakannya.

( Dhammapada IV. 8-9 )

CITTA - Anagami :

Pada suatu hari, Citta seorang perumah tangga mengundang Mahanama Thera ke rumahnya untuk menerima dana makanan. Setelah mendanakan makanan ia mendengarkan khotbah yang disampaikan oleh Mahamana Thera. Citta mencapai tingkat kesucian Sotapatti. Citta membangun sebuah vihara di kebun mangganya. Ia memenuhi kebutuhan semua bhikkhu yang datang ke viharanya termasuk Bhikkhu Sudhamma yang tinggal di tempat itu. Y.A. Sariputta dan Y.A. Maha Moggallana datang ke vihara tersebut. Setelah mendengarkan khotbah Y.A. Sariputta, Citta mencapai tingkat kesucian Anagami. Kemudian ia mengundang kedua murid utama Sang Buddha tersebut kerumahnya untuk menerima dana makanan, dan ia juga mengundang Bhikkhu Sudhamma, tapi beliau menolak karena merasa dinomer duakan. Citta mengundang lagi, Bhikkhu Sudhamma menolak lagi, tapi pada keesokan harinya dia datang ke rumah Citta. Sudhamma menolak ketika dipersilahkan masuk dan ketika dia melihat makanan yang didanakan kepada kedua murid utama Sang Buddha, dia sangat iri dan marah lalu meninggalkan rumah tersebut. Kemudian ia mengunjungi Sang Buddha dan melaporkan segala yang terjadi. Tapi sang Buddha menyalahkannya dan menyuruhnya meminta maaf. Sudhamma melakukan apa yang diperintahkan Sang Buddha, tapi Citta tidak menghiraukannya. Maka ia kembali menghadap Sang Buddha untuk kedua kalinya. Kemudian Sang Buddha memberikan khotbah kepada Sudhamma.

Seorang bhikkhu yang bodoh menginginkan ketenaran yang keliru, ingin menonjol di antara para bhikkhu, ingin berkuasa dalam vihara-vihara, dan ingin dihormati oleh semua keluarga.

"Biarlah umat awam dan para bhikkhu berpikir bahwa hal ini hanya dilakukan olehku, dalam semua pekerjaan besar atau kecil mereka menunjuk diriku." Demikianlah ambisi bhikkhu yang bodoh itu, dan keinginan serta kesombongannya pun terus bertambah.

( Dhammapada V. 14 - 15 )

Setelah khotbah Dhamma itu berakhir, Sudhamma pergi ke rumah Citta dan pada saat itu mereka berdamai. Dalam waktu tidak berapa lama, Sudhamma mencapai tingkat kesucian Arahat.

CHANNA - Arahatta :

Channa adalah pelayan yang menyertai Pangeran Siddhattha ketika Beliau meninggalkan istana dan ingin meninggalkan keduniawian. Ketika pangeran mencapai tingkat ke Buddha an, Channa menjadi seorang bhikkhu. Dan ia sangat sombong karena merasa dekat dengan Sang Buddha. Ketika Sang Buddha memperingatkan tentang perilakunya terhadap kedua murid utama Sariputta dan Moggallana, ia dia tapi terus menerus mencela dua murid utama Sang Buddha, sampai tiga kali Sang Buddha memperingatkan, tapi ia tetap tidak berubah. Walau telah diperingatkan beberapa kali oleh Sang Buddha, Channa tetap berlaku tidak baik kepada bhikkhu-bhikkhu tersebut. Sang Buddha berkata bahwa Channa tidak akan berubah selama Beliau masih hidup. Pada malam sebelum parinibbana, Sang Buddha memanggil Ananda Thera dan memerintahkan agar menjatuhkan hukuman Brahmadanda kepada Channa. Setelah Sang Buddha parinibbana, Channa mendengar hukuman yang diberikan oleh Ananda Thera. Ia merasakan penyesalan yang mendalam sampai ia tidak sadarkan diri sebanyak tiga kali. Kemudian ia mengakui kesalahannya dan meminta maaf kepada para bhikkhu. Pada saat itu ia mengubah tingkah laku dan pandangannya. Ia juga patuh pada petunjuk mereka untuk praktek meditasi. Beberapa waktu kemudian Channa mencapai tingkat kesucian Arahat.

Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :

Jangan bergaul dengan orang jahat, jangan bergaul dengan orang yang berbudi rendah, tetapi bergaullah dengan sahabat yang baik, bergaullah dengan orang yang berbudi luhur.

( Dhammapada VI. 3 )

CULAKALA - Sotapatti :

Culakala adalah seorang upasaka, ia tinggal sepanjang malam di Vihara Jetavana untuk mendengarkan uraian Dhamma. Pagi harinya ketika ia mencuci muka di kolam dekat vihara, beberapa pencuri meninggalkan barang curian didekatnya. Pemilik barang melihat Culakala dekat dengan barang-barangnya yang hilang, ia mengira Culakala adalah pencurinya lalu memukulnya dengan keras. Beberapa pelayan wanita melihat kejadian tersebut, mengatakan Culakala bukan pencuri, kemudian ia dilepaskan. Sang Buddha mendengar hal tersebut, kemudian berkata kepada Culakala, "Kamu dilepaskan tidak karena pelayan-pelayan itu, tapi karena
kamu tidak mencuri dan oleh sebab itu kamu tidak bersalah. Barang siapa yang berbuat jahat akan ke alam neraka, tetapi barang siapa yang berbuat baik akan terlahir kembali di alam sorga atau merealisasi kebebasan mutlak"

Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :

Oleh diri sendiri kejahatan dilakukan, oleh diri sendiri pula seseorang menjadi suci. Suci atau tidak suci tergantung pada diri sendiri. Tak seorangpun yang dapat mensucikan orang lain.

( Dhammapada XII. 9 )

Upasaka Culakala mencapai tingkat kesucian Sotapatti setelah khotbah Dhamma berakhir.

CANDAPADUMA - Sotapatti :

Mendaka adalah seorang pria yang teramat kaya raya. Ia telah menemukan sejumlah besar patung kambing dari emas di halaman belakang rumahnya. Karena alasan tersebut, ia dikenal sebagai Mandaka (kambing) si orang kaya. Pada masa Buddha Vipassi, ia telah berdana berupa sebuah vihara dan sebuah gedung pertemuan untuk Buddha Vipassi. Selama pembangunan gedung tersebut, ia memberikan persembahan dana makanan kepada Buddha Vipassi dan para bhikkhu selama empat bulan. Dan pada masa lain, ketika ia menjadi orang kaya di Baranasi, terjadi bencana kelaparan diseluruh daerah tersebut. Suatu hari mereka memasak makanan hanya untuk keluarga saja, saat itu lewat seorang Pacceka Buddha yang sedang berpindapatta., ia mempersembahkan seluruh makananannya. Karena kemurahan hatinya yang luhur, tempat nasinya kemudian terisi lagi secara ajaib, demikian pula lumbungnya. Mendaka dan keluarganya mendengar bahwa Sang Buddha datang ke Baddiya, lalu mereka pergi untuk memberi hormat kepada Beliau. Setelah mendengarkan khotbah yang diberikan oleh sang Buddha, maka Mendaka, istrinya : Candapaduma, anaknya : Danancaya, menantunya : Sumanadevi, cucu perempuannya : Visakha, dan pelayannya : Punna mencapai tingkat kesucian Sotapatti. Mendaka menceritakan kepada Sang Buddha bahwa dalam perjalanan beberapa pertapa mengatakan hal-hal yang buruk tentang Sang Buddha.

Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :

Amat mudah melihat kesalahan-kesalahan orang lain, tetapi sangat sulit untuk melihat kesalahan-kesalahan sendiri. Seseorang dapat menunjukkan kesalahan-kesalahan orang lain seperti menampi dedak, tetapi ia menyembunyikan kesalahan-kesalahannya sendiri seperti penjudi licik menyembunyikan dadu yang berangka buruk.

( Dhammapada XVIII. 18 )

CANDABHA - Arahatta :

Candabha Thera, dalam salah satu kehidupannya terdahulu membuat persembahan kayu cendana pada sebuah stupa dimana relik Buddha Kassapa diabadikan. Karena perbuatan baiknya, ia dilahirkan kembali dengan tanda istimewa, yaitu sebuah lingkaran cahaya yang menyerupai bulan dan memancar dari sekitar pusarnya. Beberapa Brahmana mengambil keuntungan tentang keadaan Candabha tersebut. Mereka memasukkan ke dalam kereta dan membawanya berkeliling untuk pertunjukan. Pada suatu kesempatan, mereka berhenti diantara kota dan Vihara Jetavana. Ketika melihat para pengikut Sang Buddha, mereka berkata, "Apa gunanya menemui dan mendengarkan khotbah Sang Buddha? Tidak ada seorangpun yang sehebat Candabha, siapa yang menyentuhnya akan menjadi kaya." Para pengikut Sang Buddha kemudian berkata, "Hanya guru kami yang hebat, Ia tidak tersaingi dan tiada bandingnya." Kemudian para brahmana membawa Candabha menuju Vihara Jetavana untuk bertanding dengan Sang Buddha. Tetapi ketika Candabha bersama Sang Buddha, cicin cahaya itu hilang dan ketika jauh dari pandangan Sang Buddha, cicin cahaya itu kembali lagi. Candabha meninta Sang Buddha memberinya mantra agar cicin itu hilang dari pusarnya. Sang Buddha memberi tahu bahwa mantra tereebut hanya akan diberikan kepada anggota pasamuan. Dalam hal itu, Candabha menjadi seorang bhikkhu. Ia diperintahkan untuk merenungkan tubuh, yaitu untuk menggambarkan betapa menjijikan dan kotornya tubuh ini yang terdiri dari 32 unsur pokok tubuh. Dalam beberapa hari, Candabha mencapai tingkat kesucian Arahat. Kemudian Candabha menemui para brahmana yang masih menunggu dan berkata, "Engkau sebaiknya pulang kembali sekarang, karena aku tidak lagi berada pada pihak yang akan pergi bersamamu."

Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :

Seseorang yang tanpa noda, bersih, tenang, dan jernih batinnya seperti bulan purnama, maka ia Kusebut seorang 'brahmana'.

( Dhammapada XXVI. 31 )

DHAMMIKA - Arahatta :

Suatu hari Dhammika berkata kepada istrinya yang sedang hamil, bahwa dirinya ingin menjadi bhikkhu. Istrinya mohon, supaya menunggu sampai ia melahirkan, setelah melahirkan, isrtinya mohon lagi supaya suaminya menunggu sampai anaknya bisa berjalan. Dhammika berkata kepada dirinya, tidak ada gunanya minta persetujuan istri. Setelah membuat keputusan, ia meninggalkan rumah untuk menjadi seorang bhikkhu. Sang Buddha memberikan obyek meditasi kepadanya dan ia mempraktekkan dengan sungguh-sungguh dan rajin, tak lama kemudian ia menjadi seorang Arahat. Beberapa tahun kemudian Dhammika menengok anak dan istrinya dengan maksud mengajarkan Dhamma. Anaknya menjadi bhikkhu dan kemudian mencapai tingkat kesucian Arahat. Sang istri dengan keyakinannya juga meninggalkan rumah dan menjadi bhikkhuni, dan akhirnya mencapai tingkat kesucian Arahat juga. Dalam pertemuan para bhikkhu, Sang Buddha mengatakan bagaimana Dhammika menjadi seorang bhikkhu sampai mencapai tingkat kesucian Arahat, dan bagaimana ia membuat anak dan istrinya menjadi Arahat juga.

Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :

Seseorang yang arif tidak berbuat jahat demi kepentingannya sendiri ataupun orang lain; demikian pula ia tidak akan menginginkan anak, kekayaan, pangkat atau keberhasilan dengan cara yang tidak benar. Orang seperti itulah yang sebenarnya luhur, bijaksana, dan berbudi.

( Dhammapada VI. 9 )

DANANCAYA - Sotapatti :

Lihat cerita Candapaduma

DHAMMARAMA - Arahatta :

Ketika mendengar berita bahwa Sang Buddha akan mangkat (Parinibbana) dalam waktu empat bulan lagi, banyak para bhikkhu puthujjana, yang belum mencapai tingkat kesucian, merasa akan kehilangan. Mereka tidak ingin bepergian jauh dari Sang Buddha. Ketika itu ada seorang bhikkhu yang bernama Dhammarama, tinggal menyendiri dan tidak pergi mendekat Sang Buddha. Ia melaksanakan meditasi 'Pandangan terang' (Vipassana Bhavana) dengan tekun. Ia ingin mencapai tingkat kesucian Arahat sebelum Sang Buddha meninggal dunia. Tapi kawan-kawan bhikkhu tidak mengerti dan mereka punya anggapan keliru. Kemudian kawan-kawan bhikkhu bersama Bhikkhu Dhammarama menemui Sang Buddha dan menceritakan perihal Bhikkhu Dhammarama. Setelah kawan-kawan bhikkhu itu menceritakan semua pandangannya, Bhikkhu Dhammarama dengan penuh hormat menjelaskan kepada Sang Buddha apa yang sesungguhnya ia lakukan dan ia harapkan. Sang Buddha sangat puas dan menghargai apa yang dilakukan oleh Bhikkhu Dhammarama, kemudian berkata, "Anak-Ku Dhammarama, engkau telah berperilaku sangat baik. Seorang bhikkhu yang mencintai dan menghormat kepada-Ku henddaknya berkelakuan seperti engkau. Mereka yang mempersembahkan bunga, pelita dn dupa kepada-Ku tidaklah benar-benar memberi hormat kepada-Ku. Hanya mereka yang melaksanakan Dhamma, ajaran-Ku, adalah benar-benar seorang yang memebrikan hormat kepada-Ku."

Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :

Seorang bhikkhu yang selalu berdiam dalam Dhamma dan gembira dalam Dhamma, yang selalu merenungkan dan mengingat-ingat akan Dhamma, maka bhikkhu itu tidak akan tergelincir dari Jalan Benar Yang Mulia.

( Dhammapada XXV. 5 )

Dhammarama Thera mencapai tingkat kesucian Arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

DHAMMADINNA - Arahatta :

Seorang pengikut awam Sang Buddha bernama Visakha di Rajagaha, setelah mendengarkan khotbah Sang Buddha berulang-ulang, maka ia mencapai tingkat kesucian Anagami. Istrinya, Dhammadinna minta ijin darinya untuk masuk dalam pasamuan dan menjadi seorang bhikkhuni. Setelah menjadi seorang bhikkhuni ia pergi ke sebuah vihara di suatu desa kecil bersama para bhikkhuni lain untuk melatih meditasi. Dalam waktu yang singkat ia mencapai tingkat kesucian Arahat dan kembali ke Rajagaha. Setelah mendengar bahwa Dhammadinna telah kembali, Visakha pergi menemuinya dan bertanya beberapa pertanyaan. Tentang tiga magga yang pertama, Dhammadinna bisa menjawab, tapi ketika yang ditanyakan Visakha tentang 'Jalan' dan 'Hasil' Arahat, Dhammadinna berkata, "O pengikut awam ! Masalah ini di luar batas kemampuan pengertianmu; jika engkay ingin tahu, engkau boleh pergi, dan bertanya kepada Sang Buddha." Ketika Visakha bertanya kepada Sang Buddha, Sang Buddha berkata, "Dhammadinna telah menjawab pertanyaanmu. Jika engkau bertanya kepada-Ku, Aku akan memberikan jawaban yang sama." Setelah berkata demikian, Sang Buddha menegaskan kenyataan bahwa Dhammadinna telah mencapai tingkat kesucian Arahat.

Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :

Orang yang tidak lagi terikat pada apa yang telah lampau, apa yang sekarang maupun apa yang akan datang, yang tidak memegang ataupun melekat pada apapun juga, maka ia Kusebut seorang ''brahmana'.

( Dhammapada XXVI. 39 )

GODHIKA - Arahatta :

Pada suatu kesempatan Godhika Thera melatih meditasi ketenangan dan paandangan terang. Ketika beliau telah mencapai jhana, beliau jatuh sakit. Dengan mengabaikan rasa sakitnya dia tetap berlatih dengan keras, tetapi setiap beliau mencapai kemajuan selalu merasa kesakitan. Beliau mengalami hal ini sebanyak enam kali. Kemudian memutuskan walaupun harus mati, tetap harus berjuang terus sampai mencapai Arahat dan kemudian melanjutkan meditasinya dengan rajin. Akhirnya beliau meutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Kemudian dengan memilih perasaan sakit sebagai obyek meditasi, beliau memotong lehernya dengan pisau. Dengan berkonsentrasi terhadap rasa sakit, beliau dapat memusatkan pikirannya dan mencapai Arahat tepat sebelum beliau meninggal. Mara mendengar hal tersebut dan berusaha untuk mencari dimana beliau dilahirkan, tetapi gagal, maka Mara menemui Sang Buddha untuk emnanyakan keberadaan Godhika Thera. Sang Buddha menjawab, " Tidak ada manfaatnya bagi kamu untuk mengetahui Godhika Thera. Setelah terbebas dari kekotoran-kekotoran moral ia mencapai tingkat kesucian Arahat. Seseorang seperti kamu Mara, dengan seluruh kekuatanmu tidak akan dapat menemukan kemana para Arahat pergi setelah meninggal dunia".

Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :

Mara tak dapat menemukan jejak mereka yang memiliki sila, yang hidup tanpa kelengahan, dan yang telah terbebas melalui Pengetahuan Sempurna.

( Dhammapada IV. 14 )

GARAHADINNA - Sotapatti:

Sirigutta adalah seorang pengikut Buddha dan Garahadinna adalah pengikut Nigantha. Keduanya saling bersahabat. Sirigutta menanyakan kepada Garahadinna, apa yang diketahui gurunya. Garahadinna mengatakan bahwa gurunya dapat mengetahui masa lampau, saat ini, masa depan dan membaca pikiran orang. Maka Sirigutta mengundang Nigantha untuk menerima dana makanan, tapi dengan suatu jebakan. Sirigutta membuat parit yang dipenuhi sampah dan kotoran lalu ditutup untuk duduk Nigantha dn muridnya. Ketika Nigantha tiba, mereka masuk satu persatu, langsung dipersilahkan duduk. Penutup parit pecah begitu Nigantha dan muridnya duduk, mereka jatuh kedalam parit yang kotor. Garahadinna sangat marah kepada Sirigutta, mereka merasa dijebak. Sirigutta bertanya kepada mereka, " Kenapa kamu tidak mengetahui masa lalu, saat ini dan masa depan ? Mengapa kamu tidak tahu pikiran orang lain ? " Suatu hari Garahadinna ingin membalas kejadian yang menimpa gurunya, sehingga ia mengundang Sang Buddha dan 500 muridNya untuk berpindapatta. Kemudian Garahadinna menyiapkan jebakan untuk Sang Buddha berupa sebuah parit dipenuhi dengan bara yang menyala dan ditutup dengan karpet. Keesokan harinya Sang Buddha dating diikuti 500 bhikkhu, ketika Beliau melangkah di atas karpet yang menutupi arang yang menyala, karpet dan bara api tiba-tiba menghilang dan 500 bunga teratai sebesar roda kereta membentang untuk Sang Buddha dn murud-muridNya duduk. Garahadinna sangat cemas karena periuk-periuk yang disediakan untuk Sang Buddha tidak diisi makanan kemudian ia minta tolong kepada Sirigutta. Sirigutta mengajak Garahadinna ke dapur untuk melihat periuk-periuknya. Garahadinna kagum begitu melihat periuk-periuknya penuh dengan makanan. Makanan tersebut lalu disajikan kepada Sang Buddha dan murid-muridNya. Selesai makan, Sang Buddha menyatakan anumodana terhadap perbuatan baik itu dan Beliau berkata, " Mereka yang tidak tahu, kurang pengetahuan, tidak mengetahui kwalitas yang unik dari Sang Buddha, Dhamma, Sangha, mereka seperti orang buta. Tetapi orang bijaksana yang memiliki pengetahuan, seperti orang melihat." Ketika mendengarkan khotbah Sang Buddha, perlahan-lahan tubuh Garahadinna diliputi oleh kegembiraan dan kebahagiaan. Pada akhir khotbah, Sirigutta dan Garahadinna mencapai tingkat kesucian Sottapati.

Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :

Seperti dari tumpukan sampah yang dibuang di tepi jalan, tumbuh bunga teratai yang berbau harum dan menyenangkan hati.

Begitu juga di anttara orang duniawi, siswa Sang Buddha Yang Maha Sempurna bersinar menerangi dunia yang gelap ini dengan kebijaksanaannya.

( Dhammapada IV. 15-16 )

JAMBUKA - Arahatta :

Jambuka adalah putra seorang hartawan di Savatthi. Karena perbuatan buruk di masa lalunya ia terlahir dengan kelakukan yang sangat aneh. Di waktu kecil ia tidur di lantai dan makan kotorannya sendiri sebagai pengganti nasi, setelah dewasa ia makan kotoran manusia dan setiap hari berdiri dengan satu kaki dan mulut terbuka. Dia berkata, setiap hari dia tidak pernah duduk dan tidur. Beberapa orang percaya dan berdana makanan padanya, tapi ia menolak. Ketika dipaksa, dia menerima sedikit makanan dan memberikan segenggam kepada orang yang berdana makanan. Dengan cara ini Jambuka hidup selama 55 tahun, telanjang dan hanya makan kotoran manusia. Suatu sore Sang Buddha datang ke tempat tinggal Jambuka dn menanyakan tempat bermalam. Jambuka menunjukkan sebuah gua yang tidak jauh dari tempatnya. Selama tiga malam Dewa Catumaharajika, Sakka dan Mahabrahma datang bergantian untuk memberikan hormat kepada Sang Buddha, dan hutan pada saat itu menjadi terang. Pagi harinya, ia mengunjungi Sang Buddha dan bertanya tentang cahaya tersebut. Sang Buddha memberi tahu bahwa para dewa datang kepada Nya untuk memberi hormat, ketika tahu hal tersebut maka Jambuka mengatakan bahwa ia telah berlatih sepanjang hidupnya dengan hidup sederhana, berdiri dengan satu kaki, tapi tidak satu dewa pun yang mengunjunginya. Sang Buddha berkata, "O, Jambuka ! Kamu dapat menipu orang lain, tetapi kamu tidak dapat menipuku. Saya tahu bahwa selama 55 tahun kamu telah makan kotoran dan tidur di tanah." Kemudian Sang Buddha menjelaskan kepadanya, bagaimana ia pada kehidupannya yang lampau, Jambuka telah menghalangi seorang Thera yang akan menerima dana makanan dari seorang umat awam dan bagaimana ia telah melempar semua dana makanan yang dikirim untuk Thera tersebut. Karena kejahatannya, dia sekarang makan kotoran dan tidur di tanah. Mendengar semua penjelasan Sang Buddha, Jambuka menyesal dan ia berlutut di hadapan Sang Buddha. Sang Buddha memberinya selembar kain untuk dikenakan, dan memberikan khotbah dan pada akhir khotbah, Jambuka mencapai tingkat kesucian Arahat serta menjadi murid Sang Buddha.

Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :

Biarpun bulan demi bulan orang bodoh makan makanannya dengan ujung rumput kusa, namun demikian ia tidak berharga seperenam belas bagian dari mereka yang telah mengerti Dhamma dengan baik.

( Dhammapada V. 11 )

JATILA - Arahatta :

Seorang Arahat thera datang ke rumah seorang pandai emas untuk mencari dana pembangunan stupa emas dimana relik Buddha Kassapa akan diabadikan. Pada saat itu pandai emas sedang dalam pertengkaran dengan istrinya. Ketika ia melihat Arahat thera tersebut, lalu ia berteriak kepada Sang thera, "Sebaiknya kau lemparkan saja stupamu itu kedalam air dan segera pergi" Istrinya kemudian berkata kepada suaminya, "Kalau engkau marah kepadaku, mengapa harus memaki Sang Buddha dan Sang Thera ? Engkau telah melakukan kesalahan yang menyedihkan !" Pandai emas menyadari betapa besarnya kesalahan yang ia perbuat dan ia ingin menebus kesalahan itu. Maka ia membuat bunga-bunga emas untuk diletakkan ke dalam 3 pot emas yang ditaruh di kamar relik stupa Buddha Kassapa. Pada kelahiran yang sekarang ia dikandung seorang perempuan yang mempunyai hubungan cinta gelap. Ketika ia lahir ia diletakkan ke dalam pot dan diapungkan ke sungai. Ia ditemukan seorang wanita muda yang sedang mandi, kemudian diberi nama Jatila. Setelah besar Jatila pergi ke Taxila untuk mendapatkan pendidikan dan setelah beberapa lama Jatila menikah dengan anak seorang pedagang. Segera setelah menikah, segundukan emas diberikan di halaman belakang rumah yang baru saja dibangun untuk pasangan ini. Lahirlah 3 anak dari pernikahan ini. Setelah itu Jatila memasuki pasamuan bhikkhu dan mencapai tingkat kesucian Arahat.

Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :

Seseorang yang dengan membuang nafsu keinginan kemudian meninggalkan kehidupan rumah tangga dan menempuh kehidupan tanpa-rumah, yang telah menghancurkan nafsu indria akan wujud yang baru, maka ia Kusebut seorang 'brahmana'.

( Dhammapada XXVI. 33 )

JOTIKA - Arahatta :

Jotika adalah seorang hartawan terkenal di Rajagaha. Ia tinggal di rumah yang megah, dan tujuh buah tembok yang mengelilingi rumahnya, masing-masing dijaga oleh setan angkasa, serta kekayaannya tersebar dimana-mana. Pada suatu kesempatan, Raja Bimbisara beserta anaknya, Ajatasattu, datang mengunjungi Jotika. Ketika Ajatasattu melihat kemegahan rumah Jotika, dalam hati ia berjanji, kalau kelak ia jadi raja, Jotika tidak diperkenankan tinggal dirumahnya yang megah. Ketika Ajatasattu naik tahta, setelah membunuh ayahnya, ia datang dengan tentaranya untuk mengambil rumah besar milik Jotika dengan paksa. Karena semua gerbang di jaga ketat oleh setan angkasa, Ajatasattu dan pasukannya harus menarik diri. Ajatasattu melarikan diri ke Vihara Veluvana dan menemukan Jotika sedang mendengarkan khotbah Sang Buddha. Kemudian ia berseru, "Setelah membuat pengawalmu bertarung melawanku, engkau sekarang berpura-pura mendengarkan khotbah." Jotika menyadari bahwa raja telah pergi untuk mengambil alih tempatnya dengan paksa dan ia telah dipaksa untuk mundur. Jotika berkata kepada Raja Ajatasattu, "O, Raja! Hartaku tidak dapat diambil berlawanan dengan kehendakku." Setelah berkata, ia mengulurkan kesepuluh jarinya yang penuh dengan cincin dan meminta Sang raja untuk mengambilnya. Sang raja berusaha keras untuk mengambilnya tapi tidak bisa. Jotika menyuruh Sang raja untuk membentangkan selembar kain, dan ketika Jotika menaruh jari-jarinya pada kain tersebut, semua cincinnya dengan mudah terlepas. Setelah memberikan semua cincinnya kepada Raja Ajatasattu, Jotika memohon kepada Sang Buddha supaya ia diterima masuk dalam pasamuan bhikkhu. Segera setelah memasuki pasamuan, Jotika mencapai tingkat kesucian Arahat.

Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :

Seseorang yang dengan membuang nafsu keinginan kemudian meninggalkan kehidupan rumah-tangga dan menempuh kehidupan tanpa- rumah, yang telah menghancurkan kemelekatan dan kerinduan, maka ia Kusebut seorang 'brahmana'.

( Dhammpada XXVI. 34 )

KHUJJUTTARA - Sotapatti :

Lihat cerita tentang Brahmin

KOSIYA - Sotapatti :

Kosiya adalah orang kaya yang kikir, karena kikirnya, ia membuat roti dengan istrinya di bagian paling atas rumahnya, agar orang lain tidak melihat. Sang Buddha mengirim Maha Moggallana ke rumah orang kaya tersebut untuk dibawa ke Vihara Jetavana saat makan siang. Sesampai di rumah Kosiya, Yang Ariya Maha Moggallana hanya berdiri di jendela tanpa mengucapkan sepatah katapun. Orang kaya tersebut menyuruhnya pergi namun Beliau tetap diam. Akhirnya Kosiya berkata kepada istrinya, "Buatkan roti yang sangat kecil dan berikan pada bhikkhu itu." Istrinya lalu menaruh adonan kecil kepanggangan roti, tapi yang terjadi, roti itu menjadi besar. Kemudian diulangi lagi untuk membuat roti yang kecil, begitu lagi kejadiannya dan mereka tidak berhasil membuat roti yang kecil. Akhirnya Kosiya menyuruh istrinya mendanakan satu roti dari keranjang kepada Maha Moggallana, tapi roti itu tidak dapat dikeluarkan dari keranjangnya. Kemudian Kosiya menawarkan seluruh keranjang roti kepada Maha Moggallana. Murid utama Sang Buddha kemudian menyampaikan khotbah tentang kemurahan hati dan juga menyampaikan bahwa Sang Buddha telah menunggu mereka di Vihara Jetavana. Dengan kekuatan batin luar biasa Maha Moggallana membawa Kosiya dan istrinya dengan keranjang roti, menghadap Sang Buddha. Selesai makan siang Sang Buddha menyampaikan khotbah mengenai kemurahan hati, dan Kosiya beserta istrinya mencapai tingkat kesucian Sotapatti.

Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :

Bagaikan seekor kumbang mengumpulkan madu dari bunga-bunga tanpa merusak warna baunya; demikian pula hendaknya orang bijaksana mengembara dari desa ke desa.

( Dhammapada IV. 6 )

KANA - Sotapatti :

Kanamata adalah umat awam yang berbakti, murid Sang Buddha. Anaknya yang bernama Kana telah menikah dengan pemuda desa lain. Ketika Kana menjenguk ibunya beberapa waktu, suaminya mengirim pesan agar ia segera pulang. Tapi ibunya mencegah karena akan dibuatkan dendeng untuk suaminya. Dan ketika 4 bhikkhu berpindapatta dirumahnya, ia mendanakan sejumlah daging kepada mereka. Kanamata sebagai pengikut Sang Buddha mendanakan semua dendengnya kepada para bhikkhu yang datang kerumahnya sehingga tidak tersisa untuk Kana, dan sehingga ia tidak dapat pulang pada hari itu. Hal yang sama terjadi pada 2 hari berikutnya, ibunya juga mempersem- bahkan dendeng kepada para bhikkhu. Pada hari ketiga suaminya mengirim pesan supaya esok hari Kana pulang ke rumah, kalau tidak suaminya akan menikah lagi. Kana tetap tidak dapat pulang kerumahnya, sebab ibunya mempersembah- kan semua dendengnya kepada para bhikkhu. Peringatan suaminya jadi kenyataan, suaminya menikah lagi. Kana menjadi tidak senang kepada para bhikkhu dan sering mencaci makinya, sehingga para bhikkhu menjauh dari rumah Kanamata. Mendengar perihal Kana, Sang Buddha pergi kerumah Kanamata. Kanamata mempersembahkan bubur nasi. Setelah menyantap persembahan itu, Sang Buddha menemui Kana dan bertanya kepadanya, "Apakah para bhikkhu menerima apa yang diberikan, atau yang tidak diberikan kepada mereka ?" Kana menjawab bahwa para bhikkhu menerima apa yang diberikan kepada mereka dan menambahkan bahwa "Mereka tidak bersalah, saya yang salah". Jadi ia mengakui kesalahannya dan kemudian memberi hormat kepada Sang Buddha. Sang Buddha kemudian memberikan khotbah. Setelah mendengarkan khotbah itu, Kana mencapai tingkat kesucian Sotapatti.

Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :

Bagaikan danau yang dalam, airnya jernih dan tenang demikian pula batin para orang bijaksana menjadi tentram karena mendengarkan Dhamma.

( Dhammapada VI. 7 )

KUNDALAKESI - Arahatta :

Kundalakesi adalah putri orang kaya, dia menikah dengan seorang pencuri. Dia sangat mencintai suaminya, tapi suaminya hanya tertarik dengan hartanya. Suatu hari, suaminya membujuk untuk mengambil semua permatanya dan menuntun Kundalakesi pergi ke sebuah gunung. Sesampai di gunung ia akan menjatuhkan istrinya, tapi istrinya berhati-hati dan cerdik. Kemudian dengan menghiba Kundalakesi berkata kepada suaminya bahwa ia sangat mencintainya dan mohon diijinkan untuk memberikan penghor- matan yang terakhir kalinya. Kemudian Kundalakesi mengitari suaminya dengan penuh hormat sampai 3 kali. Pada kali terakhir ketika ia berada di belakang suaminya, dengan penuh kekuatannya ia mendorong suaminya ke jurang, dan jatuh ke tebing batu yang terjal. Setelah kejadian itu ia tidak ingin kembali lagi ke rumah, dan pergi tanpa tahu kemana ia akan pergi. Tanpa sengaja ia sampai di tempat para pertapa pengembara wanita, dan menjadi muridnya, dengan ajaran seribu problem pandangan menyesatkan. Dengan singkat ia dapat menguasai apa yang diajarkan gurunya, dan gurunya berkata, agar ia berkelana dan menemukan seseorang yang dapat menjawab semua pertanyaannya, dan jadikanlah orang itu gurunya. Kundalakesi berkelana keseluruh Jambudipa, menantang semua orang untuk berdebat, dan oleh karena itu ia dikenal sebagai Jambuka Paribbajika. Suatu hari ia tiba di Savatthi, ia membuat gundukan pasir dan menancapkan sebatang ranting eugenia diatasnya. Suatu tanda untuk mengundang orang lain dan menerima tantangannya. Dan Sariputta Thera menerima tantangannya. Kundalakesi menanyakan seribu pertanyaan kepada Sariputta Thera dan beliau berhasil menjawabnya. Dan ketika Sariputta Thera menanyakan satu pertanyaan "Apa yang satu itu ? (Ekam nama kim)." Kundalakesi lama terdiam tidak dapat menjawabnya. Kemudian ia berkata kepada Sariputta Thera untuk mengajarinya agar dapat menjawab pertanyaannya. Sariputta Thera memberitahu bahwa ia harus terlebih dahulu menjadi seorang bhikkhuni. Kundalakesi kemudian menjadi seorang bhikkhuni dengan nama Bhikkhuni Kundalakesi. Dengan tekun ia mempraktikkan apa yang diucapkan oleh Sariputta, dan hanya dalam beberapa hari kemudian, ia menjadi seorang Arahat.

Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :

Daripada seribu bait syair yang tak bermanfaat, adalah lebih baik satu kata Dhamma yang dapat memberi kedamaian kepada pendengarnya.

Walaupun seseorang dapat menaklukkan ribuan musuh dalam ribuan kali pertempuran, namun sesungguhnya penakluk terbesar adalah orang yang dapat menaklukkan dirinya sendiri.

( Dhammapada VIII. 3-4 )

KHANU-KONDANNA - Arahatta :

Setelah menerima pelajaran objek meditasi dari Sang Buddha, Kondana pergi ke hutan untuk mempraktekkan meditasi, dan disana Kondana mencapai tingkat kesucian Arahat. Dalam perjalanan pulang Kondana sangat lelah, kemudian ia duduk diatas lempengan batu besar dan mengkonsentrasikan pikiran dalam Jhana. Saat itu 500 perampok setelah merampok, menaruh hasil rampokannya ke tubuh Kondana, karena iamengira Beliau adalah tunggul pohon. Ketika hari mulai siang mereka mulai menyadari bahwa ia menaruh barang pada makhluk hidup, dan ia mengira itu adalah raksasa sehingga mereka lari ketakutan. Kondana berkata kepada mereka bahwa ia bukan raksasa tapi seorang bhikkhu. Kemudian para perampok itu mohon maaf atas perbuatannya dan mohon agar Kondana berkenan menerimanya dalam pasamuan bhikkhu. Sejak saat itu Kondana dikenal dengan nama "Khanu Kondana" (Kondana tunggul pohon).

Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :

Walaupun seseorang hidup seratus tahun, tetapi tidak bijaksana dan tidak terkendali, sesungguhnya lebih baik adalah kehidupan sehari dari orang yang bijaksana dan tekun bersamadhi.

( Dhammapada VIII. 12)

KISAGOTAMI - Arahatta :

Putri seorang kaya dari Savatti, karena mempunyai tubuh yang langsing ia dikenal sebagai Kisagotami. Setelah Kisagotami menikah, ia dikaruniai seorang anak laki-laki. Ketika anak laki-lakinya baru belajar berjalan , ia meninggal dunia. Kisagotami sangat sedih. Dengan membawa mayat anaknya, ia pergi mencari obat yang bisa menyembuhkan anaknya dan orang-orang menganggapnya gila. Orang bijaksana memberitahukan bahwa ada seorang yang harus kamu datangiyaitu Sang Buddha. Kisagotami kemudian menemui Sang Buddha dan menceritakan apa maksud kedatangannya. Sang Buddha berkata kepadanya untuk mencari segenggam biji lada, dari rumah keluarga yang belum pernah terdapat kematian. Kisagotami pergi dengan membawa anaknya untuk mencari segenggam lada, tapi dia tidak menemukannya. Ia lalu menyadari akan hal tersebut, bahwa tidak ada sebuah rumahpun dimana kematian belum pernah terjadi, dan ia tidak lagi melekat kepada anaknya. Ia meninggalkan anaknya di hutan dan kembali kepada Sang Buddha. Sang Buddha berkata, "Gotami, kamu berpikir bahwa hanya kamu yang kehilangan seorang anak, sekarang kamu menyadari bahwa kematian terjadi pada semua makhluk. Sebelum keinginan mereka terpuaskan, kematian telah menjemputnya." Kisagotami benar-benar menyadari ketidak kekalan, ketidak puasan, dan tanpa inti dari kelompok kehidupan dan mencapai tingkat kesucian Sotapatti. Kemudian Kisagotami menjadi seorang bhikkhuni. Suatu hari ia menyalakan lampu lampu, api yang menyala kemudian mati. Tiba-tiba ia mengerti dengan jelas timbul dan tenggelamnya kehidupan makhluk. Sang Buddha berkata kepada Kisagotami untuk meneruskan meditasi dengan objek ketidak kekalan dari kehidupan makhluk dan berjuang keras untuk merealisasi nibbana.

Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :

Walaupun seseorang hidup seratus tahun, tetapi tidak dapat melihat 'keadaan tanpa kematian' (nibbana), sesungguhnya lebih baik kehidupan sehari dari orang yang dapat melihat 'keadaan tanpa kematian'.

( Dhammapada VIII. 15 )

Kisagotami mencapai tingkat kesucian Arahat setelah khotbah Dhamma berakhir.

Cerita dari KISAGOTAMI yang lain - Sotapatti :

Kisagotami menghadap Buddha karena ia dilanda kesedihan yang mendalam akibat kematian anak tunggalnya. Sang Buddha berkata kepadanya bahwa bukan hanya dia yang kehilangan anak. Kematian menimpa semua mahluk sebelum keinginan mereka terpenuhi, kematian telah menjemputnya. Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :

Orang yang pikirannya melekat pada anak-anak dan ternak peliharaannya, maka kematian akan menyeret dan menghanyutkannya, seperti banjir besar menghanyutkan sebuah desa yang tertidur.

( Dhammapada XX. 15 )

Kisagotami mencapai tingkat kesucian Sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

KUKKUTAMITTA - Sotapatti :

Seorang puteri orang kaya yang telah mencapai tingkat kesucian Sotapatti jatuh hati kepada seorang pemburu yang bernama Kukkutamitta. Kemudian keduanya menikah dan mempunyai tujuh orang anak laki-laki. Dan setelah tiba waktunya semua anak mereka menikah. Suatu pagi Sang Buddha pergi ke tempat dimana pemburu telah menyusun perangkap buruannya di dalam hutan. Sang Buddha meletakkan jejak kakiNya di dekat perangkap, lalu duduk dibawah semak-semak yang rindang. Ketika pemburu datang ia tidak melihat ada binatang di perangkapnya. Sebaliknya dia melihat jejak kaki orang, dan dia menduga orang tersebut telah melepaskan buruannya. Ketika ia melihat Sang Buddha, dengan marah pemburu mengeluarkan busur dan anak panahnya untuk memanah Sang Buddha. Tetapi sewaktu ia menarik anak panahnya, ia tidak dapat bergerak. Anak-anak pemburu itu menyusul dan ketika melihat ayahnya diam seperti patung dan kemudian melihat Sang Buddha maka mengira bahwa Beliau adalah musuh ayah mereka, kemudian mereka mengambil busur panah dan mebidik kepada Sang Buddha, tetapi mereka menajdi tidak bisa bergerak juga. Karena mereka semua tidak kembali maka istrinya menyusul kedalam hutan bersama ketujuh menantunya. Melihat suami dan anak-anaknya dengan panah mereka membidik ke arah Sang Buddha, maka dia berteriak, "Jangan membunuh ayahku" "Singkirkan busur dan anak-anak panah kalian, dan beri hormat kepda ayah saya" Sang Buddha menyadari bahwa pada waktu itu pikiran pemburu dan ketujuh anaknya melembut dan mereka tergerak menyingkirkan busur-busur dan anak-anak panah mereka, kemudian memberikan penghormatan kepada Sang Buddha dan Sang Buddha memberikan ajaran Dhamma kepada mereka. Akhirnya pemburu,. ketujuh anak-anaknya dan menantunya mencapai kesucian tingkat Sotapatti.

Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :

Apabila seseorang tidak mempunyai luka di tangan, maka ia dapat menggenggam racun. Racun tidak akan mencelakakan orang yang tidak luka. Tiada penderitaan bagi orang yang tidak berbuat jahat.

( Dhammapada IX, 9 )

KUMARAKASSAPA -Arahatta :

Seorang wanita sedang mengandung ketika ia belum menjadi bhikkhuni, tetapi pada saat itu ia tidak takut akan akibatnya. Setelah beberapa lama melatih diri sebagai bhikkhuni, wanita itu melahirkan seorang putera. Anak tersebut diadopsi oleh Raja Pasenadi dan diberi nama Kumarakassapa. Pada saat anak tersebut berusia tujuh tahun, ia mengetahui bahwa ibunya adalah seorang bhikkhuni, kemudian ia menjadi seorang samanera dibawah bimbingan Sang Buddha. Setelah dewasa ia diterima dalam pasamuan bhikkhu. Sebagai bhikkhu ia mendapat pelajaran meditasi dari Sang Buddha dan pergi ke hutan. Ia melatih meditasi dengan tekun dan sungguh-sungguh maka dalam waktu singkat mencapai tingkat kesucian Arahat. Ia melanjutkan hidup di hutan selama lebih dari 12 tahun, dan selama itu ibunya tidak pernah bertemu dengannya, padahal ibunya sangat rindu kepadanya. Suatu hari ia melihat naknya, dengan penuh emosi dia berlari, menangis dan memanggil-manggil anaknya. Melihat ibunya dan demi masa depan ibunya agar dapat merealisasi Nibbana, ia berbicara keras kepada ibunya. Melihat anaknya yang berbicara keras, mendadak kerinduan kepda anaknya hilang. Kemelekatan yang sia-sia terhadap anaknya mulai jelas baginya. Ia memutuskan untuk memotong kemelekatan pada anaknya dan seluruh kemelekatan. Dan pada hari itu juga ibu Kumarakassapa mencapai tingkat kesucian Arahat.

Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :

Diri sendiri sesungguhnya adalah pelindung bagi diri sendiri. Karena siapa pula yang dapat menjadi pelindung bagi dirinya? Setelah dapat mengendalikan dirinya sendiri dengan baik, ia akan memperoleh perlindungan yang sungguh amat sukar dicari.

( Dhammapada XII, 4 )

KALA - Sotapatti :

Kala adalah putra Anathapindika, dia selalu menghindar ketika Sang Buddha dan para bhikkhu datang kerumahnya. Anathapindika membujuk putranya agar berkenan pergi dan berdiam di vihara selama sehari pada hari Uposatha dan menjajikan sejumlah uang. Putranya pergi ke vihara dan kembali keesokan harinya langsung menuntut untuk diberi uang. Pada hari berikutnya, sang ayah berkata agar anaknya mempelajari sebait syair dari Sang Buddha dan menjanjikan sejumlah uang yang lebih banyak lagi. Kemudian Kala berangkat ke vihara dan mengatakan kepada Sang Buddha bahwa ia ingin mempelajari sesuatu. Sang Buddha memberikan satu syair dan harus diulang beberapa kali. Karena harus mengulang beberapa kali, pada akhirnya ia mengerti penuh tentang Dhamma dan mencapai tingkat kesucian Sotapatti. Suatu hari Anathapindika memberikan dana makanan kepada Sang Buddha, para bhikkhu dan Kala. Kemudian ia membawa sejumlah besar uang, dan menyuruh Kala untuk mengambil uang tersebut. Kala menolak dan tetap menolak ketika ayahnya memaksanya. Sang Buddha berkata:, "Anathapindika! Hari ini, putramu telah mencapai tingkat kesucian Sotapatti, yang lebih baik daripada kekayaan duniawi atau alam para dewa maupun alam para brahma."

Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :

Ada yang lebih baik daripada kekuasaan mutlak atas bumi, daripada pergi ke surga, atau daripada memerintah seluruh dunia, yakni hasil kemuliaan dari seorang suci yang telah memenangkan arus ( Sotapatti - phala).

( Dhammapada XIII, 12 )

KHEMAKA - Sotapatti :

Khemaka selain kaya juga sangat tampan. Banyak wanita yang sangat tertarik dan tidak dapat menolak keinginan nafsu seksualnya, sehingga mereka menjadi korban pelecehan seksual. Khemaka melakukan perjinahan tanpa penyesalan. Raja Pasenadi tidak dapat berbuat apa-apa, walaupun Khemaka ditangkap, karena dia adalah keponakan Anathapindika. Maka Anathapindika sendiri membawa Khemaka menghadap Sang Buddha. Sang Buddha berbicara kepada Khemaka tentang keburukan perbuatan asusila.

Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :

Orang yang lengah dan berzina akan menerima empat ganjaran, yaitu : pertama, ia akan menerima akibat buruk; kedua, ia tidak dapat tidur dengan tenang; ketiga, namanya tercela; dan keempat, ia akan masuk ke alam neraka.

Ia akan menerima akibat buruk dan kelahiran rendah pada kehidupannya yang akan datang. Sungguh singkat kenikmatan yang diperoleh lelaki dan wanita yang ketakutan, dan rajapun akan menjatuhkan hukuman berat. Karena itu, janganlah seseorang berzina dengan istri orang lain.

( Dhammapada XXII, 4 -5 )

Khemaka mencapai kesucian tingkat Sotapatti setelah khotbah Dhamma ini berakhir.

KHEMA - Sotapatti :

Ratu Khema merupakan istri utama dari Raja Bimbisara. Ia sangat cantik dan sangat sombong. Raja menginginkannya untuk pergi ke Vihara Veluvana dan memberi hormat kepada Sang Buddha. Ratu mencoba untuk menghindar dari Sang Buddha karena Beliau selalu berbicara meremehkan kecantikan. Raja tahu bahwa ratu sangat sombong akan kecantikannya, maka raja memerintahkan group musiknya untuk menyanyikan lagu pujian tentangh Vihara Veluvana yang menyenangkan dan suasananya yang damai. Mendengar hal itu, Ratu Khema tertarik dan memutuskan untuk pergi ke Vihara Veluvana. Ketika Ratu Khema tiba di vihara, Sang Buddha sedang membabarkan Dhamma. Dengan kemampuan batin luar biasa, Sang Buddha membuat penampakan seorang gadis muda yang sangat cantik muncul, duduk tidak jauh dari Beliau dan sedang mengipasiNya. Hanya Ratu Khema yang dapat melihat gadis cantik tersebut. Khema menyadari bahwa kecantikannya jauh lebih rendah daripada kecantikan gadis tersebut. Ketika ratu memperhatikan kecantikan gadis tersebut tiba-tiba kecantikannya memudar sedikit demi sedikit, sampai akhirnya ratu melihat wanita tua jompo, kemudian roboh, mati, menjadi mayat, tubuhnya berbau busuk , dan diserang belatung. Melihat itu Ratu Khema menyadari ketidak kekalan dan ketidak berhargaan kecantikannya. Sang Buddha mengetahui keadaan pikiran Ratu Khema, kemudian Beliau berkata, " O Khema! Lihatlah baik-baik pada tubuh lapuk ini yang terbalut di sekitar kerangka tulang, dan merupakan sasaran penyakit dan kelapukan. Lihatlah baik-baik tubuh ini yang dihargai sedemikian tinggi oleh orang bodoh. Lihatlah pada ketidak-berhargaan kecantikan gadis muda ini." Setelah mendengar ini Ratu Khema mencapai kesucian tingkat Sotapatti.

Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :

Mereka yang bergembira dengan nafsu indria, akan jatuh ke dalam arus (kehidupan), seperti laba-laba yang jatuh ke dalam jaring yang dibuatnya sendiri. Tapi para bijaksana dapat memutuskan belenggu itu, mereka meninggalkan kehidupan duniawi, tanpa ikatan, serta melepaskan kesenangan-kesenangan indria.

( Dhammapada XXIV, 14 )

Pada saat khotbah Dhamma ini berakhir, Ratu Khema mencapai tingkat kesucian Arahat dan diterima dalam pasamuan bhikkhuni serta menjadi 'murid utama wanita' Sang Buddha.

Pada akhir khotbah Dhamma itu, Aggidatta dan seluruh pengikutnya mencapai tingkat kesucian Arahat.

ANITTHIGANDHA KUMARA - Sotapatti :

Anitthigandha tinggal di Savathi. Dia akan menikah dengan gadis cantik dari negara Maddas. Ketika pengantin wanita dalam perjalanan menuju Savathi dia jatuh sakit dan meninggal dunia. Mendengar kabar tentang kematian pengantin wanita, Anitthigandha menjadi putus asa. Sang Buddha datang ke rumah Anitthigandha. Orang tua Anitthigandha memberikan dana makanan kepada Beliau. Setelah bersantap, Sang Buddha meminta Anitthigandha untuk menghadapNya. Kemudian Sang Buddha menanyakan mengapa dia sedih dan putus asa, dia lalu menjelaskan tentang kematian pengantin wanitanya. Sang Buddha berkata kepadanya,"O Anitthigandha! Dari nafsu timbul kesedihan; tergantung dari nafsu terhadap barang-barang dan kesenangan duniawi, kesedihan serta ketakutan muncul."

Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair:

Dari nafsu timbul kesedihan, dari nafsu timbul ketakutan; bagi orang yang telah bebas dari nafsu, tiada lagi kesedihan maupun ketakutan.

(Dhammapada XVI. 7 )

Anitthigandha mencapai tingkat kesucian Sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

ATULA - Sotapatti :

Suatu saat Atula bersama dengan 500 orang temannya mengunjungi Revata Thera, Sariputha Thera, dan Ananda Thera, dengan harapan dapat mendengarkan Dhamma. Tapi Atula tidak puas dengan ajaran ketiga Thera tersebut. Akhirnya mereka menghadap Sang Buddha dan menjelaskan semuanya. Setelah mendengarkan penjelasan Atula, Sang Buddha berkata "Murid- muridKu, mencela orang itu bukan hal yang baru., orang-orang akan mencela walaupun itu seorang raja bahkan seorang Buddha. Dicela atau dipuji orang bodoh, tidaklah berarti. Tapi benar-benar terpuji bila ia dipuji oleh orang bijaksana."

Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair:

O Atula, hal ini telah ada sejak dahulu dan bukan baru saja ada sekarang, dimana mereka mencela orang yang duduk diam, mereka mencela orang yang yang banyak bicara, mereka juga mencela orang yang sedikit bicara. Tak ada seorangpun di dunia ini yang tak dicela.

Tidak pada zaman dahulu, waktu yang akan datang ataupun waktu sekarang, dapat ditemukan seseorang yang selalu dicela maupun yang selalu dipuji.

Setelah memperhatikan secara seksama, orang bijaksana memuji ia yang menempuh kehidupan tanpa cela, pandai serta memiliki kebijaksanaan dan sila.

Siapakah yang layak merendahkan orang tanpa cela, seperti sepotong emas murni? Para dewa akan selalu memujinya, begitu pula para brahmana.

(Dhammapada XVII. 7- 10 )

Atula dan teman-temannya mencapai tingkat kesucian Sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

ARIYA - Sotapatti :

Ariya adalah seorang nelayan yang tinggal di dekat gerbang Utara kota Savatthi. Dalam perjalanan pulang dari berpindapatta Sang Buddha bersama dengan para bhikkhu, berhenti didekat tempat dimana Ariya sedang menangkap ikan. Ketika nelayan melihat Sang Buddha, ia melemparkan alat penangkap ikannya kemudian datang dan berdiri di dekat Sang Buddha. Beliau menanyakan nama nelayan itu. Ketika nelayan menjawab bahwa namanya adalah Ariya, Sang Buddha berkata bahwa para orang mulia (Ariya) tidak melukai makluk hidup apapun, tetapi karena si nelayan membunuh ikan-ikan, maka ia tidak layak menyandang nama Ariya.

Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair:

Seseorang tidak dapat disebut Ariya (orang mulia) apabila masih menyiksa makhluk hidup. Ia yang tidak lagi menyiksa makhluk-makhluk hiduplah yang dapat dikatakan mulia.

(Dhammapada XIX. 15 )

Nelayan Ariya mencapai tingkat kesucian Sotapatti setelah khotbah dhamma itu berakhir.

LAJADEVADHITA - Sotapatti :

Mahakassapa Thera setelah bangun dari samapatti (bermeditasi mencapai konsentrasi tercerap) ingin memberi kesempatan kepada seorang untuk mendanakan sesuatu kepada orang yang baru bangkit dari samapatti. Dan terlihatlah seorang pelayan muda sedang menabur jagung di halaman rumahnya. Mahakassapa Thera berdiri di muka pintu rumahnya untuk menerima dana makanan. Wanita itu meletakkan seluruh jagungnya ke mangkuk Thera. Ketika wanita itu pulang, ia dipatuk seekor ular berbisa dan meninggal dunia. Ia terlahir kembali di alam surga Tavatimsa dan dikenal sebagai Lajadevadhita. Laja berarti jagung. Laja ingin membalas budi baik Mahakassapa Thera, karena beliaulah ia hidup di surga Tavatimsa. Kemudian setiap hari Laja pergi ke vihara tempat Thera berada, menyapu halaman, mengisi air dalam kolam mandi dan lainnya. Begitu Thera mengetahui apa yang dilakukan Laja, Thera memberi tahu agar Laja tidak datang ke vihara karena orang-orang akan membicarakan hal-hal yang tidak baik. Mendengar hal itu Laja sangat sedih dan menangis. Sang Buddha mendengar tangisannya dan berkata kepada Laja, "Devadhita, itu adalah tugas murid Ku Kassapa untuk melarangmu ke vihara, melakukan perbuatan baik adalah tugas seseorang yang berniat besar memperoleh buah perbuatan baik. Tetapi, sebagai seorang gadis, tidak patut untuk datang sendirian dan melakukan berbagai pekerjaan di vihara."

Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :

Apabila seseorang berbuat bajik, hendaklah dia mengulangi perbuatannya itu dan bersuka cita dengan perbuatannya itu, sungguh membahagiakan akibat dari memupuk perbuatan bajik.

( Dhammapada IX , 3 )

Lajadevadhita mencapai tingkat kesucian Sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

MATTHAKUNDALI - Sotapatti :

Lihat cerita Adinnapubbaka

MAHAKALA - Arahatta :

Mahakala dan Culakala adalah saudagar bersaudara. Dalam perjalanan mereka berkesempatan mendengarkan khotbah Dhamma Sang Buddha. Setelah mendengarkan khotbah tersebut Mahakala mohon kepada Sang Buddha untuk diterima dalam pasamuan bhikkhu. Culakala juga ikut bergabung. Istri-istri Culakala merayu dan berusaha agar suaminya kembali sebagai perumah tangga. Karena Culakala tidak bersungguh-sungguh masuk anggota Sangha maka ia tergoda dalam rayuan istri-istrinya dan kembali sebagai perumah tangga. Berbeda dengan Mahakala, ia bersungguh-sungguh latihan pertapaan, tekun bermeditasi dengan obyek kelapukan dan ketidak kekalan, mantap dan kuat dalam keyakinannya terhadap Buddha, Dhamma dan Sangha, maka akhirnya ia memperoleh 'Pandangan Terang' dan mencapai kesucian tingkat Arahat. Walaupun istri-istrinya berusaha keras utnuk merayunya, ia tidak tergoda sedikitpun, bahkan meninggalkan istri-istrinya dan pergi menuju Sang Buddha.

Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :

Seseorang yang hidupnya hanya ditujukan pada hal-hal yang menyenangkan, yang inderanya tidak terkendali, yang makannya tidak mengenal batas, malas serta tidak bersemangat; maka mara (Penggoda) akan menguasai dirinya, bagaikan angin menumbangkan pohon yang lapuk.

Seseorang yang hidupnya ditujukan pada hal-hal yang menyenangkan, yang inderanya terkendali, sederhana dalam makanan, penuh keyakinan serta bersemangat, maka Mara (Penggoda) tidak dapat menguasai dirinya bagaikan angin yang tidak dapat menumbangkan gunung karang.

( Dhammapada I , 7-8 )

MOGGALANA (KOLITA) - Arahatta :

Dua orang pemuda yaitu Upatissa dan Kolita pergi mengembara untuk menemukan Dhamma yang sebenarnya. Pertama-tama mereka berguru kepada Sanjaya, tetapi tidak puas. Suatu hari Upatissa bertemu Assaji Thera dan belajar tentang hakekat Dhamma. Sang Thera mengucapkan syair awal, "Ye Dhamma hetuppabhava", yang berarti "Segala sesuatu yang terjadi berasal dari suatu sebab". Mendengar syair tersebut mata batin Upatissa terbuka dan ia langsung mencapai kesucian Sotapatti Magga dan Phala. Kemudian Upatissa menemui Kolita lalu menjelaskan dan mengulangi syair tersebut, Kolita juga mencapai tingkat kesucian Sotapatti pada saat akhir syair diucapkan. Mereka mengajak bekas guru mereka yaitu Sanjaya untuk mengikuti jejak mereka, tetapi ditolak. Upatissa dan Kolita dengan 250 orang pengikutnya pergi menghadap Sang Buddha di Veluvana. Disana ia ditahbiskan dan bergabung dalam pasamuan bhikkhu. Upatissa sebagai anak laki-laki dari Rupasari dikenal sebagai Sariputta. Kolika sebagai anak laki-laki dari Moggali dikenal sebagai Moggalana. Dalam tujuh hari setelah menjadi anggota Sangha, Moggalana mencapai tingkat kesucian Arahat, Sariputta juga mencapai tingkat kesucian Arahat dua minggu setelah menjadi anggota Sangha. Kemudian Sang Buddha menjadikan mereka dua murid utama Nya. Kedua murid ini menceritakan kepada Sang Buddha tentang pertemuannya dengan Assaji Thera dan pencapaian tingkat kesucian Sotapatti, juga tentang bekas guru mereka yang menolak ajakan mereka yaitu Sanjaya. Sang Buddha menjelaskan bahwa kesalahan Sanjaya adalah keangkuhannya, yang menghalanginya untuk melihat kebenaran sebagai kebenaran, ia telah melihat ketidak benaran sebagai kebenaran dan tidak akan pernah mencapai pada kebenaran sesungguhnya.

Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :

Mereka yang menganggap ketidak-benaran sebagai kebenaran, dan kebenaran sebagai ketidak-benaran, maka mereka yang mempunyai pikiran keliru seperti itu, tak akan pernah dapat menyelami kebenaran.

Mereka yang mengetahui kebenaran sebagai kebenaran dan ketidak-benaran sebagai ketidak-benaran, maka mereka yang mempunyai pikiran benar seperti itu, akan dapat menyelami kebenaran.

( Dhammapada I , 11-12 )

MEGHIYA - Sotapatti :

Dalam perjalanan pulang setelah menerima dana makanan, Meghiya Thera tertarik pada hutan mangga yang menyenangkan, indah dan tenang serta dirasa cocok untuk tempat berlatih menditasi.

Setelah tiba di vihara, ia menghadap Sang Buddha dan menyampaikan keinginannya agar diperbolehkan pergi kesana. Karena ia terus memohon kepada Sang Buddha akhirnya Sang Buddha mengijinkannya. Segera Maghiya Thera pergi ke hutan mangga untuk berlatih meditasi, tetapi pikirannnya sukar berkonsentrasi. Sore harinya ia kembali dan lapor kepaada Sang Buddha mengapa sepanjang waktu pikirannya dipenuhi nafsu indria, pikiran jahat, pikiran kejam. Atas pertanyaan itu Sang Buddha membabarkan syair :

Pikiran itu mudah goyah dn tidak tetap; pikiran susah dikendalikan dan dikuasai. Orang bijaksana meluruskannya bagaikan seorang pembuat panah meluruskan anak panah.

Bagaikan ikan yang dikeluarkan dari air dan dilemparkan keatas tanah, pikiran itu selalu menggelepar. Karena itu cengkeram dari Mara harus ditaklukkan.

( Dhammapada III , 1-2 )

Setelah khotbah Dhamma berakhir, Meghiya Thera mencapai tingkat kesucian Sotapatti.

MIGARA - Sotapatti :

Visakha merupakan cucu dari hartawan Mendaka. Ketika Visakha berusia tujuh belas tahun, Sang Buddha berkunjung ke Bhoddiya. Hartawan Mendaka mengajak Visakha dan lima ratus pengawalnya untuk memberi penghormatan kepada Sang Buddha. Setelah mendengar khotbah Sang Buddha, Visakha, kakeknya dan semua lima ratus pengawalnya mencapai tingkat kesucian Sotapatti. Ketika Visakha dewasa, ia menikah dengan Punnavaddhana, putra Migara. Suatu hari ketika Migara makan siang, seorang bhikkhu berhenti untuk berpindapatta tapi Migara menolaknya. Visakha melihat hal ini lalu berkata: "Maafkan saya, teruslah berjalan Bhante, ayah mertua saya hanya makan makanan basi." Migara sangat marah mendengarnya, lalu mengusir menantunya. Visakha tidak mau pergi bahkan memanggil wali yang dikirim ayahnya untuk memutuskan apakah Visakha bersalah. Setelah mendengarkan penjelasan Visakha, wali tersebut mengatakan bahwa Visakha tidak bersalah. Kemudian Visakha mengatakan, kalai ia tidak diijinkan untuk berdana makanan kepada pengikut Buddha, ia akan meninggalkan rumah. Lalu Migara mengijinkan untuk mengundang Sang Buddha dan pengikutnya. Keesokan harinya Sang Buddha dan murid-muridNya diundang ke rumah Visakha untuk menerima dana makanan, ayah mertuanya dipanggil untuk ikut berdana makanan, tetapi Migara menolak, untuk kedua kalinya Migaradipanggil Visakha untuk mendengarkan Sang Buddha berkhotbah. Ayah mertuanya merasa tidaks eharusanya menolak untuk kedua kalinya. Tapi guru Migara yaitu pertapa Nigantha tidak mengijinkan dia pergi. Mereka memutuskan mendengarkan dibalik tirai. Setelah mendengarkan khotbah Sang Buddha, Migara mencapai tingkat kesucian Sotapatti. Dia sangat berterima kasih kepada Sang Buddha dan juga menantunya. Sebagai bentuk rasa terima kasihnya ia mengatakan akan menjadikan Visakha sebagai ibunya dan Visakha kemudian dikenal sebagai Migaramata.

Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :

Seperti dari setumpuk bunga dapat dibuat banyak karangan bunga; demikian pula hendaknya banyak kebajikan dapat dilakukan oleh manusia di dunia ini.

( Dhammapada IV, 10 )

MAHAKAPPINA - Arahatta :

Lihat cerita Anoja

MENDAKA - Sotapatti :

Lihat cerita Candapaduma

MAHADHANA - Sotapatti :

Saudagar Mahadhana dari Baranasi bermaksud menghadiri sebuah festival di Savatthi dengan membawa lima ratus kereta yang penuh dengan kain dan barang dagangan. Ia menunda perjalanannya selama tujuh hari karena hujan yang lebat dan air sungai yang tidak kunjung surut, ketika ia sampai di tepi sungai dekat Savatthi, Mahadhana menjadi terlambat mengikuti festival. Karena datang dari jauh ia tidak ingin kembali ke rumah dengan dagangannya yang masih utuh. Akhirnya ia memutuskan untuk menghabiskan mhujan, musim dingin dan musim panas di tempat itu dan mengajak semua pelayannya ikut serta. Saat Sang Buddha berpindapatta, Beliau mengetahui keputusan Mahadhana itu, dan tersenyum, maka Ananda bertanya kenapa Sang Buddha tersenyum, Beliau menjawab, "Ananda, tahukah kau pedagang itu? Dia mengira bahwa dia dapat tinggal di sini dan menjual semua barangnya sepanjang tahun. Dia tidak menyadari bahwa ia dapat meninggal dunia di sini dalam waktu tujuh hari. Apa yang harus dilakukan hendaknya dilakukan hari ini. Siapa dapat mengetahui seseorang akan meninggal dunia esok ? Kita tidak dapat berkompromi waktu dengan Raja Kematian. Orang yang selalu waspada tiap pagi dan malam, yang tidak terganggu oleh kekotoran batin, penuh semangat, yang hidup hanya untuk satu malam, adalah pengguna waktu yang baik." Kemudain Sang Buddha menyuruh Ananda mendatangi Mahadhana dan menjelaskan bahwa ia harus meninggalkan kelalaian dan menjadi waspada. Mahadhana menjadi sadar dan merasa takut tentang kematian. Sehingga selama tujuh hari ia mengunjungi Sang Buddha dan para bhikkhu untuk berdana makanan. Pada hari ke tujuh Sang Buddha berkhotbah tentang penghargaan dana.

Disini aku akan berdiam pada musim hujan, disini aku akan berdiam selama musim gugur, dan musim panas. Demikianlah pikiran orang bodoh yang tidak menyadari bahaya (Kematian).

( Dhammapada XX , 14 )

Pada saat khotbah Dhamma berakhir, Mahadhana mencapai tingkat kesucian Sotapatti.

Saat perjalanan pulang ia terserang sakit kepala dan akhirnya meninggal dunia.

MAHAPANTHAKA - Arahatta :

Mahapanthaka telah menjadi Arahatta ketika adik laki-lakinya Culapanthaka masuk pasamuan bhikkhu. Mahapanthaka menyuruh adiknat tersebut keluar dari pasamuan bhikkhu karena tidak dapat mengingat satu syairpun meskipun sudah empat bulan. Maka para bhikkhu lainnya bertanya kepada Sang Buddha, mengapa meskipun ia seorang Arahanta, mengusir adiknya dari vihara. Kepada mereka Sang Buddha menjawab,"Para bhikkhu! Para Arahanta tidak mempunyai keinginan jahat sepetti nafsu dan kebencian dalam diri mereka. Murid-Ku Mahapanthaka melakukan hal seperti itu dengan pengertian demi keuntungan saudaranya dan bukan karena keinginan jahat."

Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :

Seseorang yang nafsunya, kebenciannya, kesombongannya dn kemunafikannya telah gugur, seperti biji lada yang jatuh dari ujung jarum, maka ia Kusebut seorang 'brahmana'.

( Dhammapada XXVI , 25 )

NANDA - Arahatta :

Sang Buddha datang datang ke kota Kapilavatthu memenuhi permintaan ayahnya, diikuti oleh sejumlah besar Arahanta. Pada hari kedua, Sang Buddha memasuki kota dengan mengucapakan syair yang berarti : 'Seseorang harus sadar dan tidak seharusnya menjadi tidak waspada…..', hal ini menyebabkan ayahnya Raja Suddhodana mencapai kesucian tingkat Sotapatti. Ketika tiba di dalam istana, Sang Buddha mengucapkan syair yang berarti : 'Seseorang seharusnya mempraktekkan Dhamma….' , maka Sang Raja berhasil mencapai kesucian tingkat Sakadagami. Pada hari ketiga di istana berlangsung pernikahan pangeran Nanda, sepupu Sang Buddha. Sang Buddha datang untuk berpindapatta dan memberikan mangkokNya kepada Pangeran Nanda lalu meninggalkannya. Karena itu Sang Pangeran dengan memeganggi mangkok mengikuti Sang Buddha sampai di vihara, pangeran diterima dalam Sangha sebagai seorang bhikkhu. Pangeran Nanda teringat istrinya dan hatinya menjadi goyah. Sang Buddha mengetahui hal tersebut dan membandingkan istrinya tersebut dengan kecantikan para dewi. Menyadari kecantikan para dewi tersbut maka Pangeran Nanda bersedia untuk patuh kepada Sang Buddha. Dalam kesendiriannya Pangeran Nanda mencoba keras mempraktekkan Dhamma dan akhirnya mencapai tingkat kesucian Arahatta.

Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :

Bagaikan hujan yang dapat menembus rumah beratap tiris, demikian pula nafsu akan dapat menembus pikiran yang tidak dikembangkan dengan baik.

Bagaikan hujan yang tidak dapat menembus rumah beratap baik, demikian pula nafsu tidak dapat menembus pikiran yang telah dikembangkan dengan baik.

( Dhammapada I , 13-14 )

Cerita Nanda yang lain - Sotapatti :

Nanda adalah pengawas yang mengurus sapi-sapi milik Anathapindika. Pada kesempatan-kesempatan tertentu ia pergi ke rumah Anathapindika dan kadang-kadang ia bertemu dengan Sang Buddha saat Beliau memberikan khotbahNya. Nanda memohon Sang Buddha untuk berkunjung ke rumahnya, tapi Sang Buddha menolak dengan mengatakan bahwa saatnya belum tepat. Beberapa waktu kemudian ketika mengadakan perjalanan dengan pengikutNya, Sang Buddha pergi mengunjungi Nanda. Dengan hormat Nanda menerima para tamu selama tujuh hari. Pada hari terakhir, setelah mendengarkan khotbah Dhamma yang diberikan oleh Sang Buddha, Nanda mencapai kesucian tingkat Sotapatti. Pada waktu Sang Buddha pulang, Nanda mengikutiNya tetapi dia dibunuh oleh musuhnya. Para bhikkhu melaporkan hal ini dengan mengatakan bahwa gara-gara menyertai Sang Buddha pulang maka dia dibunuh. Dan kepada mereka Sang Buddha menjelaskan, "Para bhikkhu, apakah saya datang kemari atau tidak, ia tidak dapat melarikan diri dari kematian, akibat dari kamma masa lampaunya. Seperti halnya pikiran yang diarahkan secara keliru akan menjadikan seseorang jauh lebih berat terluka daripada luka yang dibuat oleh musuh ataupun pencuri. Pikiran yang diarahkan secara benar, adalah satu-satunya jaminan bagi seseorang utnuk menjauhkan diri dari bahaya."

Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :

Luka dan kesakitan macam apa pun dapat dibuat oleh orang yang saling bermusuhan atau saling membenci. Namun pikiran yang diarahkan secara salah akan melukai seseorang jauh lebih berat.

( Dhammapada III , 10 )

NIGAMAVASITISSA - Arahatta :

Bhikkhu Nigamavasitissa hidup sederhana hanya dengan mempunyai sedikti keinginan. Ia selalu melewatkan kesempatan menerima banyak dana makanan lainnya, sehingga banyak bhikkhu yang membicarakannya dan melaporkan kepada Sang Buddha. Bhikkhu Nigamavasitissa dipanggil oleh Sang Buddha dan Beliau menanyakan tentang hal itu. Dengan penuh hormat Nigamavasitissa menjelaskan kepada Sang Buddha, bahwa ketika dia mendapatkan makanan yang cukup, dia tidak akan berjalan lebih jauh lagi dan dia tidak mempersoalkan apakah makanan itu enak atau tidak enak. Sang Buddha menghargai tindakannya itu dan menceritakan kepada bhikkhu-bhikkhu yang lain. Beliau bahkan menganjurkan kepada murid-murid-Nya untuk hidup puas dengan sedikit keinginan sesuai dengan Ajaran Buddha dan para Ariya serta mencontoh tindakan bhikkhu Tissa tersebut.

Pada kejadian itu Sang Buddha membabarkan syair :

Seorang bhikkhu yang bergembira dalam kewaspadaan dan melihat bahaya dalam kelengahan tak akan terperosok lagi, ia sudah berada di ambang pintu nibbana.

( Dhammapada II , 12 )

Tissa Thera mencapai tingkat kesucian Arahatta setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

NANGALAKULA - Arahatta :

Nangala adalah buruh tani yang bekerja pada seorang petani. Suatu hari seorang bhikkhu melihatnya sedang bekerja di sawah dengan pakaian tuanya yang koyak-koyak. Bhikkhu tersebut kemudian mengajaknya menjadi bhikkhu dan dibawanya buruh tani tersebut ke vihara dan ditahbiskannya menjadi bhikkhu., . Ia meninggalkan bajak dan pakaian tuanya pda sebuah pohon tidak jauh dari vihara dan ia dikenal sebagai Nangala Thera (Nangala artinya bajak). Kehidupan di vihara menjadikan Nangala Thera sehat. Setelah beberapa saat ia merasa bosan hidup sebagai bhikkhu dan sering memikirkan untuk menjadi seorang perumah tangga. Jika pikiran itu muncul, ia pergi ke pohon dimana bajak dan pakaian tuanya diletakkan. Disana ia menegur dirinya sendiri, "O, orang tua tak tahu malu ! Apakah kamu masih menginginkan kembali menggunakan pakaian tua ini dan bekerja keras, hidup rendah sebagai buruh kasar?" Setelah berpikir begitu, ketidak puasan terhadap kehidupan bhikkhunya menjadi sirna, dan ia kembali ke vihara. Ia pergi ke pohon itu setiap tiga atau empat hari untuk merenungkan kembali masa lalunya yang tidak menyenangkan. Jika para bhikkhu menanyakan tentang kepergiannya ke pohon tersebut, ia menjawab pergi ke tempat gurunya. Waktu berlalu, karena ketekunannya, akhirnya ia mencapai tingkat kesucian Arahatta.

Pada kejadian itu Sang Buddha membabarkan syair :

Engkaulah yang harus mengingatkan dan memeriksa dirimu sendiri. O Bhikkhu, bila engkau dapat menjaga dirimu sendiri dan selalu sadar, maka engkau akan hidup dalam kebahagiaan.

Sesungguhnya diri sendiri menjadi tuan bagi diri sendiri. Diri sendiri adalah pelindung bagi diri sendiri. Oleh karena itu kendalikan dirimu sendiri, seperti pedagang kuda menguasai kuda yang baik.

( Dhammapada XXV, 20-21 )

NATAPUTTAKA - Arahatta :

Nataputtaka adalah putra seorang penari yang pergi berkeliling menyanyi dan menari. Suatu ketika ia mempunyai kesempatan untuk mendengarkan khotbah yang diberikan oleh Sang Buddha. Setelah mendengarkan khotbah tersebut, ia masuk ke dalam pasamuan dan mencapai tingkat kesucian Arahatta tidka lama kemudian. Suatu hari ketika Sang Buddha dan para bhikkhu termasuk Nataputtaka sedang berjalan untuk menerima dana makanan, mereka menjumpai anak laki-laki dari penari lain yang sedang menari di jalanan. Melihat anak muda yang sedang menari, para bhikkhu bertanya kepada Nataputtaka apakah ia masih suka menari. Nataputtaka menjawab, "Tidak, aku tidak." Para bhikkhu menemui Sang Buddha dan menceritakan bahwa Nataputtaka dengan cara itu menyatakan bahwa dirinya telah mencapai tingkat kesucian Arahatta. Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu! Nataputtaka telah meninggalkan semua ikatan kemelekatan; ia telah menjadi seorang Arahanta"

Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :

Seseorang yang telah menyingkirkan ikatan-ikatan duniawi dan juga telah mengatasi ikatan-ikatan surgawi, yang benar-benar telah bebas dari semua ikatan, maka ia Kusebut seorang 'brahmana'.

( Dhammapada XXVI, 35 )

PUTTIGATTATISSA - Arahatta :

Karena luka-lukanya yang bernanah dan berdarah sehingga tubuhnya berbau busuk, maka Tissa Thera dikenal dengan sebutan Puttigattatissa. Pada saat Sang Buddha memandang dengan penglihatan batin sempurna, Tissa Thera yang sedih karena ditinggal murid-muridnya tampak dalam penglihatan Sang Buddha. Sang Buddha mengeluarkan pancaran api di dekat tempat tinggal Tissa, dan Beliau mendidihkan air lalu datang ke tempat Tissa berbaring. Hal ini membuat murid-murid Tissa Thera berkumpul mengelilingi gurunya dan mengangkat mendekati tempat pancaran api lalu dibasuh dan dimandikan. Sesudah dimandikan maka Tissa Thera menjadi segar dan batinnya mencapai satu titik konsentrasi

Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :

Aduh, tak lama lagi tubuh ini akan terbujur di atas tanah, dibiarkan saja, tanpa kesadaran, bagaikan sebatang kayu yang tidak berguna.

( Dhammapada III , 9 )

Tissa Thera mencapai tingkat kesucian Arahatta bersamaan dengan pencapaian pandangan terang analitis setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

PANDITA - Arahatta :

Pada saat berusia tujuh tahun, Pandita menjadi seorang Samanera. Pada hari kedelapan setelah menjadi Samanera, ia mengikuti Sariputta Thera berpindapatta. Ia melihat beberapa petani mengairi ladangnya, beberapa pembuat anak panah meluruskannya dengan api-api dan beberapa tukang kayu sedang memotong dan menggergaji kayu untuk dibuat roda kereta. Kemudian ia merenung, semua yang ia lihat dapat dilakukan, mengapa saya tidak dapat menjinakkan pikiranku, melatih meditasi ketenangan dan pandangan terang. Kemudian ia minta ijin kepada Y.A. Sariputta untuk kembali ke kamarnya di vihara. Ia bersemangat dan rajin melatih meditasi, menggunakan tubuh jasmani sebagai obyek perenungan. Sebelum waktu makan tiba, Samanera Pandita mencapai tingkat kesucian Anagami. Waktu Y.A. Sariputta membawakan makanan untuk samanera, Sang Buddha mencegah supaya tidak memasuki kamar samanera. Kemudian Sang Buddha berdiri di muka pintu kamar samanera dan mengajukan beberapa pertanyaan kepada Sariputta Thera. Ketika percakapan berlangsung di tempat itu, Samanera Pandita mencapai tingkat kesucian Arahatta pada hari kedelapan setelah ia menjadi samanera.

Pada kejadian itu Sang Buddha membabarkan syair :

Pembuat saluran air mengalirkan air, tukang panah meluluskan anak panah, tukang kayu melengkungkan kayu; orang bijaksana mengendalikan dirinya.

( Dhammapada VI , 5 )

PATACARA - Arahatta :

Patacara adalah putri seorang kaya dari Savatthi yang sangat cantik, ia menikah dengan pelayan dari keluarganya. Mereka pergi dan menetap di sebuah desa. Ketika ia sedang hamil tua, ia ingin pergi ke rumah orang tuanya, tapi di tengah perjalanan ia melahirkan seorang anak laki-laki di semak-semak. Setelah melahirkan ia pulang bersama suaminya. Hal tersebut diatas berulang kembali saat ia hamil lagi, tetapi saat persalinan datang, hujan turun sangat deras. Suaminya mencarikan tempat yang sesuai untuk persalinan istrinya. Ketika ia membersihkan sebidang tanah, ia digigit seekor ular berbisa, ia meninggal saat itu juga. Ketika Patacara mencari suaminya, ia mendapatkan suaminya sudah meninggal, kemudian ia meneruskan perjalanan ke rumah orang tuanya. Karena hujan tak henti-hentinya, Sungai Aciravati menjadi banjir, sehingga ia tidak dapat membawa kedua anaknya bersama-sama. Ia meninggalkan anaknya yang tertua di tepi sungai sebelah sini, ia menyeberang dengan anaknya yang kecil. Lalu ia meletakkan bayinya ditepi sungai seberang, kemudian menyeberang untuk menjemput anaknya yang pertama, ketika ia berada di tengah sungai, seekor elang besar turun dan mematuk anaknya yang kecil, ia melambai-lambai dengan maksud menakut-nakuti elang tersebut, tapi itu sia-sia dan pada saat itu anaknya yang tertua melihat ibunya berteriak sambil melambai-lambai dikiranya memanggil dirinya, maka ia menuju arah ibunya, tapi anak itu terbawa arus sungai yang sedang banjir. Patacara kehilangan kedua anaknya dan juga suaminya. Ia menangis dan meratap dengan keras, dan ia melihat seorang laki-laki dari Savatthi dan ia menanyakan tentang kedua orang tuanya. Laki-laki itu menjawab bahwa kedua orang tua dan tiga saudaranya telah meninggal karena badai kemarin. Mendengar semua itu, ia menjadi gila. Ia berlari-lari hampir telanjang di sepanjang jalan dan berteriak-teriak. Ketika Sang Buddha berkhotbah, Beliau melihat Patacara dan membiarkan Patacara masuk kemudian seseorang memberinya secarik kain untuk menutupi dirinya. Kemudian Patacara menghadap Sang Buddha dan berkata bahwa ia telah kehilangan orang-orang yang dicintainya. Sang Buddha menjelaskan perihal kehidupan yang tak terhitung banyaknya dan seharusnya mensucikan diri dan berjuang untuk merealisasi Nibbana. Mendengar nasehat dari Sang Buddha, Patacara mencapai tingkat kesucian Sotapatti. Kemudian ia menjadi seorang bhikkhuni. Pada suatu hari ia merenung tentang air yang mengalir, Sang Buddha mengetahuinya.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair :

Walaupun seseorang hidup seratus tahun, tetapi tidak dapat melihat timbul tenggelamnya segala sesuatu yang berkondisi, sesungguhnya lebih baik kehidupan sehari dari orang yang dapat melihat timbul tenggelamnya segala sesuatu yang berkondisi.

( Dhammapada VIII , 14 )

Patacara mencapai tingkat kesucian Arahatta setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

PILOTIKATISSA - Arahatta :

Suatu saat Ananda Thera melihat seorang pemuda yang berpakaian buruk berjalan meminta makanan. Beliau merasa iba dan mengajak pemuda tersebut menjadi samanera. Pemuda tersebut kemudian meninggalkan pakaian dan mangkuknya pada sebuah dahan pohon. Pada suatu hari ia merasa tidak bahagia hidup sebagai seorang bhikkhu, ia ingin kembali sebagai umat biasa. Kemudian ia pergi ke pohon dimana ia meninggalkan pakaian dan mangkuknya. Ketika sampai disana, timbul pertanyaan dalam hatinya "Oh, orang tak tahu malu, apakah engkau mau meninggalkan kedamaian demi pakaian dan mangkuk ? Apakah engkau masih mau memakai pakaian kotor dan mangkuk tua di tanganmu?'. Setelah dirinya tenang, ia kembali ke vihara. Kejadian tersebut berulang beberapa kali. Ketika bhikkhu-bhikkhu lain bertanya, mengapa ia sering pergi ke pohon tersebut, ia memberi tahu bahwa ia pergi mencari gurunya. Dengan tetap memikirkan pakaian dan mangkuk sebagai obyek meditasi, ia menyadari hakekat dari corak kenyataan kelompok kehidupan (sebagai tidak kekal, tidak memuaskan dan tidak ada aku ), yang mengkondisikan ia mencapai tingkat kesucian Arahatta. Kemudian ia tidak pergi lagi ke pohon "guru". Melihat hal itu bhikkhu-bhikkhu lain menanyakan kepada Pilotikatissa, mengapa ia tidak pergi menemui gurunya lagi. Kepada mereka Pilotikatissa menjawab, bahwa ia sudah tidak mempunyai kebutuhan lagi untuk pergi kepadanya. Saat mendengar jawaban tersebut, para bhikkhu membawa Pilotikatissa kepada Sang Buddha, dan mengatakan bahwa ia telah mengaku dirinya telah mencapai tingkat kesucian Arahatta. Akan tetapi Sang Buddha menerangkan bahwa Pilotikatissa tidak berbohong.

Pada kejadian itu Sang Buddha membabarkan syair :

Dalam dunia ini jarang ditemukan seseorang yang dapat mengendalikan diri dengan memiliki rasa malu untuk berbuat jahat, yang senantiasa waspada, bagaikan seekor kuda yang terlatih baik dapat menghindari cemeti.

Bagaikan seekor kuda yang terlatih baik, walaupun sekali saja merasakan cambukan segera menjadi bersemangat dan berlari cepat; demikian pula halnya dengan orang yang rajin, penuh keyakinan, yang memiliki sila, semangat, konsentrasi dan menyelidiki Ajaran Benar, dengan bekal pengetahuan dan tingkah laku sempurna serta memiliki kesadaran, akan segera meninggalkan penderitaan yang berat ini.

( Dhammapada X , 15 - 16 )

PUNNA - Sotapatti :

Uttara adalah putri Punna, seorang buruh tani yang bekerja pada Sumana di Rajagaha. Suatu hari Punna dan istrinya berdana makanan kepada Sariputta Thera yang baru saja mencapai nirodha samapatti (pencerapan mental yang dalam) Akibat perbuatan baiknya ia mendadak kaya karena menemukan emas di tanah yang ia bajak. Suatu kesempatan Punna dan keluarganya berdana makanan kepada Sang Buddha dan para bhikkhu selama tujuh hari dan pada hari ke tujuh setelah mendengarkan khotbah Sang Buddha, mereka sekeluarga mencapai tingkat kesucian Sotapatti. Kemudian Uttara menikah dengan anak Sumana. Keluarga Sumana bukan keluarga Buddhis, sehingga Uttara tidak bahagia di rumah suaminya. Uttara menceritakan kepada ayahnya tentang hal tersebut. Punna menjadi menyesal dan ia segera memberikan uang sebesar 15.000 kepada Uttara. Uttara menggunakan uangnya untuk menyewa seorang wanita untuk menggantikan dirinya memenuhi kebutuhan suaminya. Dia memilih Sirima, pelacur yang sangat cantik untuk menggantikan sebagai seorang istri selama 15 hari. Selama waktu itu, Uttara memberikan dana makanan kepada Sang Buddha dan para bhikkhu. Pada hari ke 15 ia sibuk menyiapkan makanan di dapur, dan suaminya melihat dari balik jendela kamarnya. Melihat itu Sirima cemburu pada Uttara, ia lupa bahwa ia hanya istri sewaan. Karena cemburu yang tak terkendali, segera ia pergi ke dapur mengambil mentega panas untuk disiram ke kepala Uttara. Ia menyadari bahwa Sirima datang hendak menuangkan mentega panas kepadanya, iapun berseru, " Bila aku memiliki maksud buruk terhadap Sirima, biarlah mentega panas ini melukaiku, tapi bila aku tidak memiliki maksud buruk padanya, mentega panas ini tak akan melukaiku." Karena Uttara tidak memiliki maksud buruk terhdap Sirima, mentega panas yang disiramkan menjadi dingin. Sirima tidak puas, ia ingin mengambil mentega panas yang lain dan hendak menuangkan kepada Uttara, para pelayan Uttara menyerang dan memukulnya keras-keras, Uttara menghentikan para pelayannya. Akhirnya Sirima ingat akan kedudukannya, lalu ia meminta maaf kepaada Uttara. Uttara pun berkata bahwa ia harus bertanya kepada Sang Buddha apakah ia harus menerima permintaan maafnya. Sirima pun mohon untuk bertemu Sang Buddha. Pada hari berikutnya direncanakan Sirima akan menyerahkan dana makanan kepada Sang Buddha dan para bhikkhu. Setelah bersantap, Sang Buddha diberi tahu perihal Sirima dan Uttara. Uttara berkata, "Bhante, karena saya telah berhutang budi pada Sirima, saya tetap tidak naik darah, tidak memiliki maksud buruk padanya. Saya selalu memancarkan cinta saya kepadanya."

Pada kejadian ini Sang Buddha mnembabarkan syair :

Kalahkan kemarahan dengan cinta kasih dan kalahkan kejahatan dengan kebajikan. Kalahkan kekikirian dengan kemurahan hati, dan kalahkan kebohongan dengan kejujuran.

( Dhammapada XVII , 3 )

Sirima mencapai tingkat kesucian Sotapatti setelah khotbah Dhamma berakhir.

Cerita PUNNA yang lain - Sotapatti :

lihat cerita Candapaduma

Cerita PUNNA yang lain - Sotapatti :

Suatu malam, Punna seorang budak wanita sedang menumbuk padi. Saat beristirahat karena lelah, ia melihat Dabba Thera memimpin beberapa bhikkhu berjalan menuju vihara setelah mereka mendengarkan Dhamma. Punna merenung, kalau ia terjaga hingga larut malam karena miskin dan harus bekerja keras, tapi orang-orang baik itu mengapa masih terjaga padahal waktu sudah larut malam. Esok paginya, Punna mengambil sedikit beras hancur dan diolah menjadi roti. Dan dibawanya roti tersebut untuk dimakan di tepi sungai. Pada saat itu ia melihat Sang Buddha datang dan sedang berpindapatta. Ia bermaksud hendak mendanakan rotinya kepada Sang Buddha, Beliau menerima rotinya dan menyuruh Ananda Thera untuk menggelar tikar kecil di tanah. Sang Buddha duduk di atas tikar dan memakan roti yang diberikan oleh Punna. Setelah bersantap, Sang Buddha berkata kepada Punna untuk menjawab pertanyaan yang membuat Punna semalam bingung, "Punna, kau tidak dapat pergi tidur karena kau miskin dan harus bekerja keras. Begitu pula anak-anak-Ku, para bhikkhu, mereka tidak tidur karena mereka harus selalu waspada dan sadar."

Pada kejadian itu Sang Buddha membabarkan syair :

Mereka yang senantiasa sadar, tekun melatih diri siang dan malam, selalu mengarahkan batin ke nibbana, maka semua kekotoran batin dalam dirinya akan musnah.

( Dhammapada XVII , 6 )

Punna mencapai tingkat kesucian Sotapatti setelah khotbah Dhamma berakhir.

POTTHILA - Arahatta :

Potthila adalah seorang bhikkhu senior yang memahami semua teori Dhamma yang diajarkan oleh Sang Buddha dan ia sering mengajarkan Dhamma kepada 500 orang bhikkhu dengan bersungguh-sungguh. Pemahamannya itu menjadikan ia sangat sombong. Sang Buddha mengetahui kekurangannya itu, maka kapanpun Potthila datang untuk memberi hormat, Sang Buddha memanggilnya dengan 'Potthila tak berguna'. Saat Potthila mendengar panggilan itu , ia menyadari bahwa Sang Buddha menyebutnya demikian karena ia tak serius dalam berlatih meditasi dan belum mencapai tingkat kesucian. Potthila Thera kemudian pergi ke suatu tempat yang letaknya 20 yojana dari Vihara Jetavana. Di tempat ini terdapat 30 orang bhikkhu. Pertama ia mendatangi bhikkhu yang paling senior untuk menjadi penasehatnya, namun bhikkhu tersebut menyuruhnya pergi ke bhikkhu senior yang lain, demikian seterusnya sehingga ia pergi menghadap seorang samanera arahanta berusia 7 tahun dan diterima sebagai muridnya dengan catatan Potthila harus mengikuti semua petunjuk dengan penuh rasa hormat. Setelah diberi berbagai petunjuk, Potthila benar-benar teguh pada kondisi alamiah badan jasmani, ia sangat rajin dan bersungguh-sungguh dalam meditasi. Sang Buddha melihat Potthila melalui kemampuan penglihatan luar biasa serta kemampuan batin Beliau.

Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :

Sesungguhnya dari meditasi akan timbul kebijaksanaan ; tanpa meditasi keijaksanaan akan pudar. Setelah mengetahui kedua jalan bagi perkembangan dan kemerosotan batin, hendaklah orang melatih diri sehingga kebijaksanaannya berkembang.

( Dhammapada XX, 10 )

Potthila Thera mencapai tingkat kesucian Arahatta setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

PATACARA - Sotapatti :

Patacara kehilangan suami dan kedua orang putranya, sekaligus orang tua dan ketiga kakak laki-lakinya dalam waktu bersamaan. Ia menjadi hampir gila. Ketika ia mendekati Sang Buddha, Beliau berkata kepadanya, " Patacara, anak-anak tidak dapat merawatmu, bahkan meskipun mereka masih hidup, mereka tidak hadir untukmu. Orang bijaksana menjalankan moral (sila) dan menghancurkan rintangan pada jalan menuju nibbana."

Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :

Anak-anak tidak dapat melindungi, begitu juga ayah maupun sanak saudara. Bagi orang yang sedang menghadapi kematian, maka tidak ada sanak saudara yang dapat melindungi dirinya lagi.

Setelah mengetahui kenyataan ini, maka orang berbudi dan bijaksana tak akan menunda waktu dalam menempuh jalan menuju nibbana.

( Dhammapada XX, 16 - 17 )

Patacara mencapai tingkat kesucian Sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

RADHA - Arahatta :

Radha adalah seorang brahmana miskin yang tinggal di vihara. Tidak ada seoreangpun yang mendorongnya untuk menjadi seorang bhikkhu. Suatu pagi Sang Buddha pergi menemui brahmana tua itu dan mengetahui bahwa para bhikkhu tidak menginginkan brahmana tua itu bergabung dalam pasamuan bhikkhu. Kemudian Sang Buddha mengundang para bhikkhu dan bertanya, " Apakah ada diantara para bhikkhu disini yang mengingat hal baik yang pernah dilakukan oleh orang tua ini ? ". Atas pertanyaan ini Yang Ariya Sariputta menjawab, " Bhante, saya mengingat satu peristiwa ketika orang tua itu memberikan sesendok nasi kepada saya". "Jika demikian", Sang Buddha berkata, " Tidakkah seharusnya kamu menolong dermawan itu untuk membebaskannya dari penderitaan hidup ? " Yang Ariya Sariputta setuju, lalu membimbing Pradha dan brahmana tua tersebut mengikutinya dengan sungguh-sungguh. Dalam waktu beberapa hari bhikkhu tua itu telah mencapai tingkat kesucian Arahatta.

Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :

Seandainya seseorang bertemu orang bijaksana yang mau menunjukkan dan memberitahukan kesalahan-kesalahannya seperti orang yang menunjukkan harta karun, hendaklah ia bergaul dengan orang bijaksana itu. Sungguh baik dan tidak tercela bergaul dengan orang yang bijaksana.

( Dhammapada VI, 1 )

REVATA - Arahatta :

Saudara laki-laki termuda Sariputta adalah Revata, dan ia satu-satunya yang tidk meninggalkan rumah. Ayahnya mempersiapkan pernikahannya dengan gadis kecil ketika Revata berusia 7 tahun. Pada jamuan pernikahannya, ia bertemu dengan wanita tua yang berusia 120 tahun. Kemudian ia merenung dan menyadari bahwa segala sesuatu merupakan subyek dari ketuaan dan kelapukan, sehingga ia berlari dan pergi ke vihara. Kemudian Revata menjadi seorang samanera dan Sariputta Thera diberi tahu hal itu oleh para bhikkhu. Samanera Revata menerima sebuah obyek meditasi dari para bhikkhu dan pergi ke hutan akasia, 30 yojana jauhnya dari vihara. Pada akhir masa vassa ia mencapai tingkat kesucian Arahatta. Sang Buddha disertai Sariputta Thera , Sivali Thera dan 500 bhikkhu pergi mengunjungi Samanera Revata, dan perjalanan itu sangat jauh sekali. Revata mengetahui perihal kunjungan Sang Buddha, lalu dengan kekuatan batin luar biasa ia menciptakan vihara untuk Sang Buddha dan murid-muridnya, dan membuat mereka nyaman ketika mereka tinggal disana.

Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :

Apakah di desa atau di dalam hutan, di tempat yang rendah atau dia atas bukit, dimanapun Para Suci menetap, maka tempat itu sungguh menyenangkan.

( Dhammapada VII. 9 )

RUPANANDA (JANAPADA KALYANI) - Arahatta :

Janapadakalyani adalah putri dari Ibu tiri Pangeran Siddhattha karena sangat cantik ia dikenal dengan nama Rupananda. Ia menikah dengan Nanda, sepupu Pangeran Siddhattha. Suatu hari ia merenung, "Kakak saya meninggalkan keduniawian menjadi bhikkhu dan telah mencapai ke-Buddha-an, keponakan saya, suami saya, ibu saya juga menjadi bhikkhu dan bhikkhuni, sekarang tinggal saya sendiri !" Setelah merenung ia pergi ke vihara untuk ditahbiskan menjadi seorang bhikkhuni. Setelah menjadi bhikkhuni Rupananda mendengar bahwa Sang Buddha sering mengajarkan ketidak kekalan, sehingga ia berusaha untuk menghindari perjumpaan dengan Sang Buddha. Tapi suatu ketika Sang Buddha bertemu dengan Rupananda, Beliau berpikir, "Duri hanya dapat dikeluarkan dengan duri. Rupananda sangat melekat terhadap tubuhnya dan sangat sombong akan kecantikannya, dia harus meninggalkan kemelekatan dan kesombongan akan kecantikannya" Sang Buddha dengan kemampuan batin luar biasamenciptakan seorang gadis berusia 16 tahun duduk didekatnya. Gadis itu hanya dapat dilihatoleh Sang Buddha dan Rupananda. Rupananda sangat mengagumi wajah gadis yang cantik jelita itu. Ketika Rupananda memperhatikan sungguh-sungguh, ia terkejut, gadis tersebut bertambah tua berusia 20 tahun, kemudian menjadi setengah baya, tua dan sangat tua. Rupananda menyadari bahwa dengan timbulnya bayangan baru, bayangan lama lenyap. Dengan kesadaran ini, kemelekatan pada tubuhnya mulai berkurang. Pada saat itu Sang Buddha memberikan khotbah tentang ketidak kekalan, ketidak puasan dan ketanpa intian dari kelompok kehidupan dan Rupananda mencapai tingkat kesucian Sotapatti.

Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :

Kota (tubuh) ini tebuat dari tulang belulang yang dibungkus oleh daging dan darah. Disinilah terdapat kelapukan dan kematian, kesombongan dan iri hati.

( Dhammapada XI, 5 )

Rupananda mencapai tingkat kesucian Arahatta setelah kotbah Dhamma itu berakhir.

ROHINI - Sotapatti :

Pada suatu saat Anuruddha Thera mengunjungi Kapilavatthu. Ketika Anuruddha tinggal di vihara, semua keluarganya kecuali Rohini mengunjunginya. Saat Anuruddha tahu ketidak hadiran Rohini karena kusta, beliau menyuruh untuk memanggil Rohini. Dengan menutupi kepala karena malu Rohini pun dating. Anuruddha menyarankan agar ia melakukan perbuatan baik. Beliau menganjurkan untuk menjual perhiasan dan pakaiannya, dan hasi penjualan tersebut digunakan untuk membangun sebuah kuti bagi para bhikkhu. Selanjutnya Anuruddha Thera meminta Rohini untuk menyapu lantai dan mengisi tempat air setiap ahri meskipun pembangunan kuti sedang berlangsung, dan hasilnya adalah kesehatannya semakin membaik. Saat bangunan kuti selesai, Sang Buddha dan para bhikkhu diundang menerima dana makanan. Setelah bersantap, Sang Buddha bertanya siapa yang berdana kuti dan makanan tersebut, tetapi saat itu Rohini tidak hadir, maka Sang Buddha meminta agar Rohini dipanggil.. Kemudian Sang Buddha bertanya apakah Rohini tahu mengapa ia menderita penyakit yang mengerikan itu, dan Sang Buddha menjelaskan bahwa Rohini menderita penyakit kusta karena perbuatan jahat yang pernah dilakukannya pada kehidupan yang lampau, perbuatan yang diliputi rasa dengki dan marah. Akibat perbuatan jahat itu, Rohini menderita kusta pada kehidupannya yang sekarang.

Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :

Hendaklah orang menghentikan kemarahan dan kesombongan, hendaklah ia mengatasi semua belenggu. Orang yang tidak lagi terikat pada batin dan jasman, yang telah bebas dari nafsu-nafsu, tak akan menderita lagi.

( Dhammapada XVII , 1 )

Pada saat khotbah Dhamma itu berakhir, Rohini mencapai tingkat kesucian Sotapatti.

SARIPUTTA ( UPATISA ) - Arahatta :

Lihat cerita Moggalana

SUDDHODANA - Sotapatti :

Ketika Sang Buddha mengunjungi Kapilavatthu, untuk pertama kalinya Beliau tinggal di Vihara Nigrodharama. Disana Beliau menjelaskan Dhamma kepada sanak saudaraNya. Pada pagi hari Raja Suddhodhana makanan untuk 20.000 bhikkhu, tetapi ia tidak mengundang resmi Sang Buddha, sehingga Sang Buddha berjalan untuk menerima dana makanan bersama dengan rombongan para bhikkhu, seperti kebiasaan semua Buddha. Yasodhara, istri Pangeran Siddhattha sebelum Beliau meninggalkan hidup keduniawian, melihat Sang Buddha berjalan untuk menerima dana makanan. Ia memberi tahu Raja Suddhodana dan raja tergesa-gesa menghampiri Sang Buddha, dan memberi tahu Beliau bahwa seorang keluarga Kerajaan Khattiya, berkeliling meminta makanan dari pintu ke pintu adalah memalukan. Sang Buddha menjawab bahwa itu merupakan kebiasaan semua Buddha untuk berkeliling menerima dana makanan dari rumah ke rumah, dan oleh karena itu adalah benar dan layak bagi Beliau untuk tetap menjaga tradisi.

Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :

Bagun ! Jangan Lengah ! Tempuhlah kehidupan benar. Barang siapa menempuh kehidupan benar, maka ia akan hidup bahagia di dunia ini maupun di dunia selanjutnya.

Hendaklah seseorang hidup sesuai dengan Dhamma dan tak menempuh cara-cara jahat. Barang siapa hidups esuai dengan Dhamma, maka ia akan hidup bahagia di dunia ini maupun di dunia selanjutnya.

( Dhammapada XIII , 2 - 3 )

Ayah Buddha Gotama mencapai tingkat kesucian Sotapatti setelah khotbah Dhamma berakhir.

Cerita SUDDHODANA yang lain - Sakadagami :

Lihat cerita Nanda

SUMANADEVI - Sakadagami :

Dekat Savatthi, di rumah Anathapindika, 2000 bhikkhu memperoleh pelayanan makanan setiap hari. Pengaturan makanan dilakukan oleh ketiga anak perempuannya, termasuk anaknya yang termuda Sumanadevi. Kedua anak Anathapindika mencapai tingkat kesucian Sotapatti dengan mendengarkan Dhamma. Sumanadevi melakukan lebih baik dan ia mencapai tingkat kesucian Sakadagami. Suatu ketika Sumanadevi sakit, ia mengharapkan kehadiran ayahnya, dan kepada ayahnya ia memanggil "Adik laki-laki", kemudian ia meninggal dunia, isitlah panggilan ini membuat ayahnya khawatir dan ia menceritakan hal ini kepada Sang Buddha, kemudian Sang Buddha menjelaskan bahwa putrinya dalam kesadaran penuh saat ia meninggal dunia dan ia memanggil ayahnya dengan panggilan itu karena ia telah mencapai tingkat kesucian yang lebih tinggi dari ayahnya, karena ia adalah seorang Sakadagami sedangkan ayahnya seorang Sotapanna, dan diberitahukan oleh Sang Buddha bahwa Sumanadevi telah terlahir di surga Tusita.

Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :

Di dunia ini ia bahagia, di dunia sana ia berbahagia; pelaku kebnajikan berbahagia di kedua dunia itu. Ia akan berbahagia ketika berpikir , " Aku telah berbuat bajik", dan ia akan lebih berbahagia lagi ketika berada di alam bahagia.

( Dhammapada I , 18 )

Cerita SUMANADEVI yang lain Sotapatti :

Lihat cerita Candapaduma

SAMAVATI - Sakadagami :

Lihat cerita Brahmin

SAMGHARAKKHITA BHAGINEYYA - Sotapatti :

Seorang bhikkhu senior yang bernama Samgharakkhita mempunyai kakak perempuan yang melahirkan anak laki-laki, ia memberi nama Samgharakkhita Bhagineyya. Keponakan Samgharakkhita pada waktu itu juga memasuki pasamuan sangha. Ketika bhikkhu muda tinggal di vihara desa, ia diberi 2 buah jubah. Dan ia bermaksud untuk memberikan satu jubahnya kepada pamannya, tapi pamannya tidak mau sehingga ia merasa tersinggung dan sakit hati. Kemudian ia meninggalkan pasamuan sangha dan hidup sebagai perumah tangga dan hidup sebagai perumah tangga. Ia meninggalkan jubahnya lalu menikah. Istrinya melahirkan seorang anak laki-laki. Ia membawa anak dan istrinya mengunjungi pamannya ke vihara, dalam perjalanan ia bertengkar dengan istrinya masalah anaknya, dalam perebutan, anaknya terjatuh dan terlindas roda kereta. Dengan marah ia memukul istrinya, pada saat itu ia membelakangi pamannya dan tanpa sengaja ia memukul kepala pamannya. Karena malu, ia melarikan diri, lalu para bhikkhu muda mengejarnya dan membawanya kehadapan Sang Buddha.

Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :

Pikiran itu selalu mengembara jauh, tidqk berwujud, dan terletak jauh di lubuk hati. Mereka yang dapat mengendalikannya, akan bebas dari jeratan Mara.

( Dhammapada III , 5 )

Bhikkhu muda itu mencapai tingkat kesucian Sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

SOREYYA - Arahatta :

Pada saat pemuda Soreyya beserta teman dan beberapa pembantu pergi untuk membersihkan diri, dia melihat sinar keemasan dari Mahakaccayana Thera dan terlintas dalam pikirannya, "Bagaimana apabila Mahakaccayana Thera menjadi istriku, atau bagaimana apabila warna kulit istriku seperti itu." Karena muncul keinginan seperti itu maka kelaminnya berubah menjadi wanita. Dengan malu ia berlari menuju ke arah Taxila. Dengan memberikan cincin sebagai ongkos jalan, ia menumpang kereta sampai ke Taxila. Di Taxila ia bertemu dengan pemuda kaya, lalu pemuda itu menikahinya. Perkawinannya membuahkan dua anak laki-laki; dan ada juga dua anak laki-laki dari perkawinan Soreya pada waktu sebagai pria. Pada suatu hari ia mengenali seseorang yang diutus teman lamanya, lalu ia mengundang utusan itu ke tempatnya. Kemudian ia menceritakan siapa dirinya yang sebenarnya. Laki-laki utusan itu menasehatinya agar ia minta maaf kepada Mahakaccayana Thera. Mahakaccayana Thera diundang perempuan Soreyya, kepada Mahakaccayana Thera dia menceritakan semua yang telah dialaminya. Kemudian Mahakaccayana Thera menjawab, "Bangunlah, saya memaafkanmu." Setelah kata-kata tersebut diucapkan, maka perempuan tersebut berubah kelamin menjadi laki-laki. Soreyya merenung tentang keberadaan diri yang satu dengan yang lain, lalu ia memutuskan untuk meninggalkan berumah tangga dan memasuki pasamuan sangha dibawah bimbingan Mahakaccayana Thera. Sesudah itu ia sering ditanyai, "Siapa yang kamu cintai, dua anak laki-laki pada saat ia sebagai seorang laki-laki atau dua anak lain pada saat ia sebagai istri?" Ia menjawab bahwa cinta kepada mereka yang dilahirkan dari rahimnya lebih besar. Dengan pertanyaan ini ia merasa sangat terganggu dan malu. Kemudian ia menyendiri dan dengan rajin merenungkan penghancuran dan proses tubuh jasmani. Tidak terlalu lama kemudian, ia mencapai kesucian tingkat Arahatta bersamaan dengan pandangan terang analitis. Ketika pertanyaan lama ditanyakan lagi, ia menjawab bahwa ia telah tidak mempunyai lagi kesayangan pada suatu yang khusus.

Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :

Bukan dengan pertolongan ibu, ayah ataupun sanak keluarga; namun pikiran yang diarahkan dengan baik yang akan membantu dan mengangkat derajat seseorang.

( Dhammapada III , 11 )

SIRIGUTTA - Sotapatti :

Lihat cerita Garahadinna

SUPPABUDDHA - Sotapatti :

Suppabuddha dilahirkan sebagai seorang kusta, karena pada salah satu kelahirannya yang lampau ia pernah meludahi seorang Pacceka Budddha. Suatu ketika ia mendengarkan dengan penuh perhatian khotbah yang disampaikan oleh Sang Buddha, lalu ia mencapai tingkat kesucian Sotapatti. Dan ia berharap dapat memberitahukan kepada Sang Buddha tentang pencapaiannya. Sakka, raja para dewa ingin menguji keyakinan Suppabuddha dan mempengaruhinya, tetapi Suppabuddha tidka terpengaruh sama sekali. Setelah Suppabuddha sampai di vihara, ia melapor kepada Sang Buddha bahwa ia telah mencapai tingkat kesucian Sotapatti. Dalam perjalanan pulang dari Vihara Jetavana, Suppabuddha mati diseruduk seekor sapi yang sesungguhnya adalah raksasa yang menyamar sebagai seekor sapi dan raksasa itu tidak lain adalah seorang pelacur yang pada kehidupan lampau telah dibunuh oleh Suppabuddha. Ketika berita kematian ini oleh para disampaikan kepada Sang Buddha, maka diterangkan oleh Sang Buddha bahwa Suppabuddha telah terlahir di surga Tavatimsa.

Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :

Orang bodoh yang dangkal pengetahuannya memperlakukan diri sendiri seperti musuh; ia melakukan perbuatan jahat yang akan menghasilkan buah yang pahit.

( Dhammapada V , 7 )

SUDHAMMA - Arahatta :

Lihat cerita Citta

SAMKICA - Arahatta :

Lima ratus orang perampok tinggal ditengah-tengah hutan, mereka berkeinginan untuk membuat persembahan dari daging dan darah manusia untuk makhluk halus penjaga hutan. Dan pada saat itu, 30 orang bhikkhu setelah menerima pelajaran obyek meditasi dari Sang Buddha pergi ke sebuah vihara desa yang tidak jauh dari hutan itu. Ketika perampok itu pergi ke vihara desa, untuk minta agar salah seorang bhikkhu diserahkan sebagai korban, semua bhikkhu bersedia untuk pergi, termasuk samanera muda yang bernama Samkicca. Samanera itu disuruh menyertai perjalanan mereka oleh Sariputta Thera, karena samanera tersebut walaupun berusia 7 tahun tetapi sudah mencapai kesucian tingkat Arahatta. Kemudian Samkicca pergi bersama perampok. Para perampok membuat persiapan untuk acara pengorbanan, setelah siap mereka mendekati samanera yang sedang duduk dengan pikiran terpusat pada konsentrasi jhana. Pimpinan perampok mengangkat pedangnya dan menebas kepala Samkicca, tapi mata pedangnya bengkok. Pimpinan perampok meluruskan mata pedangnya, lalu menebaskan lagi ke kepala Samkicca, kali ini pedangnya bengkok sampai ke pangkalnya. Melihat hal ini pimpinan perampok menjatuhkan pedangnya dan berlutut mohon ampun kepada Samkicca. Para perampok menyesali perbuatannya dan bertekad menjadi bhikkhu.

Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :

Walaupun seseorang hidup seratus tahun, tetapi memliki kelakuan buruk dan tak terkendali, sesungguhnya lebih baik adalah kehidupan sehari dari orang yang memiliki sila dan tekun bersamadhi.

( Dhammapada VIII , 11 )

SAPPADASA - Arahatta :

Suatu saat ada seorang bhikkhu yang merasa tidak bahagia dengan kehidupannya sebagai bhikkhu tetapi ia malu kalau kembali ke kehidupan sebagai perumah tangga. Maka ia berpikir untuk mengakhiri hidupnya. Pada suatu kesempatan ia memasukkan tangannya ke dalam pot yang berisi ular. Tetapi ular itu tidak menggigitnya, karena pada kehidupan lampau ular tersebut adalah budaknya. Karena kejadian tersebut maka bhikkhu itu dikenal dengan nama Sappadasa Thera. Pada kesempatan lain ia mengambil pisau cukur untuk memotong tenggorokannya. Sebelum melakukan perbuatan itu, ia merenungkan kesucian dari praktek moralnya sepanjang hidup sebagai bhikkhu, dan seluruh tubuhnya diliputi kegiuran dan kebahagiaan. Kemudian ia melepaskan dirinya dari piti dan mengarahkan pikirannya untuk mengembangkan pengetahuan pandangan terang, maka tak lama kemudian Sappadasa mencapai tingkat kesucian Arahatta. Setelah kembali ke vihara, ia menceritakan kepada teman-temannya bahwa semula ia bermaksud hendask bunuh diri tapi batal, karena telah memotong semua kekotoran batinnya dengan pengetahuan pandangan terang. Para bhikkhu menanyakan kepada Sang Buddha, apakah untuk mencapai tingkat kesucian Arahatta bisa dengan jalan demikian singkat? Sang Buddha menjawab, "Para bhikkhu, ya, itu mungkin, untuk seseorang yang bersemangat dan rajin dalam mempraktekkan ketenangan dan mengembangkan pandangan terang, ke -arahat-an akan dicapai dalam waktu singkat. Seperti halnya seorang bhikkhu yang berjalan dengan latihan meditasi, ia dapat mencapai tingkat ke-arahat-an meskipun langkah kakinya belum menyentuh tanah."

Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :

Walaupun seseorang hidup seratus tahun, tetapi malas dan tidak bersemangat, maka sesungguhnya lebih baik kehidupan sehari dari orang berjuang dengan penuh semangat.

( Dhammapada VIII , 13 )

SANTATI - Arahatta :

Raja Pasenadi mengadakan pesta selama tujuh hari dengan gadis-gadis penari muda belia untuk memberi kegembiraan pada Menteri Santati yang telah berhasil menumpas pemberontakan di perbatasan. Pada hari ke tujuh dengan menunggang gajah kerajaan, Santati pergi mandi ke tepi sungai. Di tengah perjalanan ia bertemu dengan Sang Buddha yang sedang berpindapatta, Santati menghormat kepada Sang Buddha. Pesta Menteri Santati berlangsung sepanjang hari dan sore harinya pesta berlangsung di taman, minum lebih banyak dan menari dengan gadis penari. Gadis penari mencoba untuk menyenangkan hati Menteri Santati, tetapi saat menari dia terserang kejang-kejang dan pingsan, akhirnya dia meninggal dunia dengan mata dan mulut terbuka. Menteri itu tertekan batinnya dan ia kecewa berat. Pada saat itu ia memerlukan perlindungan, kemudian ia pergi menemui Sang Buddha bersama dengan pengikutnya dan menceritakan penderitaan yang mereka alami setelah kematian gadis penarinya. Dia berkata, " Bhante, tolonglah hilangkan penderitaanku, jadilah pelindungku, berikan ketenangan di hatiku." Kepadanya Sang Buddha berkata, "Istirahatlah anakku, engkau telah datang kepada seseorang yang dapat menolongmu, seseorang yang dapat menghiburmu dan menjadi pelindungmu. Air mata yang telah engkau tumpahkan pada saat penari itu meninggal dunia, bersamaan dengan air mata selama kelahiran kembali yang berulang-ulang lebih banyak jumlahnya daripada air yang terdapat dalam samudra."

Sang Buddha kemudian mengucapkan syair ini :

"Pada saat lampau terdapat dalam dirimu kemelekatan (upadana) yang disebabkan keserakahan; lenyapkanlah hal itu. Pada saat mendatang, janganlah bawa kemelekatan dalam dirimu. Jangan pula menempatkan kemelekatan terhadap apapun pada saat sekarang; dengan tidak memiliki kemelekatan, keserakahan dan kebencian akan lenyap dalam dirimu, dan engkau akan merealisasi "Kebebasan Mutlak' (nibbana)."

Setelah mendengar syair ini, Menteri Santati mencapai tingkat kesucian Arahatta.

Setelah mengetahui bahwa usia kehidupannya akan berakhir, maka ia minta ijin kepada Sang Buddha untuk merealisasi ' Kebebasan Akhir' dan Sang Buddha merestuinya. Maka ia terbang setinggi tujuh pohon palm, di angkasa ia bermeditasi dengan obyek perwujudan api, sampai akhirnya merealisasi ' Kebebasan Akhir' (parinibbana), tubuhnya berkobar, darah dan dagingnya menguap terbakar dan tulangnya menjadi relik beterbangan di angkasa dan terjatuh pada sehelai kain bersih yang telah direntangkan oleh para bhikkhu atas petunjuk Sang Buddha. Pada suatu pertemuan dengan Sang Buddha, para bhikkhu menanyakan apakah Menteri Santati yang telah mencapai parinibbana itu seorang samana atau brahmana ? Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :

Walau digoda dengan cara bagaimanapun, tetapi bila seseorang dapat menjaga ketenangan pikirannya, damai, mantap, terkendali, suci murni dan tidak lagi menyakiti makhluk lain, sesungguhnya ia adalah seorang brahmana, seorang samana, seorang bhikkhu.

( Dhammapada X , 14 )

SUKHA - Arahatta :

Sukha menjadi samanera pada waktu ia berusia tujuh tahun dan ditahbiskan oleh Sariputta Thera .Setelah delapan hari menjadi samanera , ia pergi berpindapatta bersama Sariputta Thera. Ia melihat petani mengairi sawahnya, pemanah meluruskan anak panah, tukang kayu membuat roda pedati dan sebagainya. Maka ia bertanya kepada Sariputta Thera apakah hal-hal itu dapat diarahkan ke suatu tujuan tertentu, atau dapat dibuat sesuai keinginan seseorang, dan dijawab bahwa memang demikian. Maka ia memahami bahwa dengan demikian tidak ada alasan mengapa seseorang tidak dapat mengendalikan batinnya. Kemudian ia minta ijin kepada Sariputta Thera untuk kembali ke vihara dan bermeditasi, Dewa Sakka dan para dewa membantu latihan meditasinya dengan menjaga ketenangan suasana di vihara. Pada hari kedelapan, Sukha mencapai tingkat kesucian Arahatta. Maka Sang Buddha berkata kepada para bhikkhu, "Ketika seseorang melaksanakan Dhamma dengan sungguh-sungguh, maka Sakka dan para dewa akan menolong dan melindunginya. Saya sendiri telah meminta Sariputta Thera berjaga di depan pintu kamarnya sehingga ia tidak terganggu. Samanera telah melihat para petani bekerja dengan giat mengairi sawahnya, para pemanah meluruskan anak panahnya, tukang kayu membuat roda pedati, dan lain-lain, kemudian ia berusaha melatih batinnya dan melaksanakan Dhamma. Ia telah mencapai tingkat kesucian Arahatta."

Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :

Pembuat saluran air mengatur jalannya air, tukang panah meluruskan anak panah, tukang kayu melengkungkan kayu; orang bajik mengendalikan dirinya sendiri

( Dhammapada X , 17 )

SAMMAJJANA -Arahatta :

Sammajjana Thera mempergunakan sebagian besar waktunya untuk menyapu halaman vihara. Pada waktu itu Revata Thera juga tinggal di vihara dan mempergunakan sebagian besar waktunya untuk bermeditasi atau pemusatan batin secara mendalam. Sammajjana mengira bahwa para bhikkhu itu bermalas-malasan saja. Suatu hari Sammajjana menemui Revata Thera dan berkata bahwa Revata sangat malas, tidak mau bersih-bersih. Revata Thera menjawab bahwa seorang bhikkhu tidak seharusnya menghabiskan seluruh waktunya untuk menyapu. Ia harus pagi-pagi sekali menyapu, kemudian pergi menerima dana makanan. Sambil merenungkan kondisi tubuhnya ia harus berusaha untuk menyadari kesunyataan tentang kumpulan-kumpulan kehidupan atau membaca buku-buku pelajaran sampai malam tiba dan ia dapat melakukan pekerjaan menyapu jika ia menginginkannya. Sammajjana Thera dengan tekun mengikuti saran yang diberikan oleh Revata Thera dan tidak lama kemudian Sammajjana mencapai tingkat kesucian Arahatta.

Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :

Barang siapa yang sebelumnya pernah malas, tetapi kemudian tidak malas, maka ia akan menerangi dunia ini bagaikan bulan yang terbebas dari awan.

( Dhammapada XIII . 6 )

SIRIMA - Sotapatti :

Lihat cerita Punna

SUBHADDA - Arahatta :

Seorang pertapa pengembara yang bernama Subhadda mendengar bahwa Buddha Gotama akan mangkat, mencapai parinibbana pada waktu jaga terakhir malam itu. Subhadda mempunyai tiga pertanyaan yang telah lama membingungkannya. Ia telah menanyakan pertanyaan tersebut kepada guru-guru agama lain, tetapi jawaban mereka tidak memuaskan baginya. Dan ia merasa bahwa hanya Sang Buddha lah yang mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Maka ia bergegas pergi ke hutan pohon sala, tetapi Y.A. Ananda tidak mengijinkannya bertemu Sang Buddha, karena kondisi Sang Buddha sangat lemah. Sang Buddha mendengar percakapan mereka dan Beliau berkenan menemui Subhadda. Subhadda menanyakan tiga pertanyaan, yaitu : 1. Apakah ada jalan di langit ? 2. Apakah ada bhikkhu-bhikkhu suci di luar Ajaran Sang Buddha ? 3. Apakah ada suatu hal yang berkondisi yang abadi ? Jawaban Sang Buddha adalah 'tidak ada'.

Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :

Tidak ada jejak di angkasa, tidak ada orang suci di luar Dhamma. Umat manusia bergembira di dalam belenggu, tetapi Para Tathagata tetap bebas dari semua itu.

Tidak ada jejak di angkasa, tidak ada orang suci di luar Dhamma. Tidak ada hal-hal berkondisi yang abadi. Tidak ada keragu-raguan bagi Para Buddha.

( Dhammapada XVIII , 20 - 21 )

Pada saaat khotbah Dhamma berakhir, Subhadda mencapai tingkat kesucian Anagami dan atas permohonannya Sang Buddha menerimanya sebagai anggota pasamuan bhikkhu ( Sangha). Subhadda adalah orang terakhir yang menjadi bhikkhu pada masa kehidupan Sang Buddha Gotama, akhirnya Subhadda mencapai tingkat kesucian Arahatta.

SANU - Arahatta :

Suatu hari samanera Sanu naik ke atas mimbar dan mengulang bagian-bagian dari Dhamma yang telah dibabarkan oleh Sang Buddha. Ketika ia telah menyelesaikan pengulangannya, ia dengan sungguh-sungguh menyebut "Semoga jasa-jasa yang telah saya peroleh hari ini dengan mengulang syair-syair mulia ini, dinikmati pula oleh ibu dan ayah saya " Ketika dewa-dewa dan raksasa yang pada kehidupan lampau pernah menjadi ibu Samanera Sanu telah mendengar pengulangannya, raksasa tersebut sangat gembira dan cepat berteriak, "Putraku sayang, betapa bahagianya saya dapat ikut menikmati jasamu; kau telah melakukannya dengan baik, putraku sangat baik ! Sangat baik ! (Sadhu ! Sadhu ! ) " Karena jasa Samanera Sanu, dewa dan raksasa tersebut diberi tempat yang utama dalam perkumpulan mereka. Saat Samanera Sanu tumbuh menjadi lebih tua, ia ingin kembali pada kehidupan sebagai umat biasa, tapi ibunya tidak ingin ia meninggalkan Sangha, juga raksasa yang pernah menjadi ibunya pada masa lampau tidak ingin Sanu meninggalkan Sangha, karena ia akan malu dan menjadi tertawaan di antara raksasa dan dewa yang lain. Dia mencoba untuk menghentikannya agar tidak meninggalkan Sangha, lalu ia merasuki Sanu. Sanu berguling-guling di lantai, berkomat-kamit tidak karuan dengan air liur berlelehan dari mulutnya. Kemudian raksasa itu berkata, "Samanera ini ingin meninggalkan Sangha dan kembali pada kehidupan umat awam; jika ia berbuat demikian maka ia tidak akan dapat lepas dari dukkha." Setelah berkata demikian raksasa tersebut meninggalkan tubuh Sanu dan Sanu menjadi normal kembali. Melihat ibunya menangis dan para tetangga berkumpul di sekitarnya, ia bertanya apa yang telah terjadi. Ibunya menceritakan semua yang telah terjadi pada anaknya dan menjelaskan pada mereka bahwa untuk kembali pada kehidupan umat awam dan meninggalkan Sangha adalah kebodohan. Sesungguhnya, meskipun ia hidup seperti orang mati. Samanera Sanu menyadari kesalahannya. Dengan membawa tiga jubah dari ibunya, ia kembali ke vihara dan diterima sebagai seorang bhikkhu. Ketika berkata tentang Samanera Sanu, Sang Buddha yang berharap untuk mengajar tentang latihan batin berkata, "Anak-Ku, seseorang yang tidak mengendalikan pikirannya, yang mengembara kemana-mana, tidak dapat menemukan kebahagiaan. Karena itu, kendalikanlah pikiranmu seperti seorang pelatih gajah mengendalikan seekor gajah."

Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :

Dahulu pikiran ini mengembara, pergi kepada obyek-obyek yang disukai, diingini, dan kemana yang dikehendaki. Sekarang aku akan mengendalikannya dengan penuh perhatian, seperti seorang penjinak gajah mengendalikan gajah dengan kaitan besi

( Dhammapada XXIII , 7 )

SATAKAYA - Arahatta :

Santakaya Thera pada kehidupan lampau hidup sebagai singa. Singa-singa pada umumnya pergi seharian mencari makan dan berisitirahat seminggu berikutnya tanpa bergerak di dalam gua. Dan dalam kehidupan sekarang ia juga mempunyai kebiasaan seperti singa, ia bergerak sangat sedikit, sangat pelan dan pasti, dan ia biasanya tenang serta terpusat. Bhikkhu-bhikkhu lain merasa aneh melihat kelakuannya, mereka memberitahukan hal ini kepada Sang Buddha, maka Sang Buddha berkata kepada mereka, "Para bhikkhu, seorang bhikkhu yang tenang dan terpusat; ia akan berperilaku seperti Santakaya."

Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :

Seorang bhikkhu yang memiliki perbuatan, ucapan, serta pikiran yang tenang dan terpusat, yang telah dapat menyingkirkan hal-hal duniawi, maka ia adalah orang yang benar-benar damai.

( Dhammapada XXV , 19 )

Santakaya Thera mencapai tingkat kesucian Arahatta setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

SUNDARASAMUDDA - Arahatta :

Sundarasamudda adalah anak seorang hartawan dari Savatthi. Setelah memasuki pasamuan bhikkhu, ia pergi ke Rajagaha untuk berlatih meditasi. Suatu hari ayahnya menangis memikirkannya, ketika ayahnya sedang menangis, seorang pelacur datang dan menanyakan kenapa ia menangis dan apa yang bisa dibantunya. Ayah Sundarasamudda menceritakan tentang anaknya dan akan menjadikan pelacur itu kaya kalau bisa membujuk anaknya pulang. Pelacur tersebut pergi ke Rajagaha dan disana ia menyewa sebuah rumah bertingkat di rute perjalanan dimana Sundarasamudda biasa berpindapatta. Pada beberapa hari pertama ia memberikan dana makanan kepada Sundarasamudda di pintu rumahnya. Pada suatu hari ia memberi uang kepada beberapa anak-anak untuk bermain di luar rumahnya pada saat kira-kira Sundarasamudda datang, sehingga hal ini membuat keadaan tidak nyaman bagi Sundarasamudda menerima dana makanan karena halaman kotor dan berisik, sehingga si pelacur tersebut mengundang Sundarasamudda masuk ke rumahnya dan naik ke lantai atas untuk menerima dana makanan. Setelah Sang Thera memasuki ruang atas, si pelacur menutup pintu dan mulai menggoda Sundarasamudda. Ketika mendengar semua rayuan si pelacur, tiba-tiba ia menyadari kekeliruannya dan terkejut. Kemudian ia berkata kepada dirinya sendiri : "Sungguh, karena kelalaian dan kurangnya perhatian aku telah membuat satu kekeliruan besar". Pada saat itu Sang Buddha memperhatikan dari kuti harum Beliau apa yang sedang terjadi pada Sundarasamudda di Rajagaha. Sang Buddha kemudian mengirimkan sinar kesucian kepada Sundarasamudda dan membuatnya merasakan kehadiran Beliau. Lalu Beliau berkata : "Murid-Ku! Putuskanlah dan buanglah rasa cinta terhadap kekayaan dan kesenangan-kesenangan nafsu keinginan."

Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :

Seseorang yang dengan membuang nafsu keinginan kemudian meninggalkan kehidupan rumah-tangga dan menempuh kehidupan tanpa-rumah, yang telah menghancurkan nafsu indria akan ujud yang baru, maka ia Kusebut seorang 'brahmana'.

( Dhammapada XXVI , 33 )

Pada akhir khotbah ini Sundarasamudda mencapai tingkat kesucian Arahatta dan dengan kemampuan batin luar biasanya, ia menerobos atap rumah menuju angkasa, pergi menemui Sang Buddha.

TISSA - Arahatta :

Ayah Tissa seorang hartawan, biasa memberi dana makanan kepada murid utama Sang Buddha, Sariputta Thera. Pada umur 7 tahun, Tissa menjadi seorang samanera dibawah bimbingan Sariputta Thera. Setelah mempelajari salah satu obyek meditasi, ia pergi ke sebuah vihara yang terletak di sebuah hutan. Setiap kali penduduk berdana sesuatu, Tissa hanya berkata : "Semoga kamu berbahagia, bebas dari penderitaan,"dan ia kemudian berlalu. Ketika ia tinggal di vihara di dalam hutan, ia tekun dan rajin berlatih meditasi, dan pada akhir bulan ketiga ia mencapai tingkat kesucian Arahatta. Y.A.Sariputta ditemani Y.A. Maha Moggallana dan beberapa bhikkhu senior dating mengunjungi Samanera Tissa dengan seijin Sang Buddha. Seluruh penduduk desa hadir dan memohon agar Y.A. Sariputta berkenan menyampaikan khotbah, tetapi Y.A. Sariputta menyuruh Tissa untuk berkhotbah. Untuk memenuhi permintaan gurunya, maka Samanera Tissa pergi ke tempat khusus untuk menyampaikan khotbah Dhamma. Setelah khotbah Dhamma selesai, Y.A. Sariputta memuji Tissa yang telah menyampaikan khotbah Dhamma dengan baik. Tetapi penduduk desa ada yang puas, ada pula yang tidak puas karena pada awalnya ia hanya sedikit mengajarkan Dhamma kepada mereka. Sang Buddha dengan kemampuan batin luar biasa melihat bahwa timbul dua kelompok penduduk desa, kemudian Beliau menampakkan diri untuk menjernihkan kesalahpahaman yang ada. Sang Buddha hadir pada saat penduduk menyediakan dana makanan, dan setelah Sang Buddha bersantap, Beliau berkata kepada penduduk desa, "O Umat awam, kamu semua sangat beruntung memiliki Samanera Tissa diantara kalian. Karena dengan kehadirannya disini, Aku, Murid-murid utama-Ku, bhikkhu-bhikkhu senior dan banyak bhikkhu lainnya saat ini hadir mengunjungi kalian", maka penduduk desa sadar keuntungan adanya Samanera Tissa. Setelah Sang Buddha menyampaikan khotbahNya, beberapa penduduk desa mencapai tingkat kesucian Sotapatti. Pada waktu pulang ke vihara, Sang Buddha menjelaskan kepada para bhikkhu: "para bhikkhu, seorang bhikkhu, apakah ia tinggal di desa ataupun di kota, seharuisnya hidup tidak mengharapkan pemberian dan dana. Jika seorang bhikkhu meninggalkan semua keuntungan keduniawian dan rajin melaksanakan Dhamma, maka ia pasti akan mencapai tingkat kesucian Arahatta."

Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :

Ada jalan lain menuju keuntungan duniawi, dan ada jalan lain menuju ke Nibbana. Setelah menyadari hal ini dengan jelas, hendaklah seseorang bhikkhu siswa Sang Buddha tidak bergembira dalam hal-hal duniawi, tetapi mengembangkan pembebasan diri.

( Dhammapada V , 16 )

Cerita TISSA yang lain Arahatta :

Setelah menerima obyek meditasi dari Sang Buddha, Tissa Thera pergi ke sebuah gua dan memutuskan tinggal di dalam gua selama 3 bulan. Karena ia tinggal di dalam gua, ia pergi ke desa untuk berpindapatta setiap pagi. Seorang wanita yang usianya lebih tua secara teratur memberikan dana makanan kepadanya. Di dalam gua tempat tinggal Tissa, juga hidup hantu penjaga gua. Hantu tersebut ingin mengusir Tissa dari gua tetapi tidak berani, maka ia memikirkan suatu rencana agar bias mengeluarkan Tissa dari gua. Kemudian ia merasuki anak laki-laki dari wanita tua yang setiap hari memberikan dana makanan kepada Tissa. Anak laki-laki tersebut menolehkan kepalanya kebelakang dan memutar-mutarkan matanya dan berkata, agar gurunya Sang Thera mencuci kakinya dengan air dan menuangkan air itu ke kepala anak laki-laki tersebut. Ibunya bingung dan menangis. Ketika Sang Thera datang untuk menerima dana makanan ia melakukan seperti yang dianjurkan oleh hantu gua tadi dan anaknya menjadi tenang. Hantu gua menunggu kedatangan Sang Thera di lubang masuk gua. Ketika Sang Thera tiba dari berpindapatta, hantu gua menampakkan dirinya dan berkata, "Akulah hantu penjaga gua ini. O, kamu, tabib, tidak boleh memasuki gua ini." Kemudian hantu gua menuduhnya bahwa pada pagi hari ia telah menyembuhkan seorang anak muda yang dirasuki oleh raksasa. Tetapi Sang Thera tersebut menyadari hal itu sesungguhnya bukan praktek ketabiban, dan ia menyadari bahkan hantu gua tidak dapat menemukan kesalahan lain padanya. Hal ini memberinya suatu kepuasan yang sangat menggembirakan dirinya sendiri, meninggalkan kegiuran dan konsentrasi keras menuju 'Meditasi Pandangan Terang'. Ia kemudian mencapai tingkat kesucian Arahatta disana, ketika ia sedang berdiri pada lubang masuk gua. Sang Thera terus menetap di sana sampai akhir vassa, dan kemudian ia kembali menemui Sang Buddha. Ketika menceritakan kepada para bhikkhu tentang pertemuannya dengan hantu gua dan menyatakan bahwa ia tidak marah ketika dilarang masuk gua, para bhikkhu yang lain tidak mempercayainya, mereka menemui Sang Buddha dengan menyatakan ketidak percayaannya karena mengganggap bahwa Tissa telah menyatakan dirinya sebagai seorang Arahanta. Kepada mereka Sang Buddha menjawab, "Para bhikkhu, murid-Ku Tissa berbicara yang sebenarnya ketika ia berkata bahwa ia tidak marah. Ia telah sungguh-sungguh menjadi seorang Arahanta. Ia tidak lagi melekat kepada siapapun; ia tidak mempunyai kesempatan untuk marah kepada siapapun ataupun kepada segala sesuatu yang berhubungan dengannya."

Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :

Orang yang menjauhkan diri dari masyarakat umum maupun para pertapa, yang mengembara tanpa tempat tinggal tertentu dan sedikit kebutuhannya, maka ia Kusebut seorang 'brahmana'.

( Dhammapada XXVI , 22 )

TAMBADATHIKA - Anulomaññana ( hampir Sotapatti ) :

Sebelum pensiun, pekerjaan Tambadathika sebagai penjagal para pencuri di suatu kerajaan. Pada suatu hari Tambadathika mengambil bubur nasi, setelah kembali dari sungai untuk mandi. Tapi ia melihat Sariputta Thera berdiri di depan pintu rumahnya. Pada saat melihat Sariputta Thera, ia berpikir bahwa dalam hidupnya telah menghukum mati para pencuri dan sekarang seharusnya ia mempersembahkan makanan kepada bhikkhu ini. Kemudian ia mempersembahkan bubur nasinya. Setelah bersantap, Sariputta Thera mengajarkan Dhamma kepadanya, tapi ia tidak konsentrasi. Sariputta Thera mengetahui hal ini, dan menanyakannya apakah ia membunuh itu atas kemauannya sendiri, kalau hanya diperintah oleh raja dan tidak ada niat untuk membunuh, berarti ia tidak bersalah. Oleh karena itu maka ia menjadi tenang dan mendengarkan Dhamma yang disampaikan oleh Sariputta Thera dengan penuh perhatian, ia hampir mencapai tingkat kesucian Sotapatti, ia hanya mencapai tingkat kesucian Anulomaññana. Setelah khotbah Dhamma berakhir, Tambadathika menyertai Sariputta Thera pulang sampai jarak tertentu, ketika ia dalam perjalanan pulang, setan yang menyamar sebagai sapi menyeruduknya sehingga ia meninggal dunia. Ketika Sang Buddha pada pertemuan bhikkhu sore harinya, para bhikkhu memberi tahu perihal kematian Tambadathika, Sang Buddha berkata bahwa meskipun Tambadathika telah melakukan perbuatan jahat sepanjang hidupnya, karena memahami Dhamma setelah mendengar dari Sariputta Thera, maka ia telah mencapai anulomaññana sebelum meninggal dunia. Ia dilahirkan kembali di surga Tusita. Kepada mereka Sang Buddha berkata, "Daripada suatu penjelasan panjang yang tanpa makna, lebih baik satu kata yang mengandung pengertian dapat menghasilkan manfaat yang lebih besar."

Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :

Daripada seribu kata yang tak berarti, adalah lebih baik sepatah kata yang bermanfaat, yang dapat memberi kedamaian kepada pendengarnya.

( Dhammapada VIII , 1 )

UPPALAVANNA - Arahatta :

Seorang hartawan mempunyai putri yang sangat cantik dengan wajah sangat lembut dan manis yang bernama Uppalavanna. Banyak pemuda yang ingin melamarnya, tetapi ia memutuskan untuk menjadi bhikkhuni. Suatu hari ia menyalakan sebuah lampu, lalu ia memusatkan pikirannya pada nyala lampu dan bermeditasi dengan obyek api, sehingga ia mencapai pandangan terang magga dan akhirnya mencapai kesucian tingkat Arahatta. Pada waktu ia keluar untuk berpindapatta, Nanda (putra pamannya) datang dan memukul-mukulkan dirinya ke bawah tempat duduk Uppalavanna karena ia telah jatuh cinta kepada Uppalavanna sebelum menjadi bhikkhuni, setelah puas, ia meninggalkan Uppalavanna, segera setelah ia melangkahkan kakinya ke tanah, tanah itu langsung membelah dan ia masuk ke dalamnya akibat dari perbuatannya mengganggu orang suci.

Mendengar kejadian itu, Sang Buddha membabarkan syair :

Selama buah dari suatu perbuatan jahat belum masak, maka orang bodoh akan menganggapnya manis seperti madu; tetapi apabila buah perbuatan itu telah masak, maka ia akan merasakan pahitnya penderitaan.

( Dhammapada V , 10 )

Beberapa orang mencapai tingkat kesucian Sotapatti setelah khotbah Dhamma berakhir.

UTTARA - Sotapatti :

Pada suatu hari Uttara Theri yang berusia 120 tahun berjalan kembali dari berpindapatta. Ia bertemu dengan seorang bhikkhu, dan memohon untuk menerima persembahan dana makanannya. Tanpa pertimbangan, bhikkhu tersebut menerima semua dana makanannya, sehingga Uttara pergi tanpa membawa makanan. Hal yang sama terjadi selama tiga hari berturut-turut sehingga Uttara Theri tidak makan dan tubuhnya menjadi lemas. Pada hari keempat, ketika ia dalam perjalanan berpindapatta, ia bertemu Sang Buddha, lalu ia menghormat kepada Beliau, kemudian berjalan mundur dan tak sengaja ia menginjak jubahnya sendiri lalu ia terjatuh dan kepalanya terluka. Sang Buddha mendekati Uttara, dan berkata, "Tubuhmu telah menjadi sangat tua dan lemah, akan segera hancur dan binasa."

Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :

Tubuh ini benar-benar rapuh, sarang penyakit dan mudah membusuk. Tumpukan yang menjijikkan ini akan hancur berkeping-keping. Sesungguhnya, kehidupan ini akan berakhir dengan kematian.

( Dhammapada XI , 3 )

Uttara Theri mencapai tingkat kesucian Sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

Cerita UTTARA yang lain Sotapatti:

Seekor raja naga yang bernama Erakapatta dalam salah satu kehidupannya yang lampau adalah seorang bhikkhu pada masa Buddha Kassapa. Karena gelisah, ia telah melakukan pelanggaran-pelanggaran kecil dan ia terlahir sebagai seekor naga, sebagai seekor naga ia menunggu munculnya seorang Buddha baru.. Erakapatta mempunyai putri yang sangat cantik, maka ia memanfaatkannya untuk tujuan menemukan Sang Buddha. Dua kali dalam sebulan putrinya menari di udara dan mengumandangkan pertanyaan-pertanyaan. Siapa yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu berhak memperistri putrinya. Suatu hari Sang Buddha melihat seorang pemuda yang bernama Uttara dalam perjalanan untuk bertemu dengan putri Erakapatta. Sang Buddha menghentikannya dan mengajari bagaimana untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Ketika sedang diberi pelajaran, Uttara mencapai tingkat kesucian Sotapatti, dan ia tidak lagi memiliki keinginan terhadap putri Erakapatta. Uttara pergi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan demi kebaikan semua mahluk. Putri Erakapatta memberikan empat pertanyaan dan dijawab dengan benar oleh Uttara sesuai yang diajarkan oleh Sang Buddha. Ketika Erakapatta mendengar jawaban-jawaban itu, ia tahu bahwa seorang Buddha telah muncul di dunia., sehingga ia minta kepada Uttara untuk diantarkan menghadap Sang Buddha. Setelah bertemu dengan Sang Buddha, Erakapatta menceritakan tentang dirinya, dan bagaimana sampai ia terlahir sebagai seekor naga. Maka Sang Buddha mengatakan kepada sang naga, betapa sulit untuk dilahirkan di alam manusia, dan untuk dilahirkan pada saat munculnya para Buddha atau selama para Buddha mengajar.

Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :

Sungguh sulit untuk dapat dilahirkan sebagai manusia, sungguh sulit kehidupan manusia, sungguh sulit untuk dapat mendengarkan Ajaran Benar, begitu pula, sungguh sulit munculnya seorang Buddha.

( Dhammapada XIV , 4 )

Khotbah diatas bermanfaat bagi banyak mahluk, Erakapatta sebagai seekor hewan tidak dapat mencapai tingkat kesucian Sotapatti.

Cerita UTTARA yang lain Sotapatti:

Lihat cerita Punna

UGGASENA - Arahatta :

Uggasena, putra yang masih muda dari seorang hartawan jatuh cinta dengan seorang penari, putri seorang pemain akrobat. Orang tuanya tidak dapat mencegah keinginan putranya, akhirnya Uggasena menikah dan mengikuti rombongan tersebut. Uggasena tidak berguna bagi rombongan tersebut karena ia bukan pemain akrobat, ia hanya membantu mengangkut kotak-kotak, mengemudikan kereta dan lain-lain. Ketika Uggasena dan sang penari dikaruniai seorang anak laki-laki, sang penari sering menyanyikan lagu seperti ini, "O kamu, putra seorang lelaki yang menjaga kereta-kereta; lelaki yang mengangkut kotak-kotak dan buntelan-buntelan ! O Kamu putra seorang yang bodoh, yang tidak dapat melakukan apapun!" Uggasena merasa bahwa istrinya menunjukkan hal itu kepadanya, membuat ia sangat terluka dan tertekan. Maka ia pergi menemui ayah mertuanya agar diajari bermain akrobat yang trampil. Suatu ketika Uggasena pergi ke Rajagaha dengan rombongannya untuk memperlihatkan ketrampilannya di muka umum. Pada hari ketujuh, sebatang galah digunakan dan Uggasena berdiri di atasnya. Saat itu Sang Buddha melihat Uggasena dalam batin Beliau dan mengetahui bahwa telah tiba saatnya bagi Uggasena untuk mencapai tingkat kesucian Arahatta, maka Sang Buddha memasuki kota Rajagaha dan berusaha agar orang-orang mengalihkan perhatiannya kepada Beliau, bukan bertepuk tangan atas prestasi Uggasena. Maka hal ini membuat Uggasena merasa tidak puas, kemudian Sang Buddha menyapa Uggasena, "Uggasena, orang bijaksana seharusnya melepaskan semua kemelekatan pada kelompok-kelompok kehidupan , dan berjuang untuk mencapai kebebasan dari lingkaran tumimbal lahir."

Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :

Tinggalkan apa yang telah lalu, yang akan datang maupun yang sekarang (kemelekatan terhadap lima kelompok kehidupan) dan capailah 'Pantai Seberang' (nibbana). Dengan pikiran yang telah bebas dari segala sesuatu, maka engkau tak akan mengalami kelahiran dan kelapukan lagi.

( Dhammapada XXIV , 15 )

Pada saat khotbah Dhamma berakhir, Uggasena yang masih berada di atas galah mencapai tingkat kesucian Arahatta. Ia turun dan segera diterima dalam pasamuan bhikkhu oleh Sang Buddha.

VISAKHA - Anagami :

Lihat cerita Dhammadinna

Cerita VISAKHA yang lain - Sotapatti :

Lihat cerita Migara

Cerita VISAKHA yang lain - Sotapatti :

Lihat cerita Candapaduma

VAKKALI - Arahatta :

Vakkali adalah seorang brahmana yang tinggal di Savatthi. Suatu hari ia melihat Sang Buddha berpindapatta di dalam kota. Ia sangat hormat dan sangat terkesan dengan kemuliaan Sang Buddha. Ia mohon untuk diterima dalam pasamuan bhikkhu agar selalu dekat dengan Sang Buddha. Vakkali tidak memperhatikan tugas kewajibannya sebagai bhikkhu dan tidak berlatih meditasi. Karena itu Sang Buddha berkata kepadanya, Vakkali, tidak akan bermanfaat bagimu yang selalu dekat dengan-Ku, memperhatikan wajah-Ku. Kamu harus berlatih meditasi, sebab hanya ia yang melihat Dhamma akan melihat Saya. Ia yang tidak melihat Dhamma tidak akan melihat Saya." Ketika mendengar kata-kata itu Vakkali sangat tertekan. Ia meninggalkan Sang Buddha dan memanjat bukit Gijjhakuta untuk bunuh diri dengan meloncat dari puncak bukit. Sang Buddha mengetahui kesedihan dan keputusasaan Vakkali, oleh karena itu Sang Buddha mengirimkan bayangan Beliau kepada Vakkali, membuat seolah-olah Beliau berada dihadapannya. Ketika Sang Buddha berada dekat di hadapannya, segera Vakkali melupakan segala kesedihannya, ia menjadi sangat gembira dan yakin.

Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :

Dengan penuh kegembiraan dan penuh keyakinan terhadap Ajaran Sang Buddha, seorang bhikkhu akan sampai pada keadaan damai ( nibbana) disebabkan oleh berakhirnya semua ikatan.

( Dhammapada XXV , 22 )

Vakkali mencapai tingkat kesucian Arahatta setelah khotbah Dhamma berakhir.

VANGISA- Arahatta :

Di Rajagaha terdapat seorang brahmana bernama Vangisa, dengan cara sederhana ia mengetuk-ngetuk tengkorak manusia yang telah meninggal dan dia akan mengetahui dimana orang tersebut dilahirkan kembali. Para brahmana membawa Vangisa menuju banyak desa, dan orang-orang yang mencari informasi dimana saudaranya dilahirkan kembali, harus membayarnya. Pada suatu kesempatan, Vangisa dan kelompoknya datang ke suatu tempat yang tidak jauh dari Vihara Jetavana. Para brahmana mengundang orang-orang untuk datang menemui Vangisa dengan mengatakan bahwa Vangisa dapat mengetahui saudara mereka yang sudah meninggal dilahirkan kembali dimana. Para pengikut Sang Buddha mengatakan bahwa guru mereka adalah satu-satunya yang tanpa saingan, Ia adalah satu-satunya Yang Telah Mencapai Pencerahan. Ketika para brahmana mendengar perkataan itu, mereka lalu membawa Vangisa menuju Vihara Jetavana untuk bertanding dengan Sang Buddha. Sang Buddha mengetahui maksud kedatangan mereka, lalu Beliau memerintahkan para bhikkhu untuk membawa tengkorak dari seseorang yang terlahir di alam neraka, terlahir di alam binatang, terlahir di alam dewa dan seorang arahanta. Kepada Vangisa diperlihatkan tengkorak-tengkorak itu, dia dapat mengetahui dimana pemilik keempat tengkorak itu dilahirkan, tapi ketika ia menuju ke tengkorak seorang Arahanta, ia kehilangan jejak. Kemudian Sang Buddha berkata, "Vangisa, tidakkah engkau tahu ? Aku tahu dimana pemilik tengkorak ini berada." Vangisa lalu minta Sang Buddha untuk memberinya mantra gaib yang harus diketahuinya, tetapi Sang Buddha mengatakan bahwa mantra itu hanya dapat diberikan kepada seoarng bhikkhu, maka Vangisa menjadi seorang bhikkhu. Sebagai seorang bhikkhu ia dianjurkan oleh Sang Buddha untuk merenungkan tiga puluh dua unsur pokok dari tubuh. Vangisa dengan tekun melatih meditasi seperti yang dianjurkan oleh Sang Buddha dan mencapai tingkat kesucian Arahatta pada waktu yang singkat.

Ketika para bhikkhu yang lain tidak percaya bahwa Vangisa telah mencapai tingkat kesucian Arahatta, maka Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu ! Vangisa benar-benar mengetahui kematian dan kelahiran kembali makhluk-makhluk."

Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :

Seseorang yang telah memiliki pengetahuan sempurna tentang timbul dan lenyapnya makhluk-makhluk, yang telah bebas dari ikatan, telah pergi dengan baik (Sugata) dan telah mencapai Penerangan Sempurna, maka ia Kusebut seorang 'brahmana'.

Orang yang jejaknya tak dapat dilacak, baik oleh para dewa, gandarwa, maupun manusia, yang telah menghancurkan semua kekotoran batin dan telah mencapai kesucian (arahanta), maka ia Kusebut seorang 'brahmana'.

( Dhammapada XXVI , 37 - 38 )

Related Links:
www.samaggi-phala.or.id






No comments: