Sunday, August 03, 2008

Catur Paramitha

Metta (Maitri)

Sifat luhur atau sifat KeTuhanan pertama adalah Metta (Pali) atau Maitri (Sansekerta), yang berartisesuatu yang dapat menghaluskan hati seseorang, atau rasa persahabatan sejati. Metta dirumuskan sebagai keinginan akan kebahagiaan semua makhluk tanpa kecuali. Metta juga sering dikatakan sebagai niat suci yang mengharapkan kesejahteraan dan kebahagiaan makhluk-makhluk lain, seperti seorang sahabat mengharapkan kesejahteraan dan kebahagiaan temannya,

"Bagaikan seorang ibu yang melindungi anak tunggalnya, sekalipun mengorbankan kehidupannya, demikian juga seharusnya seseorang memelihara cinta kasih yang tidak terbatas itu kepada semua makhluk", demikian nasehat Sang Buddha.

Disini yang dimaksud bukanlah perasaan cinta kasih yang didasarkan atas nafsu memiliki dari seorang ibu terhadap anaknya, melainkan keinginan yang murni untuk mensejahterakan anaknya.

Metta bukanlahcinta kasih yang dilandasi nafsu atau kecenderungan pribadi, karena dari keduanya ini, tanpa dapat dihindarkan akan timbul kesedihan. Metta bukan hanya terbatas dalam perasaan bertetangga karena ini akan menimbulkan sikap-sikap membedakan antara tetangga dengan lainnya. Metta bukan hanya perasaan bersaudara kandung, karena metta meliputi semua makhluk termasuk juga binatang, saudara-saudara kita yang lebih kecil, yang pada hakekatnya memerlukan uluran kasih sayang yang lebih banyak. Metta bukanlah persaudaraan yang berdasarkan pada politik, hanya terbatas pada mereka yang mempunyai pandangan politik yan sama. Persaudaraan ras dan bangsa hanya terbatas pada mereka yang sama suku dan bangsanya, hingga kerap kali tanpa mengenal kasihan mereka melakukan pembantaian terhadap wanita dan anak-anak yang secara kebetulan lahir dengan rambut, kulit dan mata yang tidak sama warnanya dengan milik kaum nasional itu.

Metta sama sekali bukan perasaan persaudaraan keagamaan, karena batas yang menyedihkan dari apa yan dinamakan persaudaraan agama itu, manusia menjadi lebih keras dan dengan tanpa penyesalan sedikitpun mereka melakukan perbuatan-perbuatan menyembelih dan membakar orang lain hidup-hidup. Banyak kekejaman yang bertentangan dengan isi Kitab-Kitab Suci dan peperangan yang bengis dilancarkan sehingga mengotori lembaran sejarah. Bahkan dalam abad ke-20 yang dianggap abad kemajuan inipun masih pula terdapat penganut dari suatu agama yang membenci atau mengutuk, bahkan tanpa kasihan mereka membunuh orang-orang yang tidak mamiliki keyakinan yang sama dengan mereka, hanya karena tidak dapat memaksa mereka melakukan seperti apa yang mereka lakukan, atau karena orang-orang itu mempunyai etiket yang berbeda dari mereka.

Jika atas dasar pandangan agama, orang-orang kepercayaan yang berbeda-beda itu tidak dapat menemui mimbar persaudaraan sejati, maka sesungguhnya patut disayangkan sekali, bahwa ajaran-ajaran dari para guru dunia yang mulia itu sia-sia belaka.

Metta adalah lebih luas dan lebih mulia daripada semua bentuk persaudaraan yang sempit itu. Metta tidak dibatasi oleh peraturan-peraturan dan bidang-bidang, tidak mempunyai rintangan dan penghalang, tidak mengadakan perbedaan. Metta memungkinkan mereka untuk memandang dunia ini sebagai tanah airnya. Persis seperti matahari yang memancarkan sinarnya kesegenap arah tanpa membuat perbedaan, demikian juga metta yang luhur ini memancarkan berkahnya yang halus dan tenang itu, sana rata terhadap apa yang dianggap orang-orang sebagai sesuatu yang menyenangkan, yang kaya dan yang miskin, terhadap yang jahat dan yang baik, terhadap pria dan wanita, manusia dan binatang.

Demikianlah corak metta yang sebenarnya, dan didalam pelaksanaan metta yang tak terbatas ini, janganlah seseorang menjadi bodoh terhadap bidang yang halus dan luhur ini. Janganlah salah mengerti, karena pengorbanan diri sendiri itu adalah suatu kebajukan yang lain, yang bebas dari keangkuhan, merupakan suatu kebajikan makhluk yang tinggi. Puncak daripada metta ini adalah penyamaan diri sendiri dengan semua makhluk (sabbattata), tidak membedakan diri sendiri dengan orang lain, apa yang disebut "AKU" lebur dalam keseluruhan. Paham memisahkan diri lenyap menguap, penyatuan terlaksana.

Sifat bajik dan mulia merupakan corak yang khas daripada metta. Orang yang melatih metta selalu gembira dalam memajukan kesejahteraan orang-orang lain. Ia mencari kebajikan dan keindahan dalam segala sesuatu, dan bukan melihat kejelekan orang lain.

Pertama kali Metta harus dilatih dan dikembangkan terhadap diri sendiri. Pada saat melakuka hal itu seseorang harus mengisi dirinya, tubuh dan batinnya dengan pikiran-pikiran yang positif, tenang dan bahagia, terbebas dari penderitaan, kesakitan, kegelisahan dan ketakutan. Dengan demikian ia akan terbungkus dengan pikiran-pikiran cinta kasih, terlapisi, dinaungi dan dilindungi oleh pikiran-pikiran welas asih, dan dengan ini ia memotong semua getaran kebencian dan pikiran yang negatif. Ia menjadi orang yang sabar dan berusaha sekuatnya untuk tidak memberi kesempatan bagi timbulnya kemarahan terhadap suatu apapun. Pribadinya bersinar dengan kebahagiaan, dan memantulkan getaran yang membahagiakan orang lain, bukan saja kepada hal-hal batiniah, tetapi juga dalam semua persoalan kehidupan dengan tetap membabarkan metta-nya itu kedalam praktek dan pelaksanaan kehidupan sehari-hari.

Apabila ia telah penuh dengan ketenangan serta bebas dari pikiran-pikiran membenci, maka dengan mudah ia dapat memancarkan cinta kasihnya kepada orang-orang lain. Apa yang ia sendiri tidak memilikinya tentulah ia tidak dapat memberikannya kepada orang lain.

Sebelum ia dapat membahagiakan orang lain, pertama ia harus membahagiakan dirinya sendiri, ia harus tahu cara dan artinya membahagiakan diri sendiri. Jikalau itu telah dilatihdan dapat dikuasainya, maka ia sekarang dapat memancarkan cinta kasihnya kepada semua yang dekat dan dicintai, direnungkan seorang demi seorang atau secara kelompok (kolektif), dengan mengharapkan supaya mereka tenang, bahagia, bebas dari penderitaan, penyakit, kegelisahan serta ketakutan.

Disamping memancarkan cinta kasihnya kepada keluarga, family dan teman-temannya, ia juga harus memberikan kepada orang-orang netral, yaitu orang-orang yang bukan teman, dan buka pula musuh-musuhnya. Sebagaimana yang ia lakukan terhadap diri sendiri, keluarga dan lain-lainnya, demikian pula yang seharusnya ia lakukan untuk orang lain yang netral, dengan mendoakan supaya mereka tenang, bahagia, bebas dari penderitaan, kesakitan serta kegelisahan. Akhirnya, walaupun hal ini susah dilakukan, namun ia harus memancarkan cinta kasihnya dengan cara yang sama pada mereka yang mempunyai rasa permusuhan dengan dirinya.

Jika dengan mempraktekan metta itu ia dapat membina sikap-sikap persahabatan atau persaudaraan terhadap orang-orang yang memusuhi dirinya, maka sesungguhnya ia telah mencapai sesuatu yang lebih tinggi daripada sifat kepahlawanan, dan patutlah ia memperoleh pujian.

Sang Buddha pernah bersabda "Ditengah-tengah Orang yang membenci, hendaklah seorang hidup bebas dati kebencian". Dengan dimulai dari diri sendiri, ia harus berusaha mengembangkan cinta kasihnya sedikit demi sedikit kepada semua makhluk, tanpa memandang kepercayaan bangsa, ras atau kelamin, termasuk pula binatang yang membisu, sehingga ia dapat menyesuaikan dirinya terhadap segala sesuatu tanpa membeda-bedakannya. Ia mempersatukan dirinya dengan semesta alam dan menjadi satu dengan semuanya. Ia tidak akan dipengaruhi dengan perasaan keAku-an. Ia telah melandasi dirinya dengan beton bertulang, ia tidak lagi dipengaruhi oleh kasta, kelamin, kebangsaan, kesukuan, keyakinan, agama dan sebagainya, ia dapat menganggap seluruh dunia ini sebagai tanah airnya dan memandang semua makhluk sebagai saudara dalam samudra kehidupan..

Karuna

Sifat keTuhanan Yang kedua dapat memuliakan manusia adalah kasih sayang (Karuna), yang dirumuskan sebagai sesuatu yang dapat menggetarkan hati kearah rasa kasihan bila mengetahui orang lain sedang menderita, atau kehendak untuk meringankan penderitaan orang lain. Coraknya yang paling menonjol adalah kecenderungan untuk menghilangkan penderitaan orang lain.

Hati seorang yang penuh kasih sayang adalah lebih halus daripada bunga, ia tidak akan berhenti dan tidak puas sebelum dapat meringankan penderitaan orang lain. Bahkan kadang-kadang ia sampai mengorbankan hidupnya demi membebaskan orang lain dari penderitaannya. Didalam cerita Vyaghari Jataka, terdapat contoh yang baik mengenai kasih sayang ini, dimana Sutasoma sebagai Bodhisattva telah mengorbankan hidupnya untuk menolong seekor macan betina kelaparan yang ingin memakan anak-anaknya sendiri yang masih kecil-kecil guna menghilangkan laparnya. Bodhisattva Sutasoma mencegah niat macan itu, dan sebagai gantinya ia memberikan tubuhnya sendiri untuk dimakan.

Sesungguhnya, unsur kasih sayang lah yang mendorong orang lain dengan ketulusan hati. Orang yang memiliki kasih sayang murni tidak hidup hanya untuk dirinya sendiri, melainkan untuk menolong orang lain juga. Ia mencari kesempatan untuk dapat menolong orang lain tanpa mengharapkan jasa apapun, baik materi maupun penghormatan.

Siapakah yang menjadi sasaran kasih sayang itu? ialah orang-orang miskin yang membutuhkan bantuan, orang-orang sakit, orang-orang bodoh, orang-orang jahat, orang-orang kotor dan juga orang-orang mulia, tanpa menghiraukan agama dan bangsanya.

Yang lebih hebat dari kemiskinan adalah menjalarnya penyakit diseluruh dunia ini. Banyak orang menderita jasmani, dan diantaranya ada juga yang menderita sakit pikiran (mental). Dengan teliti ilmu pengetahuan dapat mengobati orang yang sakit jasmaninya, tetapi orang lain yang batinnya sakit susah diobati, bahkan tak jarang mereka merana dirumah-rumah sakit.

Sebenarnya kedua jenis penyakit ini tentulah ada sebabnya. Orang-orang yang memiliki kasih sayang harus mencoba menghilangkan sebab-sebab penyakit itu, jika ingin menyembuhkan mereka secara baik. Orang-orang yang kejam, pendendam, pemarah, lobha, angkara murka dan bodoh patut mendapatkan kasih sayang sama seperti halnya pada orang-orang yang menderita sakit jasmani atau batin. Mereka hendaknya jangan dibenci, dicemoohkan atau dihina, bahkan sebaliknya kita harus menaruh bekas kasihan dan sayang pada mereka, karena mereka itu orang yang sia-sia dan cacat. Walaupun seorang ibu memiliki kasih sayang yanngsama kepada anak-anaknya, namun ia seharusnya menaruh kasih sayang yang lebih besar kepada anaknya yang sakit, bahkan kasih sayangnya harus diberikan lebih besar lagi kepada anaknya yang sakit batinnya, karena penyakit itu akan merusak kehidupannya.

Sama pula halnya seperti metta yang telah diuraikan diatas, maka kasih sayang (Karuna) pun harus dipancarkan tanpa batas terhadap semua makhluk yang menderita dan yang patut ditolong, termasuk pula binatang-binatang yang membisu, yang telah lahir maupun yang belum lahir.

Apabila metta (cinta kasih) mempunyai sasaran kepada semua makhluk, baik yang berbahagia maupun yang menderita maka Karuna (kasih sayang) hanya mempunyai sasaran kepada smua makhluk yang sengsara dan menderita.

Mudita

Sifat keTuhanan yang ketiga adalah mudita atau rasa simpati yaitu ikut merasa bahagia melihat orang lain berbahagia atau perasaan genbora yang dapat menghilangkan rasa iri hati. Kerap kali terjadi, bahwasannya banyak orang tidak tahan apabila melihat atau mendengar keuntungan dan kebahagiaan orang lain. Mereka senang mendengar kegagalan atau kesusahan orang lain, tetapi mereka tidak senang melihat kemajuan orang lain. Mereka bukannya memuji atau mengucapkan selamat kepada mereka yang beruntung itu, tetapi malahan berusaha menyabot orang tersebut. Salah satu cara untuk mengatasi perasaan iri hati ini adalah mudita, karena mudita dapat mencabut akar-akar sifat iri hati yang merusak. Disamping itu, mudita juga dapat menolong orang lain, karena dengan memiliki mudita seseorang tak akan menghalangi kemajuan dan kesejahteraan orang lain.

Sama pula halnya seperti metta, orang akan lebih mudah bergembira dan bersimpati kepada orang yang dekat dan dicintai, tetapi lebih sukar melakukan hal itu terhadap musuhnya yang beruntung. Yah, orang-orang sebenarnya bukan hanya sukar untuk bersimpati atas keberuntungan musuhnya, tetapi juga tidak dapat bergembira melihat keberuntungan orang lain. Mereka lalu asyik mencari dan membuat rintangan-rintangan untuk menghancurkan musuhnya. Bahkan tidak jarang mereka sampai berbuat meracun, membakar, menggantung, menembak orang-orang yang benar.

Corak utama dalam mudita ialah perasaan berbahagia melihat kemakmuran dan kesejahteraan orang lain. Sedang tepuk tangan, sorak gembira dan sebagainya bukanlah corak mudita, karena tepuktangan dan sorak gembira itu dapat dianggap sebagai musuh yang tidak langsung dari mudita.

Mudita dipancarkan kepada semua makhluk yang makmur dan sejahtera, yang merupakan sikap ikut merasa berbahagia dan bersyukur. Mudita dapat melenyapkan sifat iri hati, sifat antipati atau sifat tidak senang melihat kemajuan orang lain.

Upekkha

Sifat keTuhanan yang keempat, yang merupakan sifat luhur paling sukar dan paling penting adalah upekkha (keseimbangan batin). Dalam bahasa Pali kata "Upa" berarti "dekat", dan kata "Ikh" berarti "melihat", jadi Upekkha berarti melihat dari dekat, yang mempunyai makna : melihat dengan adil, tidak berat sebelah, lurus atau tegak. Secara harfiah, Upekkha berarti pertimbangan yang lurus, pandangan yang adil atau tidak berat sebelah, yaitu tidak terikat atau benci, tidak ada rasa tidak senang dan tidak senang.

Keseimbangan batin penting sekali terutama bagi umat awam yang hidup di dalam dunia yang kacau balau ditengah-tengah gelombang keadaan yang naik turun tidak menentu ini. Dunia telah terbentuk sedemikian rupa, sehingga kebaikan dan kebajikan sering mendapat kritik-kritik dan serangan-serangan yanng ngawur dan curang, dan bahkan tidak jarang dihambat dan dihalang-halangi. Apabila seseorang dapat mempertahankan keseimbangan batin dalam keadaan serupa itu, maka dialah pahlawan besar.

Untung dan rugi, kemashyuran dan nama buruk, pujian dan celaan, kebahagiaan dan penderitaan adalah delapan kondisi duniawi yang tidak dapat dihindarkan dalam kehidupan umat manusia. Pada umumnya orang menjadi bingung dan kacau bila mengalami keadaan yang serupa itu, baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan. Orang merasa senang bila dipuji, dan merasa sedih dan tertekan bila dicela dan dicaci maki. Dalam hal ini Sang Budha pernah bersabda " Orang bijaksana tidak pernah menunjukkan rasa gembira maupun kecewa ditengah-tengah pujian dan celaan. Mereka tetap teguh bagaikan batu karang yang tak tergoncangkan oleh badai". Demikianlah mereka melatuh dirinya dalam keseimbangan batin.

Pada suatu ketika Sang Buddha diundang oleh seorang Brahmana untuk bersantap dirumahnya. Oleh karena diundang, maka Sang Buddha datang kerumah Brahmana tersebut. Tetapi ia bukannya menjamu Sang Buddha, malahan mencerca Beliau dengan kata-kata yang paling kotor. Beliau dikatakan babi jalang, anjing, buaya, bangsat dan sebagainya. Tetapi Beliau sedikitpun tidak merasa terkejut, dan juga tidak membantah. Beliau tidak menaruh hati dendam.

Dengan sopan Sang Buddha bertanya: "Brahmana, pernahkan ada orang-orang datang kerumahmu?"
"Ya", jawab Brahmana itu.
"Apakah yang anda alkukan bila mereka datang?"
"O, aku menyiapkan jamuan besar".
"Bagaimana bila mereka tidak jadi datang?"
"Dengan gembira kami menyantap makanan yang telah disiapkan".
"Nah, Brahmana yang baik, anda telah mengundang diri-Ku datang kerumah untuk makan, dan anda telah menjamu diri-Ku dengan kata-kata cercaan, Aku tak menerima semua itu, silahkan ambil kembali". Akhirnya Brahmana itu merasa malu dan bertobat.

Bagaikan singa yang tak gentar menghadapi suara gemuruh, demikian pula hendaknya seseorang jangan bingung menghadapi hujan makian yang panas seperti beracun. Bagaikan angin yang tertiup melalui lubang-lubang jala, tak ada sedikitpun yang melekat pada jala itu, demikian pula hendaknya seseorang jangan terikat pada kesenangan-kesenangan palsu didunia yang selalu berubah ini. Bagaikan bunga teratai yang tidak ternoda oleh lumpur tempat tumbuhnya, demikian pula hendaknya seseorang jangan terseret oleh godaan-godaan duniawi, tetapi harus selalu suci, tenang dan seimbang

Seperti halnya ketiga macam sifat luhur yang telah diuraikan diatas, demikian juga Upekkha mempunyai musuh langsung yaitu kemelekatan, dan musuh tidak langsung, yaitu sikap acuh tak acuh yang timbul karena ketidak tahuan (kebodohan).

Upekkha bebas dari ras senang dan tidak senang. Sikap tidak berat sebelah adalah corak utama dari upekkha. Orang yang memiliki upekkha (keseimbangan) tidak tertarik oleh semua hal yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan terhadap orang suci ia bersikap sama. Apabila metta mempunyai sasaran terhadap semua makhluk, karuna terhadap makhluk-makhluk yang menderita, dan mudita terhadap orang-orang yang beruntung, maka upekkha mempunyai sasaran terhadap yang baik maupun yang buruk, yang mencintai ataupun yang membenci, dan yang menyenangkan ataupun yang tidak menyenangkan.


No comments: