Sunday, August 03, 2008

Dua Paham Ekstrim

Pada masa sang Buddha, di India terdapat dua paham ekstrim, yakni:

Paham Ekstrim Keduniawian.

Paham ini dianut oleh Kaum Carvaka yang sangat mementingkan kesenangan duniawi saja, yang sangat materialistis. Kaum ekstrim Carvaka ini tidak mengakui adanya kehidupan setelah kematian, tidak percaya adanya Surga dan Neraka, tidak mengakui adanya Hukum Karma dan Tumimbal Lahir. Yang mereka percayai adalah adanya kehidupan yang sekarang dan baginya setelah kehidupan yang sekarang berakhir maka berhentilah kehidupan ini. Hidup ini hanya sekali saja, tidak ada Tumimbal Lahir atau kehidupan setelah kehidupan yang sekarang ini. Karena itu carilah kesenangan hidup didunia ini sebanyak-banyaknya dengan menghalalkan semua cara. Sebagai akibat dari adanya pandangan hidup yang ekstrim keduniawian ini, maka terjadilah krisis akhlak didalam masyarakat. Harkat manusia tidak lagi diukur dari kebajikannya, atau perbuatan baik (Kusala Karma) tetapi diukur dari banyak materi yang dimilikinya, yang dicapai dengan semua cara. Karena mereka yang mengutamakan kesenangan duniawi saja, sifatnya sangat materialistis, tidak menghargai kebajikan dan tidak percaya adanya kehidupan setelah kematian, maka mereka bukan manusia yang seutuhnya, tetapi mereka adalah manusia yang tidak utuh lagi, manusia timpang. Mereka memandang tidak ada manfaatnya berbuat kebajikan, karena setelah mati tidak ada lagi kehidupan.

Paham Ekstrim Kerohanian.

Paham ini adalah paham yang hanya mementingkan kebahagiaan rohani saja, tanpa mau menghiraukan kebahagiaan jasmani. Paham ekstirm kerohanian ini dianut oleh Kaum Tittha yakni kaum pertapa menyiksa diri, yang mempunyai pandangan hidup demikian: "Roh ini pada hakekatnya adalah berbahagia, tetapi setelah roh ini memasuki badan jasmani, roh ini menjadi menderita, menjadi sengsara. Karena itu, roh ini harus dibebaskan dari badan jasmani ini, melalui pertapaan yang keras, yang penuh disiplin." Demikianlah Kaum Tittha ini telah melaksanakan tapa samadhi dan tapa brata yang sangat ekstrim. Mereka sama sekali tidak mementingkan kesenangan hidup keduniawian, mereka menjauhi dunia, mereka lari dari kehidupan duniawi ini dan mengejar kesenangan rohani saja. Mereka memandang materi itu tidak penting, tetapi yang penting adalah rohani semata-mata. Karena itu mereka lalu kehilangan keserasian, keselarasan dan keseimbangan sebagai manusia. Mereka tidak dapt membina dirinya sebagai manusia yang utuh lahir dan batinnya, jasmani dan rohaninya. Karena tidak adanya keseimbangan antara kebahagiaan lahir dan batin, maka mereka lalu menjadi menderita. Mereka tidak dapat menemui kebahagiaan baik lahir maupun batin.

Pangeran Sidharta Gautama telah mengalami kehidupan yang penuh dengan kesenangan hidup keduniawian, sewaktu ia berada di istananya. Tetapi kebahagiaan kehidupan duniawi itu ternyata tidak dapat memuaskan hatinya. Karena itu Pangeran Sidharta lalu pergi meninggalkan kehidupan istana yang penuh dengan kesenangan hidup lahiriah itu dan bertapa di hutan Uruwela bersama-sama dengan lima pertapa menyiksa diri (Kaum Tittha). Dengan kemauan dan tekad yang keras membaja serta dengan disiplin yang tinggi pertapa Gautama telah melaksanakan mertapa menyiksa diri yang sangat keras.

Enam tahun di hutan Uruwela, menahan lapar dahaga, Sidharta bertapa menyiksa diri bersama lima orang Kaum Tittha, tubuh Sidharta Gautama menjadi kurus kering, tenaganya menjadi sangat lemah sekali. Tubuhnya demikian kurusnya sehingga kalau tidak kasihan si kulit membungkus tulang, tulang-tulangnya sudah jatuh berserakan. Pada waktu fajar menyingsing, maut hampir saja merenggut jiwanya. Untung pada saat krisis yang sangat gawat, lewat serombongan penyanyi di hutan Uruwela. naluri seorang penyanyi, lewat dihutan yang sunyi, maka menyanyilah ia. Suaranya demikian merdu, membawakan lagu yang indah itu, terdengar sampai keseluruh kawasan hutan Uruwela. Pertapa Gautama juga mendengarkan lagu tersebut. Pertapa Gautama sangat memperhatikan bunyi syair tersebut. Kemudian ternyata syair lagu itulah yang menyadarkan pertapa Gautama, bahwa bertapa menyiksa diri adalah jalan yang salah. Adapun bunyi syair dari lagu tersebut yang telah menyadarkan pertapa Gautama adalah:

Kalau senar gitar ini dikencangkan.
Suaranya semakin meninggi,
Kalau terlalu dikencangkan,
Maka putuslah senar gitar itu,
Dan lenyaplah suaranya

Tetapi...
Kalau senar gitar ini dikendorkan,
suaranya akan semakin menurun,
Kalau terlalu dikendorkan,
Maka lenyaplah suaranya,

Karena itu wahai manusia,
Mengapa belum sadar-sadar juga,
Dalam segala hal janganlah keterlaluan,
Tetapi sedang-sedanglah.

Syair dari lagu diatas mencerminkan betapa berbahayanya paham ekstrim itu, baik yang ekstrim keduniawian maupun kerohanian/keagamaan, yang dapat menghancurkan hidup dan kehidupan ini. Karena itu dalam segala hal janganlah keterlaluan tetapi hendaknya sedang-sedang saja. Jangan terlalu ekstrim, jalanlah dijalan tengah yang diajarkan oleh Sang Buddha sebagai jalan menuju kebahagiaan lahir dan batin.

No comments: