Sunday, July 20, 2008

Asivisopama Sutta

Asivisopama Sutta
(Sutta Ular-ular Berbisa)

Oleh: Venerable Sayadaw U
Waryameinda (Minlha Sayadaw)
Diterjemahkan dari Bahasa Inggris ke Indonesia
Oleh:
Candasili Nunuk Y. Kusmiana
Editor Oleh: Panna Kumara
Tata Letak & Sampul
: Samuel B. Harsojo
Akhir Desember 2004


Asivisopama Sutta, atau sutta ular-ular yang sangat berbisa berasal dari Samyutta Nikaya, suatu kumpulan kata-kata dhamma dari Sang Buddha. Dan Mahasi Sayadaw telah berulang kali membabarkan ulang sutta ini. Karena sutta ini dapat dipakai sebagai dasar pengetahuan bagi para yogi yang tengah berlatih meditasi vipassana

PERUMPAMAAN
Tersebutlah seorang laki-laki yang setelah melakukan perbuatan jahat, tidak mau menanggung akibat perbuatan jahatnya itu. Ia tak ingin dihukum dan menderita.
Sang raja mengetahui bahwa laki-laki ini orang jahat. Tapi ia tidak memiliki bukti yang dapat digunakan untuk menghukum kejahatan yang telah dilakukan tersebut. Namun sang raja menemukan suatu cara untuk menghukumnya meski tidak secara langsung. Ia diperintahkan memelihara 4 ekor ular yang sangat berbisa dan berbahaya. Ular-ular berbisa ini akan mengigit jika marah. Gigitannya dapat menimbulkan penderitaan dan bahkan kematian.

Seperti perintah raja, ia pun memelihara ular-ular tersebut dengan baik. Setiap hari ia membangunkan ular-ular itu, memandikan, memberinya makan, memenuhi segala kebutuhan dan jaga melatihnya. Ia berpikir, merupakan kehormatan baginya mendapat tugas mulia semacam ini dari raja. Maka ia pun merasa bahagia dan menerima kehadiran ular-ular tersebut dengan senang hati.

Keempat ular tersebut mengambil posisi demikian. Ular pertama merayap melalui kaki naik ke tubuhnya dan beristirahat di bahu kanan. Ular kedua merangkak dari sisi sebelah kiri dan beristirahat di bahu kiri. Ular ketiga memanjat dari arah depan, melingkari tubuhnya dan beristirahat di muka, ular keempat merangkak dari belakang dan beristirahat di kepalanya.

Laki-laki itu tidak menyadari dirinya dalam bahaya. Sebaliknya, ia berbahagia memiliki dan memelihara ular-ular itu. Ular-ular itu diperlakukan bak perhiasan berharga. Dipamerkannya ular-ular itu berkeliling kota dengan penuh kebanggaan dan kebahagiaan.

Suatu hari ia bersua dengan sahabat karibnya. Si sahabat mengingatkannya demikian, “Jika masing-masing ular ingin melakukan sesuatu yang berbeda disaat bersamaaan, kamu tidak akan mampu memuaskan mereka. Akibatnya mereka akan marah dan menggigitmu. Apabila hal ini terjadi, kamu akan sangat menderita dan kemungkinan akan mati.”

Kata sahabat ini lagi, “Raja sebenarnya secara tidak langsung sedang menghukummu. Bila engkau tidak mampu menjaga ular-ular itu dengan baik atau tidak mampu menyenangkan dan memuaskan mereka, raja akan menghukummu atau ular-ular itu yang menggigitmu sampai mati.”

Kenyataannya memang demikian. Ada beberapa orang suruhan raja yang diperintahkan mengawasinya, untuk memastikan apakah ia benar-benar menjaga ular-ular itu. Melihat keadaan ini, si sahabat menasehatinya untuk melarikan diri saat pengawas dan ular-ular sedang tidur.

Laki-laki ini mematuhi nasehat sahabatnya tersebut. Ia melarikan diri pada saat yang tepat. Raja, yang mengetahui bahwa dirinya melarikan diri, segera memerintahkan para pengawal untuk mengejar dan membawanya kembali. Tak ketinggalan ular-ular juga membuntuti, mengikuti jejaknya dari bau yang ditinggalkan.

Setelah mengejar beberapa lama, baik para pengawal maupun ular-ular itu tidak berhasil menemukan buruannya. Tapi raja tak berputus asa. Beliau ingat dengan lima musuh laki-laki itu. Mereka berkenan mencari, menemukan serta membawanya kembali ke hadapan raja meski tanpa imbalan apapun. Raja juga telah membuat pengumuman dengan hadiah besar bagi siapapun yang berhasil menangkap dirinya.

Dalam pelariannya, laki-laki ini bersua lagi dengan sahabat baiknya dan mengingatkan dirinya bahwa ia tidak hanya dikejar oleh ular-ular dan pesuruh raja. Tapi juga oleh 5 musuhnya. Maka, si sahabat ini menasehatinya agar lari secepat dan sejauh mungkin.

Saat raja menyadari bahwa laki-laki ini sulit ditemukan, beliau didatangi seseorang yang mengaku kawan dekat dengan buronan raja tersebut. Orang ini akan membujuk laki-laki tersebut pulang kembali. Jika dilihat sepintas, orang ini bersikap layaknya kawan baik. Tetapi sesungguhnya ia merupakan musuh terselubung laki-laki itu.

Sekali lagi, sahabat baik laki-laki itu datang untuk mengingatkan datangnya seorang “kawan”, sahabat yang salah. Maka berbekal nasehat tersebut saat si “kawan” ini datang dan membujuknya untuk kembali, ia pun menolaknya. Ia terus berlari sampai menemukan sebuah desa. Desa itu keadaannya berantakan. Dan hanya ada 6 rumah yang sedang ditinggal pergi pemiliknya.

Ia pun berkeliling mencari makan dan minum di desa ini. Maklum saja, setelah lari demikian lama, ia kehausan dan kelaparan. Rumah pertama yang dimasukinya hanya ada pot dan beberapa kotak kosong. Demikian pula dengan rumah lainnya, tak ada sedikit pun makanan yang tersisa.

Karena kelelahan ia duduk di bawah pohon dengan maksud tidur sejenak. Saat itu sahabat baiknya datang dan memberitahukan bahwa rumah-rumah kosong itu milik 6 perampok yang akan segera kembali. Jika para perampok menemukan dirinya, sudah pasti mereka akan membunuhnya.

Mendengar nasehat ini, meski kelelahan, ia melanjutkan pelariannya dan terus berlari sampai menemukan sebuah sungai lebar, dalam, dan berarus deras. Ia menyadari jika dirinya bisa mencapai sisi seberang, ia akan aman dari kejaran para musuhnya. Tapi, di tepi sungai ini tak ada perahu yang bisa dipakainya untuk menyeberang.

Ia pun segera mengumpulkan ranting-ranting pohon dan mengikatnya untuk dijadikan sebuah rakit. Saat rakit sederhana itu selesai, ia menaiki dan mengayuh rakit sederhana itu dengan kedua kaki dan tangannya. Sekuat tenaga ia berjuang. Dengan keteguhan hati dan usaha yang besar akhirnya ia sampai ke sisi seberang sungai. Ditempat ini ia baru merasa lega karena telah terbebas dari musuh-musuhnya.

Dari seberang ia melihat bagaimana ular-ular dan para pengawal raja berdiri ketakutan di tepi sungai yang lain. Mereka takut kembali ke kerajaan karena gagal menjalankan tugas dan raja akan memberikan hukuman saat mereka kembali dengan tangan kosong. Akhirnya, mereka menunggu di tepi sungai dengan sia-sia dan mati kelaparan.

Setelah memberikan perumpamaan ular dan laki-laki ini secara panjang lebar, ada beberapa hal penting dari cerita ini yang dapat diambil hikmahnya bagi para yogi saat berlatih meditasi. Bagaimanapun, menyampaikan cerita saja tidaklah mencukupi. Ada hal penting lain yang perlu dijelaskan untuk para yogi sehingga mereka bisa mempelajari dan mempraktekkannya dalam latihan.

Adapun 3 hal penting yang perlu diperhatikan dalam praktek dhamma, yaitu:
  1. Sabhava Yotti Melihat segala fenomena pada diri sendiri sebagaimana adanya.
  2. Sadaka Yotti Contoh mengenai orang lain yang berhasil dalam latihan. Jika menemukan kesulitan saat berlatih, kita bisa mendapat masukan dari contoh-contoh semacam ini.
  3. Ayama Yotti Seseorang dapat terinspirasi dengan mendengarkan suatu percakapan. Didalam dhamma tidak ada satupun yang bersifat khayalan.
Semua yang dibabarkan bersumber dari Tipitaka, ajaran murni.
Untuk membabarkan kebenaran dari segala sesuatu sebagaimana adanya, maka sumber yang dirujuk harus mengacu pada naskah asli. Disini, Y.M. Mahasi Sayadaw selalu mengingatkan bhikkhu-guru meditasi, untuk membabarkan dhamma yang ada hubungannya dengan vipassana.

Ketika mengutip cerita-cerita dhamma seorang guru tak boleh menekankan selain vipassana. Cerita-cerita yang diambil harus secara langsung berhubungan dengan vipassana. Karena seseorang tak akan bisa meraih pandangan terang hanya dengan belajar, berpikir, mendengarkan kotbah-kotbah atau berdiskusi, hanya melalui praktek (meditasi vipassana) sajalah seseorang bisa mencapai pandangan terang.

Sekarang kami akan memberikan penjelasan tentang lambang-lambang yang digunakan dalam cerita di atas.

  1. Empat ular berbisa melambangkan empat unsur utama.
  2. Lima musuh berarti lima kelompok kehidupan.
  3. Kawan yang salah adalah nafsu-nafsu raga atau kemelekatan atas kenikmatan indrawi
  4. Desa berantakan dan enam rumah kosong melambangkan tubuh dan 6 landasan indra.
  5. Sisi sungai merujuk pandangan salah tentang adanya diri - attha ditthi
  6. Sungai berarti empat banjir besar.
  7. Rakit melambangkan Delapan Jalan Utama.
  8. Sisi seberang sungai berarti Nibbana.
  9. Laki-laki yang mengayuh rakit dengan sekuat tenaga melambangkan diri kita yang berjuang dengan sepenuh daya.
  10. Mencapai pantai seberang berarti mencapai Nibbana.
EMPAT ULAR
Empat ular berbisa pada cerita di atas merujuk pada 4 unsur utama yang bisa ditemui pada setiap orang. Dan laki-laki pada cerita ini adalah diri kita. Kita semua, dari ujung kepala sampai ujung kaki terbuat dari 4 unsur utama tersebut.
Empat unsur utama tersebut adalah:

    1. Pathavi dhatu, unsur tanah dengan karakteristik kasar, halus, keras dan menahan.
    2. Apo dhatu, unsur air yang memiliki karakteristik cair, saling melekat (kohesi), basah dan berat.
    3. Tejo dhatu, unsur api yang memiliki karakteristik panas, dingin dan ringan.
    4. Vayo dhatu, unsur udara yang memiliki karakteristik pergerakan, tekanan, kaku dan tegang.
Tak ada seorang pun yang tidak memiliki empat unsur utama yang dilambangkan sebagai empat ular berbisa tersebut. Setiap hari kita harus menjaga 4 ular berbisa ini. Meski dalam kenyataannya, kita memiliki jutaan ular berbisa dalam tubuh yang harus dipelihara setiap hari.

Sering kita saksikan seorang laki-laki memamerkan tubuh kekarnya yang berotot. Mereka berpikir bahwa dirinya kuat, gagah dan tampan. Mereka tidak menyadari bahwa tubuh ini berbahaya. Ada lagi sebagaian orang berolahraga, lari pagi misalnya, sampai berkeringat dan merasa puas. Sebagian lagi bahkan mengijinkan mobil atau truk melindas tubuhnya dengan maksud memamerkan kekuatan tubuhnya.

Tanpa disadari, orang-orang ini sedang memancing bahaya marahnya “ular-ular” yang dapat menggigit serta membunuh mereka. Banyak orang tidak waspada akan bahaya yang dikandung oleh empat unsur utama ini.

Adapun keempat ular tersebut adalah Ular Katthamukha (unsur tanah), ular Putimukha (unsur air), ular Aggimukha (unsur api), ular Sattamukha (unsur udara).

Ular-ular ini sangat berbisa dan berbahaya. Dalam bahasa dhamma dikatakan, bila kita dalam kondisi sakit berarti kita sedang digigit ular. Gigitan ular-ular ini dapat menimbulkan derita sakit luar biasa atau kematian.

Bila ular Kathamukha (unsur tanah) mengigit, tubuh menjadi kaku seperti sepotong balok kayu. Misalnya leher, tungkai, tangan atau tubuh menjadi kaku, berarti ada yang salah dengan unsur tanah.

Bila ular Putimukha (unsur air) menggigit, maka tubuh atau bagian tubuh tertentu mengalami pembusukan. Misalnya, muncul bisul-bisul yang berisi air dan darah kotor berbau busuk yang sering kita kenal dengan nama nanah. Ini menunjukkan ketidakseimbangan pada unsur air.

Adapun gigitan ular Aggimukha (unsur api) membuat suhu tubuh meninggi atau timbul sensasi panas seperti terbakar.

Terakhir, gigitan ular Sattamuka (unsur udara) akan membuat tubuh seakan terpotong, seperti lumpuhnya sebagian anggota tubuh, yang disebabkan ketidakseimbangan unsur udara dalam tubuh.

UNSUR TANAH
Setiap unsur memiliki karakter tersendiri. Unsur tanah misalnya, berkarakter keras, lunak, halus atau kasar. Adapun bagian-bagian tubuh yang termasuk kedalam unsur tanah adalah:
    1. Rambut di kepala
    2. Rambut di tubuh
    3. Kuku
    4. Gigi
    5. Kulit
    6. Otot-otot
    7. Daging
    8. Tulang-belulang
    9. Tulang sumsum
    10. Ginjal
    11. Hati
    12. Jantung
    13. Selaput-selaput
    14. Paru-paru
    15. Limpa
    16. Usus besar
    17. Usus kecil
    18. Otak
    19. Kotoran (tahi)
    20. Isi perut
Setiap orang, baik laki-laki maupun perempuan, dari ras manapun juga memiliki unsur tanah. Saat menyentuh rambut, rambut terasa lembut. Sebaliknya tulang-tulang dan gigi terasa keras.

Keduapuluh bagian unsur tanah ini bisa dirasakan sebagai : keras, lembut, halus atau kasar. Sebagai perumpamaan, saat kaki menyentuh lantai kita bisa merasakan apakah lantai itu terasa keras, lembut, halus atau kasar.
Jika kita menyentuh batang pohon, batang pohon itu terasa kasar. Permukaan dinding terasa lebih lembut daripada batang pohon. Tetapi permukaan cermin lebih lembut dibanding dinding.
Maka, saat membandingkan permukaan dinding dengan permukaan cermin, permukaan dinding tersebut terasa lebih kasar. Dengan demikian istilah kasar dan lembut bersifat relatif. Apa yang sedang dialami merupakan kebenaran hakiki tantang unsur tanah.
UNSUR AIR
Unsur air memiliki karakteristik berat, cair, saling melekat atau lengket. Unsur air ini tidak bisa dirasakan seperti pada unsur tanah. Tapi saat bermeditasi seorang yogi bisa “melihat” dan merasakan unsur ini apa adanya. 12 bagian tubuh yang didominasi oleh unsur air ini adalah :
    1. Darah
    2. Keringat
    3. Lemak
    4. Air empedu
    5. Lendir/ dahak
    6. Nanah
    7. Air
    8. mata
    9. Lemak
    10. Air ludah
    11. Selaput lendir
    12. Minyak sendi
    13. Air kencing
Sebagai contoh kita membutuhkan semen dan air untuk membuat sebuah patung. Patung tak bisa dibentuk bila hanya digunakan semen saja. Maka, bila sebuah patung dipecah dan dipisah-pisahkan secara kimiawi, kita temukan partikel-partikel padat dan cair.

Tubuh kita pun terbentuk dari unsur air dan unsur tanah. Dimana bentuk itu akan timbul dari persenyawaan unsur air dan unsur tanah tersebut.
Terbentuknya bulir-bulir padi dikarenakan persenyawaan unsur air dan unsur tanah tersebut. Di musim kemarau kita bisa melihat partikel-partikel debu dengan jelas karena tidak adanya unsur air yang membuat debu melekat. Saat turun hujan, partikel-partikel debu saling melekat dan terjadi bentukan baru. Inilah akibat kondisi alami air yang bersifat saling melekat.
Ketika bermeditasi, seorang yogi tidak boleh menganalisa unsur apa saja yang sedang dicatatnya (dalam batin). Pikiran sepenuhnya ditujukan mengawasi keadaan unsur-unsur tersebut secara alami. Jadi, saat mencatat unsur air, seperti adanya cairan yang keluar dari mulut, hidung atau mata, catat tepat pada saat terjadinya.
Contohnya, ketika air mata terkumpul, kemudian mulai mengalir dari ujung mata lalu turun ke pipi, rasakan sensasi panas dan dingin yang muncul pada saat itu.
Unsur air pun memiliki karakteristik berat meski berbeda dari unsur tanah. Tanah memiliki daya menahan. Sedang air tidak. Kita bisa berdiri di atas tanah tapi tidak di atas air.
Saat berjalan, saat meletakkan kaki, kita merasakan berat, tapi ini bukan keadaan alami mengalir dari bekerjanya unsur air. Jadi, saat bermeditasi, kita bisa merasakan unsur air dengan pikiran tapi tidak dengan sentuhan.
UNSUR API
Unsur api dengan karakteristik panas, dingin atau ringan ini terdiri dari 4 jenis, yaitu :

Panas dari tubuh normal yang menyebabkan penuaan seperti munculnya kerutan-kerutan, gigi tanggal, rusak dan rambut memutih. Unsur api memang berbahaya, tapi tanpa keberadaan unsur ini kita tak akan bisa bertahan hidup. Namun bila keberadaannya dalam tubuh berlebihan akan membuat kita sakit.
Panas tubuh yang berada di atas batas suhu normal seperti pada saat demam. Meski sakit yang diderita tidak terlalu serius tapi dapat menimbulkan ketidaknyamanan. Kelebihan pembakaran seperti saat demam tinggi. Pada saat itu akan muncul penderitaan karena panas berlebihan. Jenis panas semacam ini dapat membuat seseorang mengigau.
Panas di perut yang membantu pencernaan makanan. Tanpa panas ini makanan tak bisa dicerna. Tapi, bila panas muncul berlebihan dapat mengakibatkan hal yang tidak baik.

Keempat jenis panas ini bisa berbahaya dan membuat seseorang sangat menderita. Dari keempatnya, panas pencernaan memainkan peranan penting dalam tubuh. Dari perut panas itu menyebar ke seluruh tubuh. Jika suhunya normal maka seseorang akan merasa nyaman. Tapi bila suhunya dibawah ambang batas normal, makanan tak bisa dicerna. Dalam keadaan demikian seseorang akan merasa kurang sehat. Saat suhu berlebihan dapat menimbulkan demam. Akibat panas di pencernaan ini ketiga jenis panas lainnya berkembang. Hanya orang-orang sehat seperti Sang Buddha yang dapat makan apapun karena suhu dipencernaanNya selalu dalam keadaan seimbang.

Ketika seseorang merasa panas atau dingin, hal itu muncul dari bekerjanya unsur api. Rasa dingin merupakan panas yang lembut. Sedangkan kepanasan adalah panas yang kuat. Sebagai contoh bila membandingkan suhu dari air dalam bejana yang diletakkan di bawah sinar matahari dan di dalam lemari es, perbedaan suhunya relatif. Akan sangat berbahaya bila terlalu banyak panas dalam tubuh.

Semak-semak dan pohon-pohon tumbuh karena adanya panas. Manusia juga tumbuh dan menjadi tua karena adanya panas. Panas dapat membuat benda-benda menjadi lebih lembut. Contohnya beras. Sebelum dimasak beras itu masih keras dan tidak bisa dimakan. Tapi setelah terjadi proses pemanasan pada saat memasak, beras menjadi lunak dan dapat dimakan. Demikian pula dengan besi yang bisa meleleh bila dipanasi pada suhu tinggi.

Panas dapat membuat benda-benda menjadi lebih ringan. Pada saat yogi merasa tubuhnya ringan, ini dikarenakan bekerjanya unsur api. Demikian pula saat seseorang merasa kedinginan. Tak hanya panas berlebih tapi dingin yang berlebihan juga dapat menyebabkan seseorang jatuh sakit. Di daerah-daerah beriklim dingin seseorang bisa meninggal karena diserang hawa yang terlampau dingin.
UNSUR UDARA
Terdapat 6 jenis unsur udara, yakni :
    1. Sendawa, angin yang naik ke atas.
    2. Angin yang turun ke bawah.
    3. Udara di luar usus besar (dalam perut)
    4. Udara di dalam usus besar.
    5. Pergerakan di tubuh atau anggota badan.
    6. Udara saat menarik atau mengeluarkan napas.
Saat bermeditasi dan mencatat kembung-kempisnya perut, kita bisa merasakan bekerjanya unsur udara secara jelas. Sebagai contoh, saat meniup sebuah balon dengan udara maka balon akan mengembang. Tapi bila udara dikeluarkan balon akan mengempis. Sama halnya saat menarik napas maka perut akan mengembang. Dan saat mengeluarkan napas perut akan mengempis. Fenomena ini erat kaitannya dengan bekerjanya unsur udara. Udara masuk dan keluar saat kita menarik dan mengeluarkan napas.


Pergerakan, rasa kaku, goyangan, bergerak dari satu tempat ke tempat lain, ketika sedang berjalan, semuanya ini berhubungan dengan unsur udara. Seperti sebuah rumah tua yang membutuhkan penyangga untuk menopang agar tidak ambruk. Unsur udara menyangga tubuh agar bisa berdiri.

Sesosok mayat tidak memiliki unsur udara. Jadi mayat tak bisa berdiri dan menjadi lebih berat (dibandingkan saat masih hidup) karena ketidakhadiran unsur udara. Sayangnya ada sekelompok orang yang percaya tubuh orang mati menjadi lebih berat karena bekerjanya makhluk jahat. Kepercayaan ini hanya omong kosong belaka.

Sifat alami dari unsur tanah, air dan udara bisa dirasakan oleh tubuh. Sementara unsur air tak bisa dirasakan dan disentuh. Sebagai conttoh, bila kita menyentuh es akan terasa dingin karena bekerjanya unsur api. Ketika menyentuh dan merasakan es itu keras atau lembut, kita merasakan unsur tanah. Sedang unsur air hanya bisa disentuh oleh pikiran.

Ketika bermeditasi dan muncul sensasi seperti terbakar di kepala, panas atau dingin, ini akibat bekerjanya unsur api. Bila rambut terasa lembut, kaku atau halus, semua itu merupakan unsur tanah. Kita tidak dapat melihat unsur-unsur itu dengan mata, telinga ataupun mencicipinya dengan lidah. Tapi ketiga unsur (tanah, api, udara) itu dapat kita rasakan. Sementara unsur air hanya bisa dirasakan melalui pikiran, tak bisa dirasakan oleh indra.

Keempat unsur utama itu tak bisa dilihat dengan mata namun bisa dirasakan dan diketahui melalui meditasi dan pengetahuan. Apabila kita merasai sesuatu yang kasar, keras, lunak, lembut ini merupakan unsur tanah. Sedang unsur api ditunjukkan dengan adanya rasa panas, hangat atau dingin. Dan unsur udara dapat diketahui keberadaannya dengan terjadinya kekakuan, tekanan, tegangan maupun pergerakan. Dalam meditasi kita bisa menemui kebenaran hakiki dari unsur-unsur tersebut. Saat kita membayangkan atau berpikir itu bukanlah kebenaran. Tapi khayalan belaka.

Apabila dianalisa lebih jauh, maka ke empat unsur utama tersebut terbagi lagi menjadi 20 jenis unsur tanah, 12 jenis unsur air, 4 jenis unsur api, dan 6 jenis unsur udara. Jadi seluruhnya berjumlah 42 jenis. Ke-42 jenis unsur tersebut dikelompokkan dalam 4 unsur utama yang membentuk jasmani. Atau dengan kata lain kita di dalam kekuasaan 4 ular berbisa.

Ketika muncul ketidakseimbangan pada unsur-unsur tersebut seseorang bisa menderita. Jenis penderitaan itu muncul dalam berbagai penyakit seperti kanker, lumpuh, demam tinggi, dan lain-lain. Atau dikatakan kita sedang digigit oleh salah satu dari 4 ular berbisa tersebut. Ini berarti ada yang tidak beres dengan salah satu atau lebih dari empat unsur tersebut.

Untuk menjaga empat unsur itu selalu seimbang, kita mengalami penderitaan (dukkha) tapi sering menganggapnya sebagai kebahagiaan (sukkha). Bila kita bahagia tanpa menyadari bahaya dari empat unsur tersebut, kita persis seperti cerita laki-laki dengan ular-ular di atas. Agar terbebas dari bahaya tersebut kita harus rajin berlatih meditasi (vipassana).

Dalam mencatat setiap obyek yang muncul pada saat bermeditasi dapat diumpamakan seperti mengambil sebuah langkah menjauh dari ular-ular berbisa tersebut. Dengan demikian kita mengikuti nasehat dari sahabat baik yakni Sang Buddha. Beliau telah menyadari sepenuhnya sifat alami unsur-unsur tersebut dan membimbing kita dengan bijaksana melalui praktek meditasi satipathana vipassana.

Lima musuh dalam cerita di atas merujuk pada lima kelompok kehidupan (panca khanda), yaitu:
    • Kelompok kehidupan materi ( rupa khanda )
    • Kelompok kehidupan perasaan ( vedana khanda )
    • Kelompok kehidupan persepsi ( sanna khanda )
    • Kelompok kehidupan bentuk-bentuk pikiran ( sankhara khanda )
    • Kelompok kehidupan kesadaran ( vinanna khanda )
Secara umum kelompok-kelompok kehidupan terdiri dari kelompok kehidupan duniawai dan adi duniawi. Dalam buku ini kelompok kehidupan yang dimaksud hanya berhubungan dengan tingkat kehidupan duniawi. Kehidupan duniawi memiliki kemelekatan, upadana. Sementara kehidupan adi duniawi tak memiliki kemelekatan.


Bila dirinci kata upadana adalah gabungan dari kata upa dan adana. Upa artinya kehausan, keinginan. Sedang adana berarti menggenggam. Dan khanda artinya kelompok.

Ada beberapa contoh untuk menjelaskan arti kata ini. Selama diserang badai para penumpang kapal akan menggenggam erat-erat benda berharga miliknya. Hal ini terjadi karena munculnya rasa takut kehilangan benda-benda berharga itu. Contoh lainnya, di keramaian seperti pasar atau pusat perbelanjaan para orang tua menggenggam erat-erat tangan anak-anak mereka yang masih kecil. Tindakan ini dilakukan karena mereka takut anak-anak itu akan terluka atau hilang. Dengan cara seperti inilah kita melekat pada panca khanda, atau lima kelompok kehidupan.

Pada cerita di atas juga diceritakan bagaimana kelima musuh mengikuti dan mengejar laki-laki tersebut. Namun sejatinya kelima musuh itu tidak mengikuti melainkan berada “di dalam” kita.

Saat seseorang sedang bermeditasi “musuh-musuh” tersebut jelas terlihat. Misalnya, ketika sedang duduk bermeditasi, kaki akan terasa kaku atau kesemutan. Kaki merupakan materi (rupa) dan sensasi rasa kaku, gatal, sakit, atau kesemutan adalah perasaan (vedana).

Saat mencatat sakit atau kesemutan yang muncul pada jasmani, kita mengenali atau mengetahui adanya rasa sakit dan kesemutan itu (sanna). Aktifitas batin yang dilibatkan dalam proses mencatat dan menyelidiki bentuk-bentuk batin (sankhara). Sementara mengetahui apa yang sedang terjadi adalah kerja kesadaran (vinnana). Apapun yang kita lakukan kelima kelompok kehidupan itu bisa menimbulkan kesulitan setiap saat.

Di dalam berlatih meditasi vipassana, kita berusaha menemukan kelima musuh di dalam diri. Jadi, kita harus berusaha dengan sungguh-sungguh dan disipin dalam melakukan pencatatan dalam batin secara akurat.

Kadang kita menemukan satu musuh atau lebih. Perlu disadari musuh-musuh itu tak hanya ada di satu tempat tapi di seluruh tubuh. Mulai dari kepala sampai ujung kaki. Tak ada satu pun tempat di tubuh yang bebas dari mereka.

Waktu berada di rumah sendiri kita tahu dimana letak benda-benda yang dicari. Tapi di rumah orang lain akan sulit menemukannya. Dengan cara sama, saat menemukan kelima kelompok kehidupan di dalam diri, kita harus mengenali mereka sebagai musuh. Bila tidak menyadari bahaya ini kita tak akan bisa menyelamatkan diri dari cengkramannya. Tapi bila kita sanggup mengenali mereka apa adanya, bahwa mereka sesungguhnya berbahaya, saat itulah kita bisa menyelamatkan diri.
SAHABAT YANG SALAH
Nandiraga artinya kehausan, keinginan atas kesenangan-kesenangan. Walaupun nandiraga adalah musuh, ia selalu berpura-pura menjadi sahabat, yang akhirnya akan menjerumuskan kita ke dalam masalah. Sahabat salah ini berpura-pura menjaga kita, padahal sebenarnya ia selalu berusaha untuk membawa kita pada kesulitan.

Ada sebuah cerita yang dapat menjelaskan tentang sahabat yang salah ini. Sewaktu Sang Buddha masih hidup ada seorang raja bernama Ajatasattu dari Rajagaha yang ingin menghancurkan kerajaan Vesali. Ia mengirim salah satu menterinya yang bernama Visakara ke Vesali untuk membuat masalah di sana.

Visakara berpura-pura menjadi sahabat raja Vesali. Tak butuh waktu lama untuk memperoleh kepercayaan raja, Visakara diangkat menjadi seorang menteri. Setelah memiliki kedudukan tersebut Visakara mulai menjalankan rencananya, yakni menimbulkan perselisihan diantara para menteri. Saat orang-orang di Vesali mulai terpecah maka itu merupakan waktu yang tepat baginya untuk memberitahu raja Ajatasattu untuk menyerang. Akibatnya Vesali dapat ditaklukkan dengan mudah.

Dengan adanya nandiraga dalam diri, kita suka mencari kesenangan melalui mata, mendengar lagu-lagu merdu dengan telinga, menghirup bau-bauan yang harum dengan hidung, mencicipi makanan-makanan lezat dengan lidah. Demikian pula muncul keinginan untuk mencicipi sensasi-sensasi menyenangkan melalui tubuh. Serta berkhayal dan berpikir tentang sesuatu yang menyenangkan dari orang-orang yang dicintai dan benda-benda yang diinginkan.

Para yogi pemula umumnya mengalami sensasi rasa sakit dan muncul perasaan-perasaan tidak menyenangkan. Berikutnya, saat konsentrasi berkembang akan muncul perasaan-perasaan yang menyenangkan. Pada keadaan ini ada sebagian yogi yang melekat dengan bentuk-bentuk perasaan menyenangkan itu sedemikian rupa, sehingga ia tidak mau merubah posisi duduknya. Yogi ini begitu melekat dengan keadaan menyenangkan tersebut sehingga ia tidak mampu meraih kemajuan dalam latihannya. Kemelekatan semacam ini menjadi rintangan meski muncul sesaat sebelum ia mencapai jalan (magga) dan buah (phala).

Saat konsentrasi membaik ada sebagian yogi yang melihat munculnya sinar terang benderang dan merasa bahagia dengan pengalaman tersebut. Ini tak seharusnya dilakukan. Para yogi harus mencatat semua fenomena yang muncul sehingga praktek meditasi yang dilakukannya mengalami kemajuan.

Ada suatu pengalaman dari yogi yang selalu melihat batang lilin yang terus bertambah dalam meditasinya. Hari demi hari yogi ini menceritakan pengalaman yang sama. Meski ia telah dinasehati untuk mencatat fenomena ini dengan cara “melihat..melihat..melihat..”. Tapi ia tidak lakukan karena melekat dengan pengalaman tersebut. Dan setiap hari yogi ini terus melaporkan melihat lilin-lilin yang bertambah dalam jumlah tak terhitung lagi banyaknya. Akhirnya sang guru meditasi berkata demikian, “Mengapa kamu tidak membawa sebatang lilinmu ke sini?”

Kejadian lainnya. Ada yogi perempuan yang melihat Sang Buddha duduk di atas kepalanya saat meditasi. Ia selalu melaporkan pengalaman yang sama setiap hari. Meski gurunya menasehati untuk selalu mencatat dengan teliti apapun yang dialaminya, ia tidak mengindahkannya. Kenyataannya ia melekat dan terus tertarik dengan pengalaman ini sehingga enggan untuk mencatat (dalam batin) dengan cermat obyek yang dilihatnya ini. Pada akhirnya sang guru mengatakan demikian kepadanya, “Mengapa tidak kamu bawa Sang Buddha ke vihara ini?”

Menurut istilah orang-orang Burma nandiraga merupakan musuh tersembunyi. Bila seseorang belum mencapai tingkat hidup para Arya maka nandiraga akan membawanya menuju bahaya bahkan kematian. Karena hanya para Arahat sajalah yang telah dengan sungguh-sungguh mengenyahkan nandiraga. Sebagai contoh kemelekatan terhadap nandiraga, saat seorang yogi pertama kali memperoleh ketenangan akibat berkembangnya konsentrasi, ia bisa melekat dengan pengalaman ketenangan itu. Selanjutnya ia akan berharap memperoleh ketenangan yang sama lagi, sehingga ia tidak bisa meraih pengetahuan yang lebih tinggi.

Di dunia ini ada banyak kesenangan yang bisa dinikmati. Kesenangan timbul melalui telinga, hidung, lidah, mata atau sentuhan. Seandainya terhidang makanan yang lezat tak peduli betapa kenyangnya, kita tetap tergoda untuk mencicipi makanan itu meski hanya sedikit. Bila ada yang membujuk, seseorang merasa belum terpuaskan meski tengah berbaring di ranjang mewah, karena ia bergairah untuk mencicipi kesenangan lebih banyak lagi. Bahkan para narapidana yang tengah di penjara pun bisa berkhayal dan berencana untuk menikmati kesenangan pikiran-pikirannya di masa datang. Faktanya, pikiran tak pernah lelah bermimpi dan berpikir tentang masa lalu, kini dan akan datang.

Kembali pada musuh alami. Kita tak akan pernah mengenali musuh-musuh itu bila tidak berlatih meditasi. Sebagai orang awam kita selalu menganggap nandiraga sebagai kawan karena kesenangan-kesenangan yang mereka suguhkan. Kita tidak menyadari bahaya nandiraga malah menganggapnya sebagai teman. Sementara bermeditasi adalah mengambil langkah sebaliknya.

Para yogi yang melakukan pencatatan-pencatatan dengan cermat dan rajin atas fenomena apapun tepat pada saat kemunculannya, sama seperti sedang menyelamatkan diri dari nandiraga. Ini persis seperti yang dilakukan oleh laki-laki dalam cerita di atas yang sedang melarikan diri dari kejaran musuh-musuhnya. Sewaktu bermeditasi kita akan menyadari bahwa nandiraga sejatinya bukan teman tapi musuh tersembunyi. Jadi berusahalah untuk mencatat (dalam batin) dengan rajin dan tekun.

Setelah berlatih vipassana seorang yogi perlu melihat “ke dalam”, apakah nafsu-nafsu indrawinya berkurang atau belum. Bila setelah berlatih nafsu-nafsu indrawi itu berkurang, maka bisa dikatakan bahwa dirinya semakin dekat dengan dhamma. Seandainya kita tidak terlampau haus/ingin akan benda-benda seperti sebelumnya berarti kita mengalami kemajuan.

Para Arahat telah terbebas dari semua kekotoran batin. Sementara bila kita memiliki sedikit kekotoran batin, keinginan/kehausan, berarti dapat dikatakan kita semakin membaik. Apabila nandiraga bekerja sangat kuat dalam diri, orang pada umumnya enggan pergi ke vihara meski sudah berusia lanjut. Ini dikarenakan dorongan nafsunya untuk menikmati kesenangn indrawi jauh lebih besar dibandingkan kekuatan untuk mengembangkan dhamma dalam diri.

Ada sebuah desa terpencil di Burma. Desa ini memiliki pelayanan media, fasilitas pendidikan dan sistem komunikasi yang buruk. Keadaan ini semakin diperparah dengan datangnya musim kering yang berkepanjangan. Kala itu para penduduk desa ini dinasehati untuk pindah ke kota terdekat dimana mereka akan mendapatkan kehidupan, kesehatan dan pendidikan yang lebih balik. Namun sebagian besar para penduduk desa ini menolak pindah karena melekat dengan rumahnya.

Hewan-hewan ternak seperti babi, kelinci, atau ayam dipelihara dan diberi makan setiap hari guna dijual, dibunuh dan diambil dagingnya. Para hewan ini tidak menyadari bahaya tersembunyi yang mengancam nyawa mereka. Saat hidup di peternakan mereka menikmati makanan yang diberikan oleh para peternak. Sebagian dari mereka bahkan bermain-main dengan riangnya. Demikian pula dengan kita menikmati kesenangan indrawi karena tidak menyadari kebenaran hakiki darinya.

Anak-anak suka bermain dengan boneka atau mobil-mobilan. Permainan ini membuat anak-anak itu senang. Kesenangan pada orang dewasa lebih berkembang. Mereka menemukan kesenangan dari hal-hal lain. Sehingga permainan orang dewasa berbeda dari anak-anak. Namun Sang Buddha dan para Arahat mengetahui bahaya yang ditawarkan nandiraga. Karenanya orang-orang yang mengenal dhamma harus berusaha menjauhi nandiraga.
DESA YANG TERBENGKALAI DAN ENAM RUMAH KOSONG
Desa yang berbengkalai dan enam rumah kosong melambangkan tubuh kita dengan enam landasan indra (ayatana), yakni : mata, telinga, hidung, lidah, tubuh dan pikiran.

Enam landasan indra kita ibarat pintu-pintu. Melaluinya kita menerima kesan dari obyek-obyek indra. Lewat 6 landasan indra ini kita dapat melakukan perbuatan-perbuatan tak bermanfaat, akusala.

Saat mendengar sesuatu yang tidak menyenangkan akan muncul kemarahan diikuti kekotoran batin yang lain. Bila kita melihat suatu obyek yang menyenangkan maka akan muncul keserakahan atau nafsu-nafsu raga.
Melalui 6 landaran indra ini pula kita bisa melakukan perbuatan bermanfaat, kusala. Tapi, tanpa pencatatan yang tepat sebagian besar perbuatan kita tidak bermanfaat.

Mata dimaksudkan untuk melihat. Pada saat memejamkan mata tak ada satupun obyek yang bisa dilihat. Namun visualisasi dapat dilakukan dengan pikiran. Misalnya, munculnya gambaran dari orang tua, teman-teman atau anak kita dalam pikiran. Bila keadaannya demikian yang pelu dilakukan seorang yogi adalah melakukan pencatatan dengan cara : “melihat... melihat... melihat..”

Ketika mendengar suara mobil, gonggongan anjing atau suara apapun, seorang yogi yang tak perlu membeda-bedakan jenis suara tersebut, siapa atau apa yang menimbulkan bunyi itu. Semua suara yang didengar itu hanya perlu dicatat (dalam batin) dengan cara “mendengar..mendengar...”.

Demikian pula bila kita mencium segala jenis bebauan, apakah itu aroma harum atau busuk. Yang perlu kita lakukan adalah mencatat (dalam batin) “mencium…mencium…”, tanpa membedakan bebauannya.

Ketika mengunyah makanan, rasa apapun yang menyentuh lidah, apakah manis, pahit, asin atau asam, kita tidak perlu membeda-bedakannya. Yang harus dilakukan hanya melakukan pencatatan dengan cara yang sama seperti sebelumnya.

Apabila pikiran mengembara, berkhayal, sedih, bahagia atau malas, kita harus mencatat bentuk-bentuk pikiran ini tepat pada saat munculnya sampai mereka lenyap. Singkatnya kita harus selalu melakukan pencatatan dari saat ke saat, tak hanya pada meditasi duduk dan meditasi jalan. Kita harus mencatat semua aktifitas batin dan jasmani sepanjang hari. Bahkan pergi ke kamar kecil pun harus disadari sehingga dapat melihat hakekat sesungguhnya dari fenomena batin dan jasmani.

Pintu jasmani meliputi titik-titik sentuhan dari kepala sampai ujung jari kaki. Ini berlaku untuk semua titik-titik sentuhan baik di luar atau di dalam tubuh. Saat meditasi duduk, selain kembung dan kempisnya perut, kita juga dapat mencatat kontak dari kedipan mata saat mata tertutup, sentuhan-sentuhan di tangan, sentuhan tubuh pada lantai, sentuhan rambut di atas kepala atau pada leher belakang. Kita juga dapat mencatat sentuhan baju pada kulit apakah terasa kasar, ketat atau lembut.

Perlu juga dicatat sensasi-sensasi yang timbul, baik itu terasa dingin, panas, hangat, lembut, kasar atau halus. Saat meneguk air panas, kita dapat merasakan rasa hangat yang turun ke tenggorokan sampai ke perut. Semua ini pengalaman melalui pintu jasmani.

Setiap pengalaman harus dicatat penuh perhatian, tepat dan berkesinambungan (terus-menerus), dari awal sampai akhir. Dengan cara semacam inilah konsentrasi bisa berkembang dan semakin kokoh dari saat ke saat. Apabila konsentrasi yang kokoh dan berkesinambungan ini dapat dipertahankan akan muncul pandangan terang, vipassana nana. Munculnya pandangan terang akan membawa kita merasakan pengalaman jalan (magga) dan buah (phala).

Melalui pintu jasmani kita bisa merasakan keberadaan unsur tanah, api dan udara. Kecuali unsur air. Dibandingkan dengan indra penglihatan, pendengaran, penciuman, dan pencerapan yang terdiri dari masing-masing organ-organ yang dimaksud, indra sentuhan memiliki lingkup yang lebih luas.

Unsur udara berkarakteristik sedemikian halus sehingga tidak dapat dilihat dengan mata manusia. Unsur udara itu hanya dapat dialami dan dirasakan oleh tubuh. Gajah, singa dan harimau memiliki 4 unsur utama yang sama dengan manusia. Tapi menusia berbeda dengan hewan-hewan itu kerena makanan yang dikonsumsi. Bahkan diantara manusia, misalnya pekerja kantoran berbeda dengan kaum buruh. Perbedaan terjadi dari apa yang kita makan.

Seperti halnya unsur udara yang tak dapat dilihat oleh manusia, para dewa yang terbentuk dari materi yang lebih halus (dari manusia) juga tidak dapat dilihat oleh mata biasa. Hanya disebabkan tidak bisa kita lihat bukan berarti para dewa itu tidak ada.

Bagian-bagian berbeda dari tubuh manusia memiliki fungsi berbeda-beda. Kita menggunakan bagian-bagian tubuh yang berbeda-beda itu untuk menyelidiki benda-benda di sekeliling kita.

Saat melihat buah yang asing, tidak pernah kita ketahui sebelumnya, kita menyelidikinya dengan mata. Untuk mengetahui buah itu berair atau tidak kita mengguncang-guncangkannya dan mendengarkan dengan telinga. Contohnya buah kelapa. Untuk mengetahui aromanya kita menggunakan hidung. Dengan cara inilah kita kita bisa mencium atau membau aroma buah itu seperti saat membaui buah durian, mangga, pisang, jambu dan lain-lain. Untuk mengetahui rasanya kita menggunakan lidah, apakah buah itu terasa asam, manis, pahit dan lain sebagainya. Kadang kita tak yakin apakah buah itu matang dengan hanya melihat warna kulitnya. Untuk itu kita perlu menyentuhnya dengan tangan dan merasakan keras-lunaknya.

Di sebuah bengkel harus ada para pekerja untuk menangani pekerjaan. Bengkel tanpa pekerja tak akan ada gunanya. Demikian pula dengan orang-orang yang terlahir buta atau tuli, meski organ-organ tersebut secara fisik ada tapi tidak berfungsi semestinya, sehingga mereka tidak dapat melihat atau mendengar. Sedangkan indra pencium dan perasa masih bergunsi dengan baik. Tubuh, dari kepala sampai ujung kaki sangat sensitif dengan rangsangan dari luar. Kecuali bagi yang lumpuh syarafnya, seseorang akan merasa sakit bila dicubit. Juga orang-orang yang sedang koma atau setengah sadar tak akan tahu apa yang sedang berlangsung atau tidak mengenali lingkungannya. Dengan demikian 6 indra itu dapat diibaratkan dengan 6 bengkel.

Kembali pada cerita tentang laki-laki pemelihara ular di atas. Ketika melarikan diri dari kejaran ular-ular berbisa dan para musuhnya, ia sampai ke sebuah desa. Di tempat ini ia berpikir ada orang-orang desa yang akan menolongnya dan berharap bisa mendapatkan makanan, minuman serta tempat beristirahat. Pada kenyataannya ia tak memperoleh apa-apa.

Mirip dengan kisah ini, sebelum datang ke tempat meditasi, kita berpikir bahwa semua makhluk hidup dan benda-benda adalah baik semata. Bila kita merasakan sensasi yang menyenangkan saat mencuim, membau, mencicip, melihat atau menyentuh, kita menyukainya.

Saat bermeditasi dan mencatat dengan rajin, kita menyadari bahwa semua makhluk itu tak berada di bawah kendali kita. Mereka bekerja mengikuti hukum alaminya. Mereka datang dan pergi mengikuti kondisi yang ada pada saat itu. Disinilah kita baru menyadari bahwa semuanya kosong (tidak ada apa-apa). Tak ada sesuatu pun di jasmani ini yang bersifat permanen. Dengan alasan ini kita menyadari bahwa segala sesuatu bersifat tidak kekal- anicca. Semua ini bersifat penuh penderitaan dan diluar kendali kita. Dengan demikian semua fenomena ini tak memiliki diri atau bersifat anatta. Tubuh ini juga bisa diibaratkan seperti keong kosong, tak ada yang benar-benar berharga di dalamnya.

Ada saat-saat dimana kita berpikir bahwa mata berbinar indah seperti bintang gemintang atau permata. Ada cerita di masa Sang Buddha, hiduplah seorang perempuan yang bernama Subha, perempuan cantik dengan mata indah. Ketika berumur 20 tahun ia memutuskan menjadi bhikkhuni.

Suatu kali ia berpapasan dengan seorang laki-laki pemabuk yang menghalang-halangi jalannya. Laki-laki ini mengucapkan banyak bujuk rayu kepada bhikkhuni muda ini. Si laki-laki pemabuk ini mengatakan kagum dan mencintai mata indah miliknya. Mendengar hal ini si bhikkhuni mencungkil matanya dan memberikan pada laki-laki itu.

Bila bola mata tersebut berada pada tempat yang tepat, maka ia nampak indah. Tapi, saat bola mata itu dikeluarkan ternyata benda ini terdiri dari ribuan pembuluh-pembuluh darah yang nampak mengerikan.
ENAM PERAMPOK
Enam perampok adalah lambang dari enam obyek indra seperti obyek-obyek yang bisa dilihat, didengar, dicicipi, disentuh, dan obyek-obyek mental.

Obyek-obyek yang Tampak

Harus ada 4 syarat bagi seseorang untuk bisa melihat sesuatu, yakni :
    • Harus ada obyek
    • Cahaya yang cukup
    • Organ penglihatan yang berfungsi dengan baik
    • Maksud atau kehendak untuk melihat
Jika keempat syarat ini hadir maka kita akan memiliki kesadaran melihat. Sementara mata hanya berfungsi sebagai penerima.


Ketika bermeditasi, sewaktu melihat sebuah obyek kita harus mencatatnya (dalam batin) sebagai “melihat..melihat..melihat..”. obyek adalah materi. Mata juga materi. Saat mata kontak dengan obyek muncul kesadaran melihat. Kesadaran melihat adalah pikiran atau batin. Hal ini dapat diketahui hanya ketika kita menyadari adanya batin dan jasmani. Saat itulah pandangan terang muncul. Proses melihat itu sendiri bukanlah pandangan terang.

Sewaktu kita gembira dengan obyek yang dilihat itu merupakan yang menyenangkan. Dan saat timbul perasaan tidak suka terhadap apa yang dilihat itu merupakan perasaan tidak menyenangkan akibat proses melihat.

Saat melihat warna-warna seperti hijau, biru, merah dan lain-lain, itu adalah persepsi. Jika kita tidak bisa melihat (obyek) dengan jelas tapi berusaha membuat (obyek) menjadi lebih jelas, ini merupakan keadaan batin. Demikian pula saat mengetahui apa yang kita lihat, itu merupakan kerja dari kesadaran.

Sebagai contoh seseorang yang menerima obat dalam bentuk tablet, orang awam hanya mengetahui tablet itu dilapisi gula dengan melihat warnanya. Sementara seorang ahli kimia mengetahui setiap bagian terkecil dari tablet tersebut.

Mirip dengan itu, orang pada umumnya melihat benda-benda dalam wujud laki-laki, perempuan, anjing dan lain-lain. Di sisi lain seorang yogi melihat berbagai hal sama seperti ahli kimia tersebut. Ia bisa melihat dengan jelas adanya 5 kelompok kehidupan serta bagian-bagian dari kelompok kehidupan yang membentuk keberadaan.

Suara

Ada sementara orang yang memiliki organ pendengaran atau telinga, tapi tidak berfungsi sejak lahir, menjadi tuli karena kecelakaan atau penyakit.
Untuk bisa mendengar suatu bunyi organ pendengaran harus berfungsi dengan sempurna. Saat suara datang akan muncul kontak dengan indra pendengaran, muncullah kesadaran mendengar. Seseorang harus memiliki kesadaran mendengar untuk bisa mendengar. Orang mati sudah tidak memiliki kesadaran mendengar. Tak peduli seberapa kerasnya suara tangisan di dekatnya, ia tak akan beraksi karena tak lagi bisa mendengar.

Sebagai contoh. Untuk menghasilkan suara, suatu genderang harus ditabuh dengan tongkat. Suara adalah materi. Telinga juga materi. Begitu keduanya kontak, timbul kesadaran mendengar. Dan ketika seorang yogi melakukan pencatatan dengan kesadaran murni, ia dapat membedakan yang mana pikiran (batin) dan yang mana materi (jasmani). Seperti halnya orang awam yang mengatakan mereka bisa membedakan suara seekor anjing, sebuah pesawat dan lain-lain. Demikianlah halnya ketika seseorang bisa membedakan antara batin dan jasmani barulah dikatakan ia memiliki pandangan terang.

Pada tahap awal seorang yogi harus mencatat proses mendengar dengan mengatakan (dalam bathin) “mendengar…mendengar…mendengar…”. Bila konsentrasinya semakin tajam, ia akan menyadari adanya 2 hal, yakni batin dan jasmani, yang terdiri dari 5 kelompok kehidupan.

Haruskah merasa senang bila mendengar sesuatu yang baik? Sesungguhnya yang harus dilakukan pada saat itu adalah mencatat perasaan senang tersebut dengan mengatakan dalam batin “senang…senang…senang…”.

Apabila menerima berita buruk kita merasa sedih. Ini jenis perasaan yang tidak menyenangkan. Jika kita bersikap acuh tak acuh terhadap sesuatu yang kita dengar itu adalah bentuk perasaan acuh tak acuh.

Lebih jauh. Saat mendengar (suara) berkembang pula kelompok perasaan. Ketika mengamati suara itu sebagai suara yang merdu, buruk atau netral ini termasuk kelompok persepsi. Sementara memahami apa yang kita dengar, itu merupakan keadaan mental. Mengetahui apa yang didengar adalah bekerjanya kelompok kehidupan kesadaran. Telinga dan suara merupakan materi. Disinilah kita tahu apa yang disebut dengan 5 kelompok kehidupan.

Sewaktu konsentrasi menguat kita mengetahui nahwa semua suara yang muncul pasti lenyap. Apakah suara-suara itu muncul kala kita mencatatnya? Disini kita tahu, apakah kita mendengar atau tidak, suara-suara itu tetap muncul dan lenyap. Karena suara-suara itu selalu muncul dan lenyap maka dikatakan mereka tidak kekal.

Terlepas dari apakah suara-suara itu indah atau tidak, kita tetap mendengarnya. Kita tidak bisa memilih. Ini merupakan penderitaan. Karena tidak dapat mengendalikan suara yang masuk, maka tak ada yang disebut “diri” pada indra pendengaran. Jadi, saat mencatat (obyek) dengan konsentrasi yang baik, kita menyadari adanya ketidak-kekalan (anicca), ketidakpuasan (dukkha) dan tanpa “aku” (anatta).

Pada saat kita mendengar suara apapun, kita hanya berusaha mencatatnya (dalam batin) dengan mengatakan “mendengar…mendengar…mendengar…” tanpa berusaha mencari tahu apakah suara itu indah atau tidak. Dengan demikian keserakahan dan kemarahan tak akan muncul. Perlu diketahui akan timbul bahaya bila kita tidak mencatat munculnya obyek-obyek dan hanya mengikuti hasrat-hasrat tersebut.

Dimasa lalu di India kuno hiduplah seorang pemain harpa yang handal bernama Kotila. Ia jatuh cinta pada seorang gadis dan ingin melamar gadis tersebut untuk dijadikan istrinya. Tapi si gadis menolak cintanya dengan kata-kata kasar.

Suatu malam Kotila pergi ke rumah si gadis. Ia memainkan harpanya di bawah jendela kamar si gadis. Kotila adalah pemain harpa yang sangat ahli sehingga lagu cinta yang dimainkannya sangat menawan dan membuai kalbu.

Saat si gadis mendengar suara harpa nan merdu itu, ia mulai tertarik. Ia pergi ke balkon rumahnya yang terletak di lantai atas dan bersandar untuk mendengar alunan lagu cinta Kotila. Si gadis begitu terbuai dengan lagu itu sehingga tak bisa menjaga keseimbangan tubuhnya. Tak lama ia jatuh ke tanah dan mati.

Dalam kehidupan sehari-hari sering terjadi pertengkaran dan perkelahiran akibat terlalu sering menaruh perhatian terhadap apa yang kita dengar. Suatu kali, dimasa yang lampau, ada sepasang suami istri yang sering bertengkar. Si suami tidak berani memukul istrinya pada saat bertengkar. Ia lebih memilih memukuli anjingnya. Belakangan si anjing menyadari saat suami istri itu bertengkar akan ada pukulan yang menimpanya. Sehingga ia berlari menjauh bila mendengar suara pertengkaran suami-istri tersebut.

Sewaktu berlatih meditasi kita harus mencatat dengan baik sehingga terbebas dari kekotoran batin. Ada contoh yang berkenaan dengan hal ini. Suatu kali seorang kepala dusun berlatih meditasi di sebuah pusat meditasi. Kala itu dusunnya diserang perampok. Kepala dusun sangat takut dan melarikan diri.

Malam hari ia kembali ke dusunnya dan dengan penuh kesadaran pergi ke pusat latihan meditasi untuk melanjutkan latihannya. Ia sadar bahwa dirinya harus berhadapan dengan para perampok tersebut. Ketika para perampok menanyakan siapakah dirinya, si kepala dusun tidak mengindahkan pertanyaan itu. Ia tetap mempraktekkan meditasi jalan dan mencatat dengan kesadaran penuh seluruh proses yang sedang terjadi. Para penjahat kemudian berpikir bahwa dirinya adalah orang gila. Maka mereka meninggalkannya sendirian. Walaupun tidak memperoleh pandangan terang, si kepala dusun berhasil keluar dari mara bahaya. Bersadarkan cerita ini bisa disimpulkan, para yogi juga bisa selamat dari kekotoran batin bila memiliki kesadaran yang baik.

Bau

Kita jarang bersua dengan obyek bau saat berlatih meditasi. Kalau bau itu muncul kita harus mencatatnya dengan cermat. Dan sewaktu bau berkontak dengan hidung maka akan muncul kesadaran membau. Apakah bau itu harum atau busuk tidaklah penting. Yang utama adalah kita harus mencatat dengan cermat kala bau itu muncul.

Dengan berkembangnya konsentrasi kita akan menyadari bahwa obyek indra dan hidung adalah materi (jasmani). Saat obyek bau berkontak dengan hidung akan muncul kesadaran membau. Ini adalah pikiran atau batin.

Saat tercium bau, seperti aroma bunga yasmin, kari dan lain-lain, tugas kita hanya mencatat bau itu apa adanya tanpa perlu menganalisa apakah bau itu harum atau busuk. Jadi, kita tidak seharusnya melakukan penyelidikan lebih jauh kecuali hanya mencatat bau itu saja. Dengan mencatat secara tepat dan berkesinambungan, kita dapat mengetahui ketidak-kekalan bau itu secara alami. Karena tidak kekal bau itu tidak memuaskan adanya.

Fenomena datang dan pergi. Secara alami ia muncul dan lenyap diluar kendali kita. Dengan demikian tak ada “diri” didalamnya. Kita tak akan mampu menyadari fenomena secara alami bila tidak mencatatnya secara terus-menerus dengan konsentrasi yang baik.

Ada sebuah cerita tentang seorang pemuda desa penjual kayu bakar. Suatu hari, saat menjual kayu bakar di kota ia bertemu dengan temannya. Pada saat itu ada seorang penduduk kaya di kota tersebut sedang menyelenggarakan pesta makan malam yang mewah. Rumah penduduk kaya ini sangat besar dan dibangun sedemikian rupa sehingga orang-orang yang berada di luar bisa tahu apa yang sedang terjadi di dalam rumah tersebut.

Ketika itu para pelayan sedang menyiapkan nasi beraroma wangi yang akan dihidangkan kepada para tamu. Dan si pemuda desa melihat bagaimana si orang kaya ini sedang dilayani untuk mengambil nasi yang kemudian diletakkan di sebuah piring emas. Meski pemuda ini melihat di kejauhan, ia bisa mencium aroma wangi dari nasi tersebut.

Kemudian muncullah keinginan kuat di dalam dirinya untuk bisa mencicipi nasi harum itu. Jika keinginan ini tak terpenuhi, ia seperti akan mati saja. Keinginan ini sedemikian kuat sehingga jantungnya berdebar dengan keras seperti anak kecil yang ingin dibelikan mainan.

Temannya membawa pemuda desa ini menghadap si orang kaya agar mendapat sedikit nasi beraroma harum itu. Si orang kaya mau mengabulkan permintaan itu dengan syarat. Syarat itu adalah si pemuda desa harus mau menjadi budaknya selama 3 tahun. Bila ia puas dengan kerja si pemuda desa ini barulah ia akan memberi sedikit nasi harum itu.

Si pemuda desa tak bisa mengendalikan keinginannya sehingga ia setuju menjadi budak orang kaya tersebut. Seandainya ia telah berlatih meditasi dan mencatat keinginan tersebut tepat pada saat munculnya, ia akan menyadari bahwa keinginan tersebut bersifat tidak kekal. Dan ia akan tetap menjadi orang bebas. Tanpa pencatatan kita menjadi tidak berdaya sehingga cenderung mengikuti keinginan-keinginan yang pada akhirnya akan memperbesar keserakahan. Haruskah indra penciuman mendatangkan bahaya bagi kita? Semuanya ini berbahaya dan hanya bila seseorang dipenuhi kesadaran, ia dapat terbebas dari kekotoran batin.
SISI SEBERANG SUNGAI
Tepi sungai dimana laki-laki dalam cerita di atas berusaha menyelamatkan diri adalah sakkaya. Sakkaya artinya memenuhi kebutuhan batin dan jasmani. Yang dinamakan batin dan jasmani tidak lain adalah 5 kelompok kehidupan. Kelompok kehidupan yang merujuk pada batin adalah perasaan, persepsi, bentuk-bentuk pikiran dan kesadaran. Sementara kelompok kehidupan materi adalah jasmani atau tubuh.

Sang Buddha menggunakan istilah berbeda-beda untuk menjelaskan sakkaya saat beliau membabarkan dhamma. Karena para bhikkhu dan umat yang hadir saat pembabaran dhamma itu memiliki kecerdasan dan pengertian yang berbeda-beda. Bagi umat awam digunakan istilah upadana khanda (keinginan, kemelekatan). Kadang Sang Buddha menggambarkan 4 unsur utama atau 5 kelompok kehidupan ini sebagai bukit kecil yang selalu mengeluarkan asap keserakahan, kebencian dan kebodohan batin (lobha, dosa, moha). Tapi istilah ini merujuk pada 5 kelompok kehidupan atau batin dan jasmani yang menjadi sebab keberlangsungan penderitaan.

Upadana khanda terdiri dari 2 kata, yakni upa (kehausan terhadap benda-benda materi maupun bukan materi) dan adana (melekat atau menggenggam). Sedang khanda artinya kelompok kehidupan. Sehingga upadana khanda berarti kehausan dan kemelekatan terhadap batin dan jasmani. Bila obyek-obyek itu mendatangkan kesenangan bagi kita, maka kita menginginkannya lagi dan lagi. Bila yang terjadi sebaliknya, kita berusaha mengindari dan menolak mentah-mentah. Ini merupakan keterikatan dan kemelekatan terhadap 5 kelompok kehidupan yang menyebabkan kelahiran berulang-ulang dan penderitaan. Sebagai contoh, bila seseorang memiliki batu permata, dikarenakan kemelekatan terhadap batu permata tersebut, maka permata berharga itu disimpannya di tempat yang aman agar tidak hilang.

Contoh lainnya, kala orang tua dan anak-anaknya berpergian maka anak-anak itu diberitahu untuk selalu memegang erat tangan orang tua mereka erat-erat. Sehingga anak-anak tersebut tidak hilang atau tersesat. Orang-orang terikat dengan benda-benda, baik benda hidup atau benda mati. Orang-orang sangat mencintai tubuhnya sehingga mereka marah bila tubuhnya disentuh. Demikian pula saat seseorang bermeditasi dan mengalami kesakitan atau kesemutan, maka ia mulai khawatir dengan apa yang mungkin akan terjadi pada dirinya. Mereka khawatir rasa sakit atau kesemutan ini akan menyebabkan timbulnya sakit jantung bahkan menimbulkan kematian.

Semua kekhawatiran ini muncul karena keterikatan/kemelekatan. Bila kita tak memiliki keingingan, kita takkan peduli munculnya rasa sakit itu. Seperti misalnya, banyak anjing atau kucing kampung yang dilempari batu atau dipukuli, tapi kita tidak mempedulikan kejadian ini. Itu dikarenakan kita tidak memiliki keterikatan dengan hewan-hewan tersebut. Lain halnya bila yang dipukuli adalah hewan peliharaan kita. Ini dapat menimbulkan kemarahan.

Sakkaya adalah tepi sungai dimana laki-laki dalam cerita di atas berusaha menyelamatkan diri. Sementara nibbana adalah sisi seberang sungai yang tak memiliki 5 kelompok kehidupan atau batin dan jasmani. Sebagaimana dengan munculnya cahaya maka kegelapan akan sirna. Demikianlah nibbana. Yang perlu dicamkan, untuk mencapai hal ini seseorang harus mengenyahkan sakkaya. Karena adanya batin dan jasmani, kita harus menghadapi penderitaan.

Hanya ada satu jalan agar terbebas dari penderitaan yakni jalan satipatthana. Inilah satu-satunya jalan menuju nibbana. Ada contoh sederhana. Untuk mencuci sepotong pakaian kotor maka diperlukan air dan sabun. Tapi itu saja tidak cukup. Kita juga harus menggosok, menyikat dan menyiram pakaian tersebut berkali-kali dengan air sampai bersih. Untuk mencapai nibbana kita harus mengenyahkan kekotoran-kekotoran batin berkali-kali sampai mencapai tujuan akhir.

Kita menamai orang-orang dan benda-benda. Ini disebut konsep. Padahal kenyataannya, hanya ada batin dan jasmani atau 5 kelompok kehidupan. Saat berlatih meditasi kita berusaha melihat apakah yang sebenarnya disebut “diri” ini, yang ternyata hanya bagungan dari batin dan jasmani.

Sakkaya hanya bisa dilihat oleh para Ariya. Sedang orang-orang biasa pada umumnya diselimuti oleh sakkaya ditthi (cara pandang salah yang menganggap bahwa “aku, saya, diri, laki-laki, perempuan” itu ada). Hanya para Ariya yang bisa melihat sakkaya sebagaimana adanya.

Beberapa orang berkata, “Pertama-tama, untuk belajar dhamma, kita harus mengenyahkan cara pandang yang salah tentang adanya diri.”

Pernyataan semacam ini tidak benar. Karena, jika kita telah mengenyahkan cara pandang yang salah terhadap diri, maka kita telah berada di wilayah, setidak-tidaknya, sebagai pemenang arus (sotapanna). Mengucapkan hal itu memang mudah. Tapi tidak dengan prakteknya. Sebab dibutuhkan banyak usaha dan kesabaran.

Contoh. Bila penyewa rumah tidak membayar ongkos sewa rumah maka kita berhak mengusirnya. Namun, untuk mengenyahkan pandangan salah tentang adanya diri tidaklah segampang itu. Jika melekat dan melihat diri sebagai “laki-laki” atau “perempuan”, ini berarti kita memiliki sakkaya ditthi.

Di sisi lain, ada sekelompok orang yang percaya adanya atta (roh/jiwa) yang bisa berpindah pada saat seseorang meninggal dunia. Jiwa/roh ini akan bereinkarnasi lagi ke tubuh yang baru.

Kepercayaan atau pandangan salah terhadap adanya diri ini bisa membuat kita terjatuh ke 4 alam-alam tingkat bawah. Tidak hanya sekarang, kita memiliki pandangan salah ini sejak dari masa lampau. Itulah mengapa kita tetap berada di alam samsara (lingkaran atau siklus kehidupan dan kematian).

Bagaimana caranya membebaskan diri dari sakkaya ditthi? Kita bisa membebaskan diri dari pandangan salah ini hanya dengan mempraktekkan satipatthana. Ini adalah satu-satunya cara, kita harus melatih dengan cara yang tepat dan bersungguh-sungguh. Jika tidak, pengetahuan pandangan terang tidak akan berkembang dengan baik.

Umumnya orang-orang memiliki pandangan salah tentang adanya diri. Mereka melihat diri sebagai “aku, laki-laki, perempuan dan lain-lain.” Itu adalah pandangan salah orang-orang awam.

Apabila kita hanya sepintas melihat pada orang-orang, mungkin kita berpikir orang itu rendah hati. Tapi mungkin orang lain lebih bisa melihat “kedalam” bahwa sebenarnya ia hanya berpura-pura ber-rendah hati.

Bagi para Ariya yang bisa melihat kebenaran, pandangan mereka sangat berbeda. Mereka tidak memiliki pandangan salah sehingga tidak ada keterikatan. Sementara kebanyakan orang awam memiliki kemelekatan. Akibatnya mereka menuai penderitaan setiap saat.

Jika ada orang buta diberi pakaian kotor, maka ia menerima pakaian kotor itu tanpa mengetahui hal yang sebenarnya. Tapi ketika orang buta itu suatu saat, telah sembuh penglihatannya, ia bisa mengetahui pakaian macam apa yang dikenakannya. Ada kemungkinan ia membuang pakaian itu.

Seperti halnya orang-orang berpikir bahwa mereka memiliki wajah yang tampan, indah dilihat, cerdas dan lain-lain. Hanya para Ariya, orang yang telah mengembangkan konsentrasi dan pandangan terang sajalah yang bisa melihat bahwa “diri” ini penuh dengan kekotoran batin. Dengan demikian mereka tidak lagi memiliki kemelekatan terhadap tubuh.

Dalam cerita di atas, laki-laki yang melarikan diri dari empat ular, lima musuh, lima kawan yang salah dan lain-lain, sedang berusaha keras untuk mencapai sisi seberang sungai. Mirip dengan cerita ini, para yogi berjuang keras dari mulai pukul 4 pagi sampai 10 malam, setiap harinya. Pengalaman apapun yang terjadi berusaha mereka catat dengan tepat. Setiap pencatatan sebanding dengan satu langkah berlari menjauh dari mara bahaya.

Saat para yogi berlatih meditasi vipassana sebenarnya mereka sedang berusaha menembus sakkaya (batin dan jasmani), kebenaran adanya penderitaan, melihat ketidak-kekalan dan ketiadaan diri. Orang awam melihat, dengan pandangan salahnya, sesuatu sebagai laki-laki, perempuan dan lain-lain. Sementara para yogi seharusnya berusaha keras berkonsentrasi untuk merealisasikan kebenaran hakiki segala sesuatu sebagaimana adanya. Untuk merealisasikan hal ini kita harus memperoleh pengetahuan-pengetahuan pandangan terang.

Ada sementara orang yang mempersembahkan dana agar bisa terlahir kembali di alam manusia atau alam dewa. Perbuatan bajik kala berdana itu hanya bisa menjadi faktor pendukung untuk meraih pengetahuan. Dalam berlatih meditasi samatha, meditasi ketenangan, seseorang bisa mencapai jhana, tingkatan-tingkatan dalam konsentrasi. Dimana tingkat tertinggi pencapaian jhana adalah bisa bertumimbal lahir di alam brahma. Sayangnya, beberapa orang salah melihat alam-alam brahma sebagai nibbana, karena kehidupan brahma sangat lama, selama jutaan tahun manusia.

Kenyataannya, saat seseorang selesai hidup di alam brahma ia akan tumimbal lahir lagi di alam manusia lalu menuju ke empat alam-alam tingkat bawah. Sementara itu saat pengetahuan pandangan terang seseorang berkembang melalui praktek meditasi vipassana, kemungkinan besar ia dapat mencapai nibbana.

Sebagai pemula, yang melihat batin dan jasmani dalam wujud laki-laki, perempuan atau bentuk benda-benda materi lainnya, menunjukkan tidak adanya pandangan terang. Pencatatan harus dilakukan penuh perhatian sampai disadari pada setiap pencatatan yang dilakukan hanya ada batin dan jasmani atau 5 kelompok kehidupan.

Pada saat seorang anak mulai belajar membaca, ia mulai dengan huruf a, b, c dan seterusnya. Setelah itu barulah ia mampu membaca kata dan kalimat. Dari sini kita mengetahui bahwa kecerdasan si anak berkembang. Ia semakin cerdas kala menyelesaikan SD, SMP dan seterusnya. Sama dengan ini, para yogi harus berkonsentrasi mencatat setiap pergerakan batin dan jasmani sehingga pandangan terangnya terus berkembang di dalam mencapai pandangan terang seutuhnya.

Para yogi yang tidak mampu mencatat dengan baik secara terus-menerus tak akan memperoleh kemajuan. Pencatatan harus terus dilakukan dengan tepat, penuh daya upaya dan terus-menerus. Dengan cara inilah baru konsentrasi bisa berkembang dengan baik. Bila diantara proses pencatatan ini muncul kekotoran batin, maka hal ini menjadi penghalang munculnya pengetahuan pandangan terang.

Selama berlatih meditasi jalan, seorang yogi tidak boleh melihat ke sekeliling dengan pikiran mengembara, karena hal ini akan menimbulkan jeda pada konsentrasi dan jeda di pencatatan. Bila ini terjadi maka konsentrasi tidak akan berkembang dengan kuat.

Saat merubah posisi tubuh dari duduk ke berdiri, harus dicatat “maksud” atau “kehendak” untuk bergerak dan setiap pergerakan yang berlangsung dari saat ke saat, mulai dari posisi duduk sampai berdiri. Untuk seluruh kegiatan, gerakan dan pikiran yang mencatat harus terjadi bersamaan seperti 2 lembar kertas yang saling menempel.

Api obor olimpiade menyala mulai dari saat ia dinyalakan sampai ajang olah raga ini selesai. Demikian juga dengan meditasi vipassana. Pencatatan harus dilakukan dengan segenap daya upaya, tepat dan berkesinambungan. Mulai dari fenomena itu muncul sampai berakhir. Sehingga konsentrasi bisa berkembang. Setelah konsentrasi itu berkembang barulah muncul pandangan terang.
SUNGAI
Sungai adalah simbol dari 4 banjir, ogha, yaitu
  1. Banjir nafsu-nafsu indra
  2. Banjir kemelekatan atas keberadaan
  3. Banjir pandangan salah
  4. Banjir ketidaktahuan/kebodohan
Sangat tidak mudah menyeberangi sungai berarus deras yang bisa menyeret dan menenggelamkan seseorang ke dasar sungai. Begitu pula seseorang bisa secara mudah ditenggelamkan oleh keempat banjir yang membuatnya terus-menerus berputar-putar di lingkaran samsara. Bahkan dalam salah satu kehidupannya ia bisa saja terlahir di alam neraka tingkat bawah.

1. Banjir Nafsu-nafsu Indra

Sepanjang seseorang belum mencapai magga (jalan) dan phala (buah), sepanjang waktu ia akan diselimuti oleh banjir nafsu indra. Jika ada jeda sesaat kala seseorang melakukan pencatatan dalam latihan meditasinya, ia bisa diterobos oleh banjir nafsu-nafsu indra. Umunya orang awam tidak mengetahui betapa deras dan kuatnya arus nafsu indra ini. Karena ketidaktahuan ini, banyak diantara orang awam yang bekerja keras sepanjang hidup untuk memiliki obyek-obyek indra seperti yang diidam-idamkan.

2. Banjir Kemelekatan untuk Mengada

Ada orang-orang yang mempraktekkan sila dan berdana dengan tujuan bisa menjadi jutawan, raja dunia, terlahir lagi sebagai dewa, brahma, dan lain-lain. Sebenarnya sangat berbahaya memiliki tujuan-tujuan semacam ini. Meski ia bermaksud untuk mendapatkan status yang lebih tinggi tapi bila kondisinya tidak terpenuhi, ia dapat terlahir di alam-alam bawah. Sering kita berpikir adalah baik terlahir sebagai dewa. Sedang hewan-hewan berpikir adalah baik terlahir sebagai hewan. Kenyataannya, tak peduli betapa baiknya hidup, sepanjang ia masih terperangkap di lingkaran samsara, ia adalah subyek dari penderitaan, usia tua, sakit dan mati.

3. Banjir Pandangan Salah

Terdapat sebagian orang yang memiliki pandangan salah bahwa mempersembahkan hewan-hewan kepada dewa akan membawa kebajikan. Jika harus mempraktekkan pandangan salah semacam ini akan menyebabkan terlahir di alam-alam tingkat bawah. Sementara kelompok lainnya lagi berpikir, setelah meninggal dunia mereka tak akan lagi “meng-ada”, terlahir lagi. Pandangan ini menyebabkan mereka tak memiliki sifat hormat terhadap orang yang lebih tua dan merasa lebih bermoral dari yang lain. Pemikiran semacam ini berbahaya bagi dirinya dan masyarakat, karena ia bisa berbuat keji/kejam.

4. Banjir Ketidaktahuan / Kebodohan

Karena ketidaktahuannya, orang yang telah melakukan pembunuhan, perampokan atau perbuatan-perbuatan buruk lainnya berpikir, bila mereka mengakui kesalahannya, mereka akan dimaafkan. Sebenarnya pikiran semacam ini tak benar. Bila seseorang memiliki ketidaktahuan atas kebenaran ia akan diperangkap oleh 4 arus di atas.

Semua orang awam ada dalam pengaruh 4 banjir besar ini. Mereka mau menikmati kesenangan sensual (indra) bukan hanya ingin mempertahankan kesenangan tersebut tapi untuk memperoleh lebih dan lebih banyak lagi. Arus nafsu indra semacam ini memang sangat kuat dan bila seseorang tak memiliki kemauan kuat untuk membebaskan diri, ia akan ditenggelamkan.

Dibawah kendali kemelekatan untuk meng-ada, seseorang tidak melihat bahaya keber-ada-an. Bahkan hewan sekalipun menikmati keberadaannya sebagai hewan karena ketidaktahuan. Maka, bila seseorang tidak dapat melihat bahaya keber-ada-an, ia tak akan mampu memotong arus menuju kekeselamatan.

Sepanjang belum mampu memotong arus menuju kekeselamatan kita tetap berada dibawah pengaruh 62 pandangan salah. Selama masa itu kita akan menjadi orang yang mementingkan diri sendiri dan menutup mata terhadap kebenaran. Kita memandang diri sendiri terlalu berlebihan dan mengakibatkan kita ditenggelamkan oleh banjir dari pandangan-pandangan salah.

Dengan diliputi ketidaktahuan kita sedang berada disuatu tempat gelap gulita dan tak bisa melihat apapun. Akibatnya saat melangkah kita bisa menabrak dinding, pohon, tersandung batu, dan lain-lain. Sepanjang masih terperangkap oleh arus ketidaktahuan kita tak akan bisa melihat kebenaran.

Saat ini kita cukup beruntung karena mengenal ajaran Sang Buddha, dimana beliau telah membabarkan bagaimana cara menyeberang sungai menuju kekeselamatan. Tugas kita adalah bersungguh-sungguh. Sebab, bila kita hanya berusaha setengah-setengah, maka kita bahkan tak dapat melihat sisi seberang sungai. Juga bagi yang mau berusaha akan dapat melihat sekejap keselamatan (nibbana) dapat diraih.

Tanpa mengenal ajaran Sang Buddha, kita seperti berada di palung sungai yang gelap gulita. Tak peduli betapa kerasnya berlatih, kita tak akan memiliki kesempatan mencapai sisi seberang sungai. Karena kita tidak mengetahui cara yang benar. Jika kita menyadari betapa berharganya cara yang ditunjukkan oleh Sang Buddha, maka kita harus bekerja keras untuk meraih nibbana.

Kita harus bersungguh-sungguh dalam berlatih meditasi vipassana dan mencatat (dalam batin) dengan tepat. Yang perlu diketahui, sangat tidak mudah mencapai sisi seberang sungai saat kita berada dibawah pengaruh kekotoran batin. Dengan demikian kita harus berusaha keras dan lebih keras lagi.
RAKIT
Seperti laki-laki pada cerita di atas yang harus membuat rakit dan mengayuh sekuat tenaga menggunakan ke dua tangan dan kakinya untuk menyelamatkan diri sampai ke sisi seberang sungai. Rakit adalah lambang dari 8 Jalan Utama yang dapat digolongkan ke dalam tiga besar, yakni sila (moralitas), samadhi (konsentrasi) dan panna (kebijaksanaan).

Para yogi harus berusaha dengan tekun agar konsentrasinya bisa berkembang dengan baik, sehingga bisa meraih pengetahuan-pengetahuan pandangan terang. Jadi, kala duduk atau berjalan para yogi harus mencatat dengan rajin. Ini seperti cerita laki-laki di atas yang mengayuh rakit sekuat tenaga. Tentu saja, hal ini berbeda dengan penumpang di atas kapal yang hanya duduk dan bersenang-senang saat kapal itu menyeberangkan mereka. Dalam hal ini para yogi harus bekerja keras, baik pada saat meditasi duduk maupun berjalan, harus mencatat dengan rajin. Jika tidak, mereka tak akan sampai ke pantai seberang.

Untuk bisa memenuhi “Delapan Jalan Utama” seseorang harus memiliki 3 kualitas ini, yakni :
  1. Saddha, keyakinan yang dipayungi dengan pengertian benar untuk memahami dan mencapai dhamma.
  2. Sila, moralitas
  3. Viriya, semangat.
Saddha bisa diibaratkan tangan. Apabila seseorang melihat sebuah tas berisi permata yang terletak di meja dan bermaksud mengambil tas tersebut, ia harus menggunakan tangannya. Untuk itu ia harus berdiri tegak, lalu mengambil tas tersebut dengan tangannya. Sepasang kaki yang menopang tubuh dengan kuat itu dapat diumpamakan dengan sila. Dan viriya digambarkan sebagai kekuatan yang mengangkat tas tersebut.

Agar bisa melarikan diri dengan cepat dari kejaran para musuhnya, ia harus mengayuh rakit sekuat tenaga untuk mencapai pantai seberang. Saat seseorang harus melawan sendiri musuh-musuhnya, ia harus berjuang dengan rajin, sungguh-sungguh dan berteguh hati. Jenis perjuangan semacam ini juga ditujukan kepada para yogi.

Kita harus menunjukkan kemurahan hati, berlatih sila dan memperkuat mental. Kemurahan hati bisa diibaratkan seperti perak, sila sebagai emas dan meditasi seumpama intan atau permata.

Seseorang harus memiliki keyakinan sebelum mengunjungi pusat latihan meditasi. Dengan dilandasi sila yang baik ia bisa meraih tingkat-tingkat konsentrasi. Tingkat-tingkat konsentrasi ini bisa diraihnya karena ia terbebas dari perasaan bersalah akibat melanggar sila.

Bagi orang yang belum pernah bermeditasi berpikir bahwa berlatih meditasi itu mudah. Kenyataannya tidak demikian. Karena dalam berlatih meditasi para yogi harus berlatih keras, bahkan sampai berkeringat di musim panas. Di samping itu ia pun harus memiliki semangat untuk memperoleh kemajuan.

Dijaman dulu, bila seseorang ingin menyalakan api dengan 2 batu, ia harus memukulkan batu-batu itu satu sama lain berulang-ulang sampai mendapatkan percikan api. Demikian pula seorang yogi harus berusaha dengan tekun terus-menerus sampai memperoleh kensentrasi yang kuat.

Saat melatih lima, delapan, atau sepuluh sila, kita tengah mengembangkan jalan moralitas yang terdiri dari berkata-kata benar, perbuatan benar dan penghidupan benar. Berkata-kata benar berarti tidak berbohong, bergosip, menggunakan bahasa yang kasar, menyakiti pihak lain dengan kata-kata kasar dan menghindari berbicara tanpa tujuan.

Arti dari perbuatan benar adalah tidak membunuh, mencuri atau melakukan perbuatan asusila. Sementara penghidupan yang benar berarti mengelola hidup dengan cara yang benar, tidak membunuh, mencuri dan melanggar sila yang dimaksudkan untuk menunjang kehidupannya. Umumnya banyak orang melakukan sesuatu untuk keuntungan dirinya sendiri tanpa peduli dengan yang lainnya.

Ketika seorang yogi berlatih menjalankan 8 Sila, mereka berusaha untuk berkata-kata benar, melakukan perbuatan benar dan berpenghidupan benar. Dengan cara ini mereka telah menegakkan moralitas.

Moral yang baik merupakan faktor mendukung bagi tumbuhnya konsentrasi benar. Konsentrasi benar bisa diraih dengan daya upaya benar. Dan konsentrasi benar ini akan menjadi sebab bagi tumbuhnya kebijaksanaan.

Usaha benar, konsentrasi benar dan perhatian benar termasuk dalam golongan konsentrasi pada “Delapan Jalan Utama”. Saat mencatat kembung dan kempisnya perut atau rasa sakit pada jasmani, kita harus membuat suatu usaha, mencatat (obyek-obyek yang muncul dan lenyap) dengan semestinya. Inilah yang dinamakan usaha yang benar.

Seorang nelayan yang berusaha menangkap ikan, juga pencuri atau perampok yang berusaha untuk mencuri atau merampok, juga mengerahkan suatu usaha. Tapi usaha yang mereka lakukan adalah usaha yang salah.

Sewaktu kita membangun suatu usaha, misalnya bangun lebih pagi untuk bermeditasi, untuk berkonsentrasi sebaik-baiknya dan berusaha lebih keras lagi didalamnya, maka inilah yang dinamakan usaha atau daya upaya benar. Selain itu harus pula ada perhatian benar.

Saat mencatat kembung dan kempisnya perut, pikiran harus waspada melihat segala fenomena yang muncul pada saat terjadinya. Inilah yang dinamakan perhatian benar. Jika pikiran dibiarkan mengingat orang yang dicintai, masa lallu atau menginginkan sesuatu, ini bukanlah perhatian benar.

Sewaktu mencatat rasa panas atau dingin, kembung dan kempisnya perut, rasa sakit pada saat kemunculannya berkonsentrasi dari saat ke saat, inilah yang dinamakan konsentrasi benar. Dengan memiliki daya upaya benar, perhatian benar, konsentrasi benar, saat kita berusaha keras mencatat dari saat ke saat, ini termasuk Samadhi dalam “Delapan Jalan Utama”.

Ada orang yang bertanya, dapatkah memperoleh konsentrasi benar saat mengerjakan hal-hal lain? Orang-orang yang bermain kartu atau catur, perlu pula berkonsentrasi. Tapi, konsentrasi yang dikembangkan di sini bukanlah konsentrasi benar. Karena konsentrasi itu dilandasi oleh keserakahan untuk meraih kemenangan serta dilandasi pula perasaan marah, benci dan kecewa bila kalah.

Konsentrasi juga diperlukan saat memancing. Tapi, maksud yang terkandung di dalamnya tidak baik. Karena ada suatu hasrat disana untuk membunuh ikan-ikan. Ini pun bukan termasuk dalam konsentrasi benar.

Di dalam meditasi, pikiran yang mencatat terbebas dari nafsu kebencian, keserakahan dan ketidaktahuan (kebodohan). Ini adalah konsentrasi benar. Di masa lalu untuk mengetahui kemurnian dari emas kita perlu mengujinya dengan batu khusus. Sama halnya setelah berusaha dengan keras dijalan yang benar, seseorang akan dapat merealisasikan kesunyataan.

Dalam dhamma yang ada hanya batin dan jasmani, tak ada “kamu, aku, laki-laki, perempuan” dan lain-lain. Jadi, saat mencatat sepenuhnya, kita memiliki pengertian benar dan pemikiran benar. Bila berkonsentrasi dengan baik, kita akan menyadari kebenaran sejati pada batin dan jasmani dan apa yang dinamakan kebenaran atas kesepakatan belaka.

Demikian pula ketika melakukan pencatatan, berarti kita tengah mempraktekkan “Delapan Jalan Utama” yakni, menegakkan moralitas atau sila (berkata benar, perbuatan benar, dan perhatian benar), Samadhi benar (usaha benar, konsentrasi benar, dan perhatian benar), serta panna (pikiran benar dan konsentrasi benar). Ketiganya dinamakan tiga latihan moral atau tiga sikha. Dengan melatih “Delapan Jalan Utama” kita sedang menegakkan sila, samadhi dan panna.

Para yogi harus bersungguh-sungguh mencatat kembung dan kempisnya perut, mengamati langkah kaki serta setiap gerakan jasmani. Misalnya, bila ada lima pencatatan dalam satu saat dikatakan kita akan mempunyai 40 magga (jalan) dalam satu saat itu. Maka bisa dibayangkan berapa banyak magga yang kita raih dalam 1 menit, 1 jam, 1 hari atau dalam jangka waktu lebih panjang lagi.

Hanya setelah seseorang memiliki pengalaman pandangan terang, barulah ia benar-benar mengerti bahwa duduk itu jasmani, proses pencatatan termasuk ke dalam batin. Saat berdiri, posisi berdiri itu termasuk jasmani dan proses mencatat posisi itu termasuk batin. Sewaktu mencatat seseorang akan menyadari bahwa yang ada hanya batin dan jasmani. Melalui praktek seseorang baru dapat melihat kesunyataan ini. Sedang belajar dari membaca buku-buku dhamma yang diperoleh hanyalah pengetahuan bukan pandangan terang dari praktek berlatih.
Bentuk jasmani terbentuk dari materi saja dan pikiran terbentuk dari 4 komponen lainnya, yakni perasaan (vedana), persepsi (sanna), bentuk-bentuk pikiran (sankhara), dan kesadaran (vinana).

Pada tingkat ini seorang yogi bisa melihat dirinya sendiri secara alami. Ia bisa melihat kembung dan kempisnya perut, berjalan, duduk dan semua aktifitas tubuh termasuk ke dalam kelompok batin. Demikian pula proses mengetahui dan memahami termasuk dalam kelompok batin juga.

Para pemula biasanya mencatat obyek-obyek itu sebagai “perutku”, “kakiku” dan lain sebagainya. Tetapi ketika ia menyadari bahwa semua itu hanya batin dan jasmani, ia meraih kebenaran dan pengertian benar.

Apapun yang dilakukan oleh tubuh, dalam pengertian tubuh itu sendiri secara fisik, seseorang tidak akan meraih kebenaran dari hal tersebut. Ia harus mencatat obyek-obyek yang muncul dan lenyap dengan pikiran dan keluar dari kebenaran konvensional. Bila seseorang merealisasikan bahwa sesuatu hanya berupa batin (nama) dan jasmani (rupa), berarti ia sudah melihat kebenaran. Kebenaran tidak bisa dipahami hanya dengan berkhayal atau berpikir, tapi harus dengan metode pencatatan batin yang benar.

Ketika bermeditasi seorang yogi tidak perlu berpikir. Yang diperlukan hanyalah mencatat dengan baik sehingga bisa melihat bahwa yang ada hanya batin dan jasmani. Ini merupakan dasar pandangan terang terhadap kesunyataan. Hal ini dapat diumpamakan seperti memukul dinding dengan batu. Seseorang dapat melihat bahwa batu berbeda dengan dinding. Dapat membedakan antara jasmani dan batin, berarti seseorang telah meraih dasar dari pandangan terang.

Selain itu seorang yogi harus menyadari saat ia merentangkan tangan. Tangan adalah jasmani dan mencatat proses itu merupakan batin. Pada tahap pengertian benar dan pikiran benar, kesadaran murni telah dicapai. Bila seseorang mencapai tahapan ini, ia disebut sebagai Cula Sotapanna (pemenang arus tahap awal). Dimana ia tidak akan lagi dilahirkan dalam 4 alam-alam tingkat bawah pada kehidupan selanjutnya.

Terbebas dari kesengsaraan hidup merupakan hal yang patut diperjuangkan. Bila seseorang berada dibawah kekuasaan orang lain, ia tidak akan dapat melakukan apa yang disukainya. Maka, jika belum terbebas dari kekotoran batin, kita akan selalu tunduk pada penderitaan yang tak berkesudahan ini.

Apabila telah mencapai tahapan cula sotapanna kita pasti terbebas dari hidup yang menyedihkan pada kehidupan mendatang. Demikianlah, bila kita memiliki kesehatan yang baik dan kesempatan berlatih meditasi, seharusnya ini dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.

Pencatatan yang dilakukan tidak dengan sungguh-sungguh tidak akan membuat kita menyadari kesunyataan. Pencatatan (dalam batin) harus dilakukan dengan penuh perhatian, tepat dan terus menerus. Misalnya, saat mencatat kembung-kempisnya perut, kita harus mencatat semua proses (kembung-kempisnya perut) itu dari awal sampai akhir. Saat perut mengembung dan proses itu dicatat dengan tepat, kita menyadari bahwa perut bergerak perlahan kedepan dan sedikit demi sedikit mengeras. Pada keadaan ini perut berhenti mengembung untuk kemudian mengempis. Perut mulai mengempis secara perlahan sampai berhenti. Selanjutnya proses mengembung mulai lagi. Proses kembung-kempisnya perut berlanjut. Jika proses ini diamati kita akan menyadari bahwa proses kembung-kempisnya perut adalah tidak kekal. Untuk menyadari ketidak-kekalan kita tidak perlu berpikir. Pandangan terang bersifat spontan. Orang-orang yang mengatakan bahwa mereka mengetahui karena berpikir sesungguhnya tidak benar-benar tahu. Hanya dengan bermeditasi dan melakukan pencatatan dengan baik kita akan mengetahui (kebenaran). Kita akan menyadari, disebabkan oleh ketidak-kekalan segala sesuatu menjadi tidak memuaskan, mereka muncul dan lenyap menurut hukum ketidak-kekalan. Dengan demikian kita menyadari bahwa tidak ada yang disebut “diri”. Saat kita menyadari fenomena sesungguhnya, ini berarti kita telah memahami kebenaran akhir.

Jika seseorang bertekad untuk berhasil maka ia harus bekerja sistematis dan terarah, tahap demi tahap. Apabila kita memiliki kualitas seperti apa yang disebutkan tadi berarti sudah memenuhi Delapan Jalan Utama.

Beberapa yogi yang tidak dapat berlatih terus-menerus akan sulit berhasil untuk saat ini maupun di masa mendatang. Dengan ketabahan dan ketekunan, seseorang dapat mencapai pantai seberang (nibbana) suatu saat nanti.

Sekarang metode ini sudah diketahui. Kita harus berusaha dengan sungguh-sungguh mendapatkan pengetahuan pandangan terang. Sebagai contoh, ada 5 sahabat pergi ke gunung untuk mencari harta karun. Mereka menemukan gua dengan tulisan yang berbunyi “semua harta karun ada di dalam”. Bila mereka hanya berdiri di depan gua mendiskusikan harta karun tersebut, mereka tidak akan pernah mendapatkan apa yang mereka cari. Bila mereka membuka lempengan batu yang menutupi gua itu, mereka dapat masuk ke dalam gua. Saat berada di dalam gua, maju setapak demi setapak, mereka menemukan pintu lagi. Dengan menyatukan usaha, masing-masing memberikan kekuatan yang sebanding, berjuang untuk masuk lebih ke dalam. Bila mereka hanya berdiri di depan gerbang dan berdiskusi sesama mereka sendiri, tanpa ada usaha lebih lanjut, mereka tidak akan dapat masuk ke ruang kedua pada gua tersebut. Berhenti berusaha membuat mereka tidak dapat masuk. Petunjuk di depan gua sudah dibaca dan diketahui maksudnya. Kritikan, diskusi dan pembelajaran tak dapat membuat seseorang meraih tujuan. Hanya dengan melakukan usaha, yang disertai praktek, seseorang dapat mecapai kesuksesan.

Dengan memberikan usaha yang sebanding, 5 sahabat itu dapat memasuki gua dan mendapatkan harta karun yang mereka cari. Demikian pula kita harus memiliki 5 hal dengan keseimbangan yang baik untuk meraih pengetahuan pandangan terang. Kelima hal itu adalah :
    • Saddha, keyakinan yang dilandasi oleh pengertian benar.
    • Viriya, usaha.
    • Sati, kesadaran.
    • Samadhi, konsentrasi.
    • Panna, kebijaksanaan.
Sebagian orang tidak ingin bersusah payah dan menempuh jalan pintas dan mudah. Sekarang, banyak orang kehilangan harta bendanya karena keserakahan. Mereka ditipu dengan keyakinan bahwa batu bisa berubah menjadi emas. Kita tidak dapat bergantung pada orang lain. Kalau kita merasa lapar dan meminta orang lain makan, dapatkah rasa lapar itu ditenangkan? Demikian juga, bila kita merasa ngantuk, kita tidak akan merasa segar kembali karena orang lain tidur untuk kita.


Kita juga tidak dapat bergantung pada para dewa karena sebagian dari para dewa juga berada dalam kesulitan seperti yang dialami oleh manusia. Diantaranya tinggal di pohon-pohon karena tidak memiliki cukup kebajikan. Jika pohon itu ditebang mereka tak lagi memiliki tempat untuk tinggal.

Maka, bila kita ingin meraih pengetahuan pandangan terang, kita harus berusaha dengan sungguh-sungguh. Kalau menunggu bantuan dari orang lain, kita tidak akan pernah meraih pengetahuan pandangan terang.
SISI SEBERANG SUNGAI
Selama seseorang mempraktekkan meditasi dengan baik berarti ia juga mempraktekkan Delapan Jalan Utama dan akan mencapai kemajuan pandangan terang, mengembangkan pandangan benar serta secara spontan menyadari 4 Kesunyataan Mulia.

Seorang yogi akan menyadari adanya penderitaan pada batin dan jasmani. Dan penderitaan itu disebabkan adanya kehausan (tanha) pada baik benda-benda yang berwujud maupun benda-benda yang tidak berwujud.

Dengan munculnya kesadaran ini, seorang yogi akan berjuang keras untuk mematahkan keserakahan yang menjadi sebab penderitaan, sampai pada akhirnya ia mencapai pemadaman batin dan jasmani, yakni nibbana.

Sang Buddha melihat bahwa semua makhluk terperangkap dalam lautan samsara, tak peduli betapa mewah dan kayanya hidup seseorang, ia harus tunduk pada usia tua, sakit dan kematian. Bagaimanapun kehidupan yang dijalani, karena batin dan jasmani mengalami penderitaan, seseorang tetap akan menderita. Seperti misalnya lilin, selama masih ada sumbu dan (bahan) lilin, maka lilin itu tetap menyala. Tapi jika lilin dan sumbunya sudah habis maka tidak akan ada lagi api. Demikianlah pula dengan kita. Selama masih memiliki batin dan jasmani, ia selalu terbakar dengan kekotoran batin. Hanya saat batin dan jasmani sudah padam maka kedamaian sejati akan diraih.

Seorang Sotapanna (pemenang arus) mengalami pemadaman batin dan jasmani untuk pertama kalinya, tapi belum mencapai kebebasan sepenuhnya. Ia telah menghapuskan pandangan salah dan keragu-raguan terhadap Tiratana (Sang Buddha, Dhamma dan Sangha). Namun kekotoran batin yang lain masih dimiliki.

Sedang seorang Anagami (yang tak kembali lagi) lebih jauh telah mengenyahkan keserakahan dan kemarahan pada kehidupannya saat ini. Hanya Arahat yang benar-benar telah melenyapkan secara sempurna semua kekotoran batin serta mencapai kebebasan sejati.

Kebahagiaan nibbana yang dialami orang suci sangat berbeda dengan kesenangan yang didapat melalui 6 indra. Santi sukha adalah kebahagiaan dalam kedamaian, kedamaian dalam kebebasan batin dan jasmani, bebas dari kontak indrawi. Seseorang yang tidak mengalami kebahagiaan nibbana tidak akan dapat merasakan hal ini. Sebaliknya mereka secara sembrono membandingkan santi sukha dengan tidur nyenyak.

Terlepas dari apakah seseorang tidur beralaskan lantai yang keras atau tempat tidur mewah ketika tidurnya nyenyak, ia tak lagi merasa berhubungan dengan tempat yang keras atau empuk. Dengan demikian, saat seseorang tidur nyenyak ia merasa damai dan tidak berhubungan dengan 6 indranya. Bila terbangun, bisa jadi ia akan marah meski tak ada peristiwa apapun yang dialami oleh indranya. Tetapi ia menikmati tidarnya yang pulas itu. Hanya saat seseorang sepenuhnya terbebas dari batin dan jasmani, ia mencapai santi sukha, nibbana.

Terdapat perbedaan antara kenikmatan duniawi dengan kebahagiaan dalam dhamma. Gambaran tentang orang yang menikmati tidur nyenyaknya dapat membuat kita secara sembarangan membandingkan kenikmatan tidur nyenyak itu dengan nibbana. Sepenuhnya bebas dari indra, kebahagiaan nibbana yang sesungguhnya jauh berada diatas kesenangan hawa nafsu yang masih berada pada tingkat kesenangan duniawi.

Orang yang tidak pernah merasakan intisari dhamma akan heran, bagaimana seseorang bisa “menikmati” kedamaian nibbana tanpa ada kesadaran dan perasaan menikmati. Tetapi, bila seseorang dapat mengingat bagaimana seseorang “menikmati” tidurnya yang nyenyak, ia dapat memperkirakan santi sukha.

Sang Buddha mengajarkan bahwa mempraktekkan meditasi vipassana sama seperti mencuci pakaian kotor. Kita harus mencuci pakaian itu berulang kali sampai bersih kembali. Bukan hanya pada kehidupan saat ini, tetapi juga selama berada di lautan samsara, kita berada dibawah pengaruh kekotoran batin. Maka, mengenyahkan kekotoran batin itu bukanlah pekerjaan mudah. Kita harus berusaha keras seperti cerita laki-laki yang melarikan diri dari kejaran musuh-musuhnya tanpa kenal lelah. Dan ketika mencapai tingkat sotapanna, kita tak lagi mengembangkan kekotoran batin yang membawa kesengsaraan hidup.

Kita harus waspada dan terus berusaha dengan sekuat tenaga. Praktekkan meditasi vipassana dengan rajin sampai akhirnya mencapai sisi seberang sungai. Dan orang yang mencapai sisi seberang sungai dengan selamat serta berhasil melarikan diri dari kejaran musuh-musuhnya berkat nasehat dari sahabat baiknya, adalah seorang Arahat yang telah mencapai nibbana dengan melenyapkan semua kekotoran batin berkat nasehat bijaksana Sang Buddha.

Semoga anda semua mempraktekkan meditasi satipatthana vipassana dengan rajin, memenuhi Delapan Jalan Utama dan meraih mengetahuan magga dan phala.

SADDHU! SADDHU! SADDHU!

No comments: