Friday, September 12, 2008

Danthabhumi Sutta

DANTHABHUMI SUTTA

Sumber : Kumpulan Sutta Majjhima Nikaya I
Oleh : Tim Penerjemah Tripitaka

  1. Demikian telah saya dengar:
    Pada suatu ketika Sang Bhagava menetap di Rajagaha di Vihara Veluvana, di Tempat Memberi Makan Tupai-tupai.

  2. Pada saat itu Samanera Aciravata tinggal dalam gubuk di hutan. Kemudian, ketika Pangeran Jayasena sedang berjalan-jalan sebagai latihan, ia menemui Samanera Aciravata dan memberikan hormat kepadanya, dan setelah tegur sapa menghormat dan ramah itu diucapkan, duduklah ia di satu sisi. Setelah duduk, ia berkata: "Aggivessana, aku telah mendengar hal ini: Seorang bhikkhu yang tinggal di sini, dengan tekun, penuh semangat dan menguasai diri akan memperoleh penyatuan pikiran."
    "Demikianlah, Pangeran, demikianlah: seorang bhikkhu yang hidup di sini dengan tekun, penuh semangat dan menguasai diri akan dapat memperoleh penyatuan pikiran."

  3. "Baik kiranya apabila Guru Aggivessana mengajari saya Dhamma sesuai dengan apa yang telah didengar dan dikuasainya."
    "Aku tidak dapat mengajari kamu Dhamma, Pangeran, sesuai dengan apa yang telah aku dengar dan kuasai. Kemudian Pangeran, apabila aku mengajarkan Dhamma kepadamu sesuai dengan apa yang aku dengar dan kuasai, kamu tidak akan mengetahui arti apa yang aku katakan itu dan hal itu akan menimbulkan kebosanan dan gangguan bagiku."

  4. "Biarlah Guru Aggivessana mengajarkan Dhamma kepadaku sesuai dengan apa yang telah didengar dan dikuasainya. Barangkali aku bisa mengetahui arti dari apa yang dikatakan oleh Guru Aggivessana."
    "Aku mau mengajar Dhamma kepadamu, Pangeran ... apabila kamu mengerti tentang apa yang aku katakan, itu adalah baik. Bila kamu tidak mengerti tentang apa yang aku katakan, maka tinggalkanlah itu dan janganlah mengajukan pertanyaan kepadaku lagi."

  5. Kemudian Samanera Aciravata mengajarkan Dhamma kepada Pangeran Jayasena sesuai dengan apa yang yang telah ia dengar dan kuasai.
    Setelah hal ini dikatakan, Pangeran Jayasena berkata: "Tidak mungkin Guru Aggivessana, tidak mungkin seorang bhikkhu yang hidup rajin dan menguasai diri akan mencapai penyatuan pikiran."
    Kemudian setelah mengatakan kepada Samanera Aciravata bahwa itu tidak mungkin dan tidak dapat terjadi, Pangeran Jayasena bangkit dari duduknya dan pergi.

  6. Segera setelah Pangeran Jayasena pergi, Samanera Aciravata pergi menemui Sang Buddha, dan setelah melakukan penghormatan kepada Beliau, ia duduk di satu sisi. Setelah melakukan itu, ia menceritakan semua kepada Sang Buddha tentang pembicaraannya dengan Pangeran Jayasena. Setelah cerita itu selesai, Sang Buddha berkata:

  7. "Aggivessana, bagaimana mungkin terjadi bahwa sesuatu yang dikenal melalui penglepasan (nekkhamma), dilihat melalui penglepasan, dicapai melalui penglepasan, disadari melalui penglepasan akan dapat diketahui, dilihat, dicapai atau disadari oleh Pangeran Jayasena, yang hidup di tengah-tengah kesenangan duniawi itu, menikmati keinginan-keinginan duniawi, terhanyut oleh keinginan-keinginan duniawi, dilanda oleh demam keinginan-keinginan duniawi, dan sangat cenderung mencari keinginan-keinginan duniawi? Itu tidak mungkin.

  8. Seandainya terdapat dua ekor gajah yang dapat dijinakkan, atau dua ekor kuda yang dapat dijinakkan, atau dua ekor lembu yang dapat dijinakkan yang kesemuanya itu sudah dijinakkan dan menjadi sangat jinak dan berdisiplin baik, dan juga gajah-gajah yang dapat dijinakkan atau kuda-kuda yang dapat dijinakkan atau lembu-lembu yang dapat dijinakkan namun tidak dijinakkan dan tidak didisiplinkan; bagaimana kamu memahami ini, Aggivessana, gajah-gajah, kuda-kuda atau lembu-lembu yang telah dijinakkan dengan baiknya, didisiplinkan dengan baiknya, apakah barangkali mereka yang telah dijinakkan itu akan pergi seperti mereka yang telah jinak pergi, apakah mereka akan mencapai tingkatan dari yang telah jinak itu?"
    "Ya, Yang Mulia."
    "Tetapi kedua gajah, kuda atau lembu yang dapat dijinakkan itu, namun tidak dijinakkan dan tidak didisiplinkan; apakah mereka yang tidak dijinakkan itu dapat pergi seperti yang jinak pergi, apakah mereka dapat mencapai tingkatan seperti yang dilakukan oleh gajah, kuda atau lembu yang jinak?"
    "Tidak, Yang Mulia."
    "Demikian juga, Aggivessana, bahwa apa yang diketahui melalui penglepasan (nekkhamma) ... akan selalu diketahui ... oleh Pangeran Jayasena yang hidup di tengah-tengah keinginan-keinginan indera ... itu tidaklah mungkin.

  9. Seandainya di sana terdapat batu karang tinggi tidak jauh dari desa atau kota dan dua orang pergi ke luar dari desa atau kota itu dan mendekati batu karang dengan bergandengan tangan, dan setelah melakukan hal itu, salah satu dari kedua orang itu tetap tinggal di kaki batu karang itu sedangkan yang lain memanjat ke atas batu karang itu; kemudian seorang yang tetap tinggal di kaki batu karang itu berkata kepada temannya yang ada di atas: 'Hai teman, apa yang kamu lihat dengan berdiri di atas batu karang itu?' Temannya menjawab: 'Berdiri di atas batu karang ini, temanku, aku melihat taman-taman indah dan semak belukar padang rumput dan danau-danau.' Kemudian teman yang pertama berkata: 'Tidak mungkin teman, tidak dapat terjadi, bahwa kamu berdiri di atas batu karang akan melihat taman-taman indah dan semak belukar dan padang rumput dan danau-danau.' Kemudian yang lain itu turun dari puncak batu karang itu dan sambil mengajak temannya di kaki batu karang itu, ia menggandeng temannya menaiki puncak batu karang itu, dan kemudian setelah membiarkannya bernapas sebentar, ia bertanya: 'Ah, temanku, apa yang kamu lihat sambil berdiri di atas batu karang ini?' Yang pertama menjawab: 'Berdiri di atas batu karang, temanku, aku melihat taman-taman yang indah dan semak-semak belukar dan padang rumput dan danau-danau.' Kemudian yang lain berkata: 'Baru saja kita mendengar kamu berbicara demikian: Tidak mungkin, teman, tidak bisa terjadi, bahwa kamu berdiri di atas puncak batu karang akan dapat melihat taman-taman indah dan semak belukar dan padang rumput dan danau-danau.' Kemudian yang pertama menjawab: 'Saya dihalangi oleh batu karang besar ini sehingga saya tidak melihat apa yang ada di sana untuk dilihat.'

  10. Demikian juga, Aggivessana, Pangeran Jayasena telah dihalangi, ditutupi, dirintangi dan disisihkan oleh gunung kebodohan yang lebih besar, bahwa apa yang harus diketahui melalui penglepasan (nekkhama) ... akan selalu diketahui ... oleh Pangeran Jayasena, yang hidup di tengah-tengah keinginan-keinginan indera ... itu tidak mungkin.

  11. Aggivesana, apabila kedua perumpamaan ini terjadi padamu secara serentak (sementara berbicara) kepada Pangeran Jayasena, ia akan memperoleh kepercayaan dalam dirimu, dan setelah memperoleh kepercayaan, ia mengenal dirimu dengan nyata."
    "Yang Mulia, bagaimana kedua perumpamaan ini dapat terjadi padaku secara serentak dan belum pernah terdengar sebelumnya, seperti mereka telah lakukan kepada Yang Diberkahi?"

  12. "Aggivessana, seandainya raja mulia dari kasta ksatria yang diberkati dengan upacara-upacara perminyakan memberi perintah kepada pengawas hutan gajah demikian: 'Pengawas hutan gajah yang baik, naikilah gajah raja dan pergilah ke hutan gajah, kemudian apabila kamu melihat gajah hutan, ikatlah dia ke leher gajah raja itu.' Kemudian sambil menjawab, 'Baik, Tuan,' pengawas hutan gajah itu menunggangi gajah raja dan pergi ke hutan gajah. Kemudian ketika ia melihat gajah hutan, ia mengikatnya ke leher gajah raja. Kemudian gajah raja membimbingnya keluar ke tempat terbuka dan itulah cara bagaimana gajah-gajah hutan keluar ke daerah terbuka, karena seekor gajah hutan menggantungkan diri pada tempat itu, yakni hutan gajah, maka penjaga hutan gajah itu memberitahukan raja mulia ksatria yang telah diupacarai dengan minyak: 'Tuanku, gajah hutan telah memasuki tempat terbuka.' Kemudian, raja mulia ksatria yang telah diupacarai dengan minyak itu memberikan perintah kepada penjinak gajahnya demikian: 'Hai, penjinak gajah yang baik, jinakkanlah gajah hutan ini supaya ia dapat mengurangi kebiasaan-kebiasaan hutannya, untuk mengurangi ingatan-ingatan dan keinginan-keinginan di hutan, untuk mengurangi kegelisahan, rasa capai dan demam di hutan, supaya dapat mempunyai kebiasaan-kebiasaan seperti kemauan manusia.' 'Baik, Tuan,' demikian penjinak gajah itu menjawab. Kemudian ia membenamkan sebuah tiang besar di dalam tanah dan mengikat gajah hutan itu ke tiang tersebut pada lehernya untuk mengurangi kebiasaan-kebiasaan hutannya ... dan untuk menanamkan kecintaan padanya terhadap kebiasaan-kebiasaan manusia. Kemudian ia melayani gajah hutan itu dengan kata-kata yang lemah lembut, enak bagi telinga, dan penuh kasih sayang sehingga merasuk ke dalam hati, sopan santun, diinginkan oleh banyak orang serta baik untuk banyak orang; dan segera setelah ia dilayani dengan kata-kata seperti itu, ia mau mendengarkan, memasang telinga, dan membentuk pikirannya dalam pengetahuan itu; kemudian penjinak gajah menghadiahi gajah itu dengan rumput dan air; dan segera setelah gajah hutan itu menerima rumput dan air itu darinya, ia tahu 'Sekarang ia dapat hidup; ia adalah gajah raja.' Kemudian penjinak gajah itu membuatnya bertingkah laku sebagai berikut: 'Bangkit, tuan! Duduk, tuan!' dan segera setelah gajah raja itu mematuhi perintah-perintah dari penjinak gajah untuk bangkit dan berdiri, dan menjalankan instruksi-instruksinya, kemudian penjinak gajah itu lebih lanjut membuatnya bertindak sebagai berikut: 'Maju, tuan; Mundur, tuan.' Dan segera setelah gajah raja itu sudah mau mematuhi perintah-perintah untuk maju dan mundur, dan melaksanakan instruksi-instruksinya, kemudian penjinak gajah lebih lanjut membuatnya bertindak sebagai berikut: 'Bangun, tuan; Tidur, tuan!' dan segera setelah gajah raja itu mematuhi perintah-perintah penjinak gajah untuk bangun dan tidur dan untuk melakukan instruksi-instruksinya, kemudian penjinak gajah lebih lanjut membuatnya bertindak sebagai apa yang dinamakan keadaan tenang sekali, penjinak gajah itu mengikatkan tameng yang sangat besar ke belalainya, dan seorang dengan sebuah tombak di tangan duduk di atas lehernya, dan orang-orang dengan membawa lembing-lembing di tangan mereka mengelilinginya di segala penjuru, dan si penjinak gajah itu sendiri berdiri di depannya dengan membawa tombak panjang di tangan, dan dalam membuat keadaan tenang sekali itu ia tidak menggerakkan kaki depan maupun kaki belakang, juga tidak menggerakan badan depan maupun belakang, juga tidak menggerakkan kepala atau telinganya, belalai atau gadingnya; gajah raja itu menahan tusukan dari lembing-lembing, pedang-pedang, anak panah dan benda-benda lain, dan suara-suara genderang kosong serta terompet, dan dengan melenyapkan segala kesalahan dan cacad, dengan rasa takut yang telah dilenyapkan, ia pantas menjadi milik raja, untuk dipekerjakan dalam kerajaan, dan dianggap sebagai salah satu kaki-tangan raja.

  13. Demikian juga, Aggivessana, di sini seorang Tathagata muncul di dunia ini, Arahat dan Mencapai Penerangan Sempurna, sempurna dalam pengetahuan dan tindak tanduk, suci, pengenal alam-alam, pemimpin yang tak terbandingkan dari manusia yang harus dijinakkan, guru para dewa dan manusia, mencapai penerangan sempurna dan diberkati.

  14. Beliau menyatakan alam ini dengan dewata-dewatanya, Mara-maranya dan Brahmananya, generasi ini dengan bhikkhu-bhikkhu dan orang-orang sucinya, dengan raja-raja dan rakyat, yang telah disadari oleh diri Beliau sendiri dengan pengetahuan sendiri.

  15. Beliau mengajarkan Dhamma yang baik pada permulaan, baik di tengah-tengah dan baik pada akhirnya, dengan arti dan ungkapan (yang benar), dan Beliau mengumumkan suatu kehidupan luhur yang benar-benar sempurna dan suci.

  16. Seorang perumah-tangga atau anak laki-laki dari perumah-tangga atau seseorang yang terlahir dalam suatu kasta mendengar Dhamma. Setelah mendengar Dhamma itu ia memperoleh kepercayaan pada Tathagata. Dengan memiliki kepercayaan itu, ia mempertimbangkan atau memikirkan demikian: 'Kehidupan rumah-tangga itu penuh sesak dan kotor; hidup bebas itu terbuka lebar-lebar. Tidak mungkin dengan hidup dalam rumah-tangga menjalani hidup suci dan sempurna dan suci bagaikan kulit kerang yang digosok. Bagaimana kalau aku mencukur habis rambut kepala dan jenggot, mengenakan jubah kuning, dan pergi dari kehidupan rumah-tangga ke kehidupan tanpa rumah-tangga?'
    Lalu pada kesempatan lain, setelah meninggalkan barangkali sejumlah kecil, barangkali sejumlah besar harta benda, meninggalkan barangkali sejumlah kecil, barangkali sejumlah besar sanak keluarga, ia mencukur habis rambut kepala dan jenggotnya, mengenakan jubah kuning, dan pergilah ia mengembara dari hidup berumah-tangga ke penghidupan tanpa rumah-tangga.
    Dengan pergi berkelana dan memiliki latihan dan cara hidup bhikkhu, dengan meninggalkan pembunuhan mahkluk hidup, ia menjadi seorang berpantang dari membunuh mahkluk hidup; dengan pentungan serta senjata dikesampingkan, lemah lembut dan baik, ia melakukan perbuatan penuh kasih sayang terhadap semua makhluk.
    Dengan tidak mengambil apa-apa yang tidak diberikan kepadanya, ia menjadi seseorang yang berpantang dari mengambil apa yang tidak diberikan; mengambil (hanya) yang diberikan saja, mengharap apa yang diberikan, ia melakukan perbuatan suci di dalam dirinya sendiri dengan tidak mencuri.
    Dengan meninggalkan kehidupan yang tidak suci, ia menjadi seseorang yang hidup suci, yang hidup berpisah, berpantang dari nafsu birahi tak senonoh.
    Dengan berpantang dari berbohong, ia menjadi seorang yang berpantang dari berbicara tidak benar, ia berbicara benar, menggantungkan diri pada kebenaran, dapat dipercaya, bertanggung jawab dan tidak menipu dunia.
    Dengan meninggalkan ucapan-ucapan memfitnah, ia menjadi seseorang yang berpantang dari fitnahan: sebagai seorang yang bukan orang pengulang (kata-kata) di mana-mana tentang apa yang didengar di sini dengan tujuan mengakibatkan perpecahan dari sini, ataupun bukan sebagai pengulang dari apa yang ia dengar di mana saja dengan tujuan menyebabkan perpecahkan dari situ, yang karena itu menjadi seorang pemersatu dari yang terpecah-belah, sebagai pembina persahabatan, dan menikmati keharmonisan, mensyukuri keharmonisan, merasa senang dalam keharmonian, ia menjadi seorang pembicara kata-kata yang mengembangkan keharmonisan atau kerukunan.
    Dengan meninggalkan kata-kata kasar atau keras, ia menjadi seseorang yang berpantang dari ucapan-ucapan kasar: ia menjadi seorang pembicara kata-kata seperti yang tidak bersalah, menyenangkan bagi telinga dan penuh cinta kasih, sehingga merasuk ke dalam sanubari, sopan, diinginkan oleh banyak orang dan baik bagi banyak orang.
    Dengan meninggalkan pergunjingan, ia menjadi seorang yang berpantang dari pergunjingan itu: sebagai seseorang yang menceritakan apa yang benar dan bermanfaat serta Dhamma dan Vinaya, ia menjadi pembicara tentang kata-kata yang tepat, patut diingat, masuk akal, terukur dan dihubungkan dengan kebaikan.
    Ia menjadi seorang yang berpantang mengganggu biji-bijian dan tanam-tanaman.
    Ia menjadi seseorang yang makan hanya dalam sebagian hari saja, menolak (makanan) pada malam hari dan makanan terlambat (lewat tengah hari).
    Ia menjadi seorang yang berpantang dari dansa, nyanyi, dan musik dan pertunjukan-pertunjukan teater.
    Ia menjadi seseorang yang berpantang mengenakan perhiasan-perhiasan, memperindah tubuh dengan wewangian dan memolesi badannya dengan salep wangi.
    Ia menjadi seorang yang berpantang dari tempat duduk tinggi dan besar.
    Ia menjadi seorang yang berpantang dari menerima emas dan perak, dan pergi meninggalkan kehidupan berumah-tangga ke penghidupan tanpa rumah-tangga.
    Lalu itulah cara seorang siswa mulia datang ke tempat terbuka karena para dewa dan manusia berpegang erat padanya, yakni kelima buah simpul dari keinginan indera."

  17. Kemudian Sang Tathagata lebih lanjut mendisiplinkan dirinya sebagai berikut: "Marilah bhikkhu, jadilah orang suci, kekanglah dirimu dengan pengendalian Patimokkha (peraturan para bhikkhu), sempurna dalam tingkah laku dan perbuatan, dan melihat ketakutan sekalipun dalam perbuatan salah yang sekecil apapun, latihlah dengan memanfaatkan ajaran-ajaran latihan."
    Segera sesudah bhikkhu itu menjadi luhur, mengekang diri dengan pantangan-pantangan Patimokkha, sempurna dalam tingkah laku dan perbuatan, dan melihat ketakutan dalam perbuatan salah yang sekecil apapun, melatih diri sendiri dengan menjalankan sila-sila latihan, kemudian Sang Tathagata lebih lanjut mendisiplinkan dirinya:

  18. "Marilah bhikkhu, jagalah pintu-pintu indera itu baik-baik. Apabila melihat suatu bentuk dengan mata, janganlah memahami atau melihat tanda-tanda atau bentuk-bentuk yang melalui pintu itu karena, apabila kamu membiarkan pintu matamu itu tidak terjaga, hal-hal jahat yang tidak menguntungkan tentang kekikiran dan kesedihan akan dapat menerobos masuk ke dalam dirimu; latihlah cara pengekangan diri, jagalah daya penglihatan matamu, jalanilah cara pengekangan dari daya kemampuan mata. Apabila mendengar suara dengan telinga ... apabila membau suatu bebauan dengan hidung ... apabila mengecap suatu rasa dengan lidah ... apabila meraba dengan anggota badan ... apabila mencerap dhamma dengan pikiran, janganlah tanggapi adanya tanda-tanda atau bentuk-bentuk yang melaluinya, apabila kamu tinggalkan pintu pikiranmu tidak terjaga, hal-hal jahat yang tidak menguntungkan tentang kekikiran dan kedukaan akan dapat masuk menerobos dirimu. Latihlah cara atau jalan tentang pengekangan, jaga daya kemampuan pikiran, jalankanlah pengekangan daya kemampuan pikiran."
    Segera setelah bhikkhu menjaga pintu-pintu indera tetap terjaga dengan baiknya, maka Sang Tathagata mendisiplinkan dirinya lebih lanjut:

  19. "Marilah bhikkhu, jadilah seorang yang mengetahui takaran yang tepat dalam bersantap. Dengan merefleksi diri secara bijaksana, kamu harus merawat dirimu sendiri dengan makanan bukan untuk kesenangan, bukan pula untuk menjadikan dirimu menjadi keracunan, pula bukan untuk ketampanan maupun kecakapan dirimu, (tetapi) hanya untuk daya tahan dan kelangsungan tubuh ini, untuk mengakhiri keadaan tidak mengenakkan, dan untuk membantu kesucian hidup itu. Oleh karena itu, Aku akan mengakhiri perasaan-perasaan lama tanpa membangkitkan perasaan-perasaan baru dan tanpa noda, Aku akan hidup dalam kesenangan dan keadaan sehat."
    Segera setelah bhikkhu mengetahui takaran yang tepat dalam makan, kemudian Sang Tathagata mendisiplinkan dirinya lebih lanjut:

  20. "Marilah bhikkhu, tetaplah bertekun diri pada kesiagaan penuh. Pada siang hari sementara kamu sedang berjalan atau duduk, sucikanlah pikiranmu dari hal-hal yang menghancurkan. Pada jaga pertama terhadap datangnya sang malam ketika kamu sedang berjalan jalan atau duduk-duduk, sucikanlah pikiranmu dari hal-hal yang menghancurkan. Di tengah-tengah penjagaan malam, rebahlah ke sisi kanan dalam kedudukan seperti singa tidur dengan satu kaki menindih kaki lain, penuh kesadaran dan waspada penuh, sesudah mengingat di dalam pikiran waktu untuk bangun. Sesudah bangun dalam jaga ketiga sementara kaku berjalan atau duduk, sucikan pikiranmu dari hal-hal yang menghancurkan itu."
    Segera setelah bhikkhu itu mencurahkan perhatiannya yang penuh, kemudian Sang Tathagata mendisiplinkan dirinya lebih lanjut:

  21. "Marilah bhikkhu, milikilah kesadaran penuh dan kewaspadaan penuh. Jadilah seorang yang bertindak penuh kesadaran ketika sedang bergerak ke depan dan ke belakang; yang bertingkah laku dengan penuh kesadaran ketika memandang dan mengalihkan pandangan; yang bertingkah laku dengan penuh kesadaran ketika melenturkan, meregangkan tubuh; yang bertingkah laku dengan penuh kesadaran ketika sedang mengenakan lapisan tambalan, mangkok dan jubah-jubah; yang bertingkah laku dengan penuh kesadaran ketika sedang buang air besar serta kecil; yang bertingkah laku dalam kewaspadaan penuh ketika sedang berjalan, berdiri, duduk, tidur, bangun, berbicara dan berdiam."
    Segera setelah bhikkhu itu memiliki kesadaran penuh serta kesiagaan penuh, maka Sang Tathagata mendisiplinkan dirinya lebih lanjut:

  22. "Marilah bhikkhu, ambillah tempat perenungan yang terpencil: ke sebuah hutan, di bawah akar pohon, ke batu karang, ke celah bukit, ke gua gunung, ke tempat penimbunan mayat, ke hutan kayu sunyi, ke tempat terbuka, ke segundukan jerami."
    Ia menempuh jalan ke tempat perenungan yang terpencil: ke dalam hutan ... sekembalinya dari berpindapata sesudah makan ia duduk, melipat kakinya bersila, menegakkan badannya dan pikirannya diusahakan penuh dengan kewaspadaan. Dengan meninggalkan sifat ketamakan akan dunia, ia mengusahakan pikirannya agar tetap bebas dari sifat kekikiran, ia menyucikan pikirannya dari ketamakan, meninggalkan kemauan jahat dan kebencian, ia mengusahakan agar pikirannya tetap pada keadaan bebas dari kemauan jahat dan selalu cinta kasih kepada semua mahkluk hidup, ia menyucikan pikirannya dari kemauan jahat dan kebencian; meninggalkan rasa kelesuan dan kantuk, ia tetap mengusahakan dirinya bebas dari kelesuan kantuk, sadar akan cahaya dan waspada serta siaga sepenuhnya ia menyucikan pikirannya dari rasa kelesuan serta kantuk itu; dengan meninggalkan hasutan dan kecemasan, ia mengusahakan dirinya agar tetap tidak dapat dihasut, dengan pikirannya ditenangkan di dalam dirinya sendiri, ia menyucikan pikirannya dari hasutan serta kecemasan; dengan meninggalkan keadaan tidak menentu, ia mengusahakan dirinya agar selalu melenyapkan ketidakpastian, tidak meragukan dhamma yang menguntungkan, ia menyucikan pikirannya dari ketidakpastian itu.

  23. Setelah melepaskan kelima hambatan ini, kekotoran pikiran yang memperlemah pengertian, ia mengusahakan diri agar menghayati badan jasmani sebagai badan jasmani, tekun, siaga penuh dan sadar, telah membuang sifat tamak dan rakus akan dunia; ia tetap mengusahakan dirinya untuk menghayati perasaan sebagai perasaan ... ia tetap mengusahakan dirinya untuk menghayati dhamma-dhamma itu sebagai dhamma-dhamma, tekun, sepenuhnya siaga dan sadar, telah membuang sifat tamak dan rakus akan dunia.

  24. Tepat seperti halnya penjinak gajah membenamkan tiang besar ke dalam tanah untuk mengikat gajah hutan di lehernya untuk mengurangi atau memperlemah kebiasaan-kebiasaan hutan pada gajah itu ... dan untuk menanamkan pada gajah itu kebiasaan-kebiasaan yang disukai manusia, demikian juga empat dasar kewaspadaan merupakan penguatan bagi pikiran siswa mulia untuk memperlemah kebiasaan-kebiasaan dari hal kerumah-tanggaannya, untuk memperlemah keinginan-keinginan kerumah-tanggaannya, untuk mencapai atau memperoleh jalan benar dan realisasi Nibbana."

  25. Kemudian Sang Tathagata mendisiplinkan dirinya lebih lanjut sebagai berikut: "Marilah bhikkhu, usahakan terus menghayati badan sebagai badan tetapi jangan memikirkan bentuk pikiran yang dihubungkan dengan badan: usahakan terus menerus menghayati perasaan-perasaan sebagai perasaan ... pikiran sebagai pikiran ... usahakan terus menerus menghayati dhamma-dhamma sebagai dhamma-dhamma tetapi janganlah memikirkan bentuk pikiran yang dihubungkan dengan dhamma-dhamma.

  26. Dengan penenangan penerapan awal dari penenangan berlanjut, ia memasuki jalur dan berada di dalam jhana kedua ...

  27. ... jhana ketiga ... yang mempunyai keseimbangan dan kesadaran penuh.

  28. Apabila pikirannya yang sudah terpusatkan, terang benderang, tanpa cacad, bersih dari ketidaksempurnaan, lunak dapat ditundukkan, berpengaruh, mantap, dan tenang tak tak tergoyahkan, ia mengatur, ia mencenderungkan pikirannya kepada pengetahuan tentang peringatan kembali kehidupan lampau.
    Ia mengingat-ingat kehidupan lampaunya yang berganda-ganda itu, yaitu satu kelahiran ... lima kelahiran, sepuluh kelahiran ... limapuluh kelahiran ... seratus kelahiran ... seribu kelahiran, seratus ribu kelahiran, banyak kalpa penyusutan alam, banyak kalpa perluasan alam, banyak kalpa penyusutan dan perluasan alam: 'Di sana aku dinamakan demikian, dari suku demikian, dengan sifat penampilan demikian, itulah kehidupanku,' demikianlah pengalaman kesenangan dan penderitaan, demikianlah jangka waktu hidupku; dan setelah meninggal dari tempat itu, saya muncul di suatu tempat lain; dan di sana saya juga diberi nama demikian, dari suku bangsa demikian, dengan sifat penampilan demikian, demikianlah kehidupanku, demikianlah pengalamanku tentang kesukaan dan penderitaan, demikianlah jangka waktu hidupku; dan setelah aku meninggal dari sana muncul di sini. Jadi dengan ingatan rinci dan khusus ia mengingat kembali masa kehidupannya yang banyak itu.

  29. Apabila pikiran yang sudah terkonsentrasikan itu demikian disucikan, terang benderang, tanpa cacad, bersih dari segala ketidaksempurnaan, lunak, terkendali, mantap, dan telah mencapai keadaan tenang tak terganggu, ia mengarahkan, ia mencenderungkan pikirannya kepada pengetahuan tentang kemusnahan serta kemunculan kembali dari makhluk-makhluk itu.
    Dengan mata surgawi yang telah disucikan dan melampaui penglihatan manusiawi, ia melihat makhluk-makhluk mati dan lahir kembali, yang lemah, yang kuat, cantik, buruk, berkelakuan baik dan buruk; ia mengerti bagaimana makhluk-makhluk itu terus menerus bertumimbal lahir sesuai dengan kamma-kamma mereka, demikian: 'Makhluk-makhluk yang tak patut ini yang bertingkah laku, berucapan dan berpikiran tidak baik, mencaci maki muliawan-muliawan, berpandangan salah, membawa pandangan salah di dalam kamma-kamma mereka, setelah terurainya sang badan setelah kematian, muncul dalam alam penderitaan, dalam nasib buruk, dalam keadaan tanpa kebahagiaan sama sekali atau kenestapaan, bahkan pula ke dalam neraka; tetapi makhluk-makhluk yang patut ini, yang bertindak tanduk baik dengan badan, ucapan dan pikiran, bukan pencaci maki para Muliawan, berpandangan benar, membawa pandangan benar dalam kamma-kamma mereka, setelah terurainya badan, setelah kematian, muncul dengan peruntungan yang baik, bahkan di dalam alam surgawi.' Jadi, dengan pandangan mata batin surgawi yang telah disucikan dan melampaui batas dari manusiawi itu, ia melihat makhluk-makhluk lenyap dan muncul kembali, lemah dan kuat, bertingkah laku baik dan buruk: ia mengerti bagaimana makhluk-makhluk itu terus menerus bertumimbal lahir sesuai dengan kamma-kamma mereka.

  30. Apabila pikiran yang terkonsentrasi itu disucikan dan terang benderang, tanpa cacad, bersih dari ketidakmurnian, dan menjadi lunak, terkendali, berpengaruh kuat, mantap dan mencapai keadaan tidak terganggu, ia mengarahkan, ia mencenderungkan pikirannya kepada pengetahuan pelenyapan noda-noda.

    Ia mempunyai pengetahuan langsung demikian: 'Ini adalah penderitaan.'
    Ia mempunyai pengetahuan langsung demikian: 'Ini adalah asal mula penderitaan.'
    Ia mempunyai pengetahuan langsung demikian: 'Ini adalah penghentian dari penderitaan.'
    Ia mempunyai pengetahuan langsung demikian: 'Ini adalah jalan menuju ke penghentian penderitaan.'
    Ia mempunyai pengetahuan langsung demikian: 'Ini adalah noda-noda.'
    Ia mempunyai pengetahuan langsung demikian: 'Ini adalah asal mula noda-noda.'
    Ia mempunyai pengetahuan langsung demikian: 'Ini adalah penghentian noda-noda.'
    Ia mempunyai pengetahuan langsung demikian: 'Ini adalah jalan menuju ke penghentian noda-noda.'

    Apabila ia mengetahui dan melihat demikian, pikiran telah dibebaskan dari noda-noda keinginan atau nafsu dunia/indera, dari noda-noda tentang menjadi/terbentuk dari noda-noda dari kebodohan. Apabila telah dibebaskan datanglah pengetahuan 'Ia telah terbebaskan.' Ia mempunyai pengetahuan langsung demikian: 'Kelahiran telah habis, kehidupan suci telah dijalani, apa yang dapat dilakukan telah dilakukan, tiada lain yang akan terjadi.'

  31. Bhikkhu itu adalah seorang yang menahan dingin dan panas, lapar dan haus, dan terkena nyamuk dan lalat, angin, matahari, dan binatang-binatang merayap, yang menahan kata-kata yang tidak disenangi dan buruk, dan perasaan-perasaan badani yang menyakitkan, menyiksa, tajam, menusuk, tidak disetujui, menggelisahkan, dan mengancam kehidupan; dengan lenyapnya segala nafsu, kebencian dan khayal, dengan cacad yang telah disingkirkan, ia pantas mendapat hadiah-hadiah, pantas mendapat keramahtamahan, pantas mendapat pemberian-pemberian, pantas memperoleh penghormatan, suatu ladang perbuatan jasa yang tiada bandingnya bagi dunia.

  32. Jika gajah raja menjadi tua dan mati sebelum dijinakkan dan belum didisiplinkan, itu adalah kematian yang belum dijinakkan sehingga ia dianggap sudah mati. Jika gajah raja meninggal pada umur setengah baya belum terjinakkan dan belum didisiplinkan, itu adalah kematian yang belum dijinakkan dan ia telah dianggap sudah mati. Apabila gajah raja ketika masih muda mati dan belum dijinakkan serta belum didisiplinkan, itu adalah suatu kematian yang belum dijinakkan dan ia telah dianggap sudah mati.
    Demikian juga halnya, apabila seorang bhikkhu sepuh mati dengan noda-noda yang belum lenyap, itu adalah suatu kematian yang belum terjinakkan dan ia dianggap telah mati. Jika seorang bhikkhu madya mati ... jika seorang bhikkhu muda/baru mati dengan noda-noda yang belum habis, itu adalah kematian belum terjinakkan dan ia dianggap telah mati.

    Jika gajah raja ketika sudah tua usia mati dengan telah terjinakkan dan terdisiplinkan dengan baik, ia adalah merupakan kematian yang terjinakkan dan ia dianggap sudah mati. Jika gajah raja mati pada umur setengah baya .... Apabila gajah raja ketika masih muda mati dengan terjinakkan dan terdisiplinkan dengan baik, itu kematian yang terjinakkan dan ia dianggap telah mati.
    Demikian juga, apabila seorang bhikkhu sepuh meninggal dengan noda-noda telah terlenyapkan, itu merupakan kematian yang telah terjinakkan dan ia diangap telah mati. Jika seorang bhikkhu madya meninggal ... Jika seorang bhikkhu muda mati dengan noda-noda telah habis, itu adalah kematian yang terjinakkan dan ia dianggap telah mati."

  33. Inilah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagava. Samanera Aciravata menjadi puas dan senang dengan kata-kata Sang Buddha itu.

No comments: